Future

Future

Rabu, 28 Desember 2011

Laporan FGD-III


LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI




.
A.           PENDAHULUAN
1.            Latar Belakang:

             Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang tekonologi informasi yang sangat pesat pada awal tahun 2000, telah memasuki dan berperan penting dalam berbagai sektor kehidupan umat manusia. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi memberikan banyak manfaat positif di bidang usaha dan sosial masyarakat, terutama dalam hal kecepatan pelayanan, komunikasi, transaksi, dan efesiensi produksi suatu industri.

            Kemajuan teknologi informasi juga memberikan dampak positif dalam memberikan pengetahuan dan wawasan dengan banyaknya penyediaan jasa fasilitas internet baik di komputer maupun telepon seluler sehingga masyarakat dapat mengakses informasi-informasi yang dibutuhkan atau berita-berita terkini secara cepat.

            Namun di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau sekedar mencari sensasi atas keahlian yang dimiliki, yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dengan jaringan yang bisa melibatkan pihak luar negeri, yang tentunya dapat mengganggu jalannya pemerintahan, aktivitas masyarakat, stabilitas keamanan dalam negeri.
           
            Kasus penyalahgunaan pemanfaatan teknologi informasi (cybercrime) yang sering terjadi antara lain maraknya situs-situs porno, serangan hacker terhadap situs pemerintah, serangan virus terhadap prorgam komputer, penipuan dari jual-beli online, perjudian via online, pembobolan rekening nasabah melalui ATM, penyebaran foto palsu seseorang yang telah dimanipulasi secara grafis, penyebaran sms yang meresahkan, dan yang terbaru dan banyak terjadi yaitu kasus pencurian pulsa melalui telepon seluler. Selain dikateogrikan perbuatan melawan hukum dengan kerugian materiil tetapi juga moril yang besar, kasus cybercrime tersebut semakin menurunkan tingkat kepercayaan terhadap perlindungan pemerintah kepada masyarakat.
           
            Instrumen hukum yang terkait dengan teknologi informasi antara lain undang-undang informasi dan transaksi elektronik, undang-undang tentang transfer dana, dan undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dirasakan oleh pemerintah belum memadai dalam memberantas kasus-kasus cybercrime yang tidak bisa disamakan dengan kejahatan konvensional karena kekhususan cybercrime yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu. Untuk itu pemerintah bersama dengan DPR-RI berinisiatif menyusun rancangan undang-undang tentang tindak pidana teknologi informasi, yang khusus mengatur masalah pidana dalam pelanggaran teknologi informasi sekaligus mendukung ketertiban pemanfaatan teknologi informasi.

            Mendasari hal tersebut di atas, Divisi Hukum Polri selaku pembina dan penyelenggara fungsi pengkajian, bantuan dan nasehat hukum, pengembangan hukum, pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di lingkungan Polri, perlu menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi.
           
2.            Maksud dan Tujuan:
a.            maksud kegiatan FGD ini, untuk mengkaji dan merumuskan masukan-masukan dan pemikiran yang komprehensif dan konstruktif terkait materi muatan dalam RUU tersebut, agar dapat membantu tugas penyidikan yang dilakukan Polri dalam memberantas kasus cybercrime;
b.            tujuan FGD ini guna memberikan wawasan pengetahuan bagi para peserta terutama yang berasal dari Polda-Polda yang marak kasus cybercrime, mengenai teknik dan modus yang sering digunakan pelaku cybercrime sekaligus membantu merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam menangani cybercrime untuk diakomodir dalam RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi.

B.           PELAKSANAAN
1.            Waktu dan Tema:
a.            Hari/Tanggal        : Kamis, 27 Oktober 2011;
b.            Pukul            : 08.30 s.d. 17.45 WIB;
c.            Tempat          : Hotel Maharadja, Jalan Kapten Tendean Nomor 1
                         Jakarta Selatan.
d.            Tema             :”KONSEPSI IDEAL RUU TENTANG TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEAMANAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN KETERTIBAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI”.

2.            Narasumber dan Moderator:
a.            Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs. Sutarman, dengan pokok bahasan “Strategi dan Kesiapan Penyidik Polri dalam Menghadapi Perkembangan Cyber Crime serta Kerja Sama dengan Penegak Hukum Negara Lain”;
b.            Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LL.M, dengan pokok bahasan “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime)”;
c.            KMRT Roy Suryo (Anggota DPR-RI), dengan pokok bahasan “Pembangunan Politik Hukum Menjadikan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi Menjadi Undang-Undang yang Bersifat Lex Specialist”; dan
d.            Kombes Pol Drs. Syahri Gunawan, M.H. (Analis Utama Divkum Polri), selaku moderator.

3.            Peserta:
b.            para Pamen perwakilan Satker Bareskrim Polri, Baintelkam Polri, Divpropam Polri, Div TI Polri, Korlantas Polri, Divhumas Polri, Divhubinter Polri, Densus 88 AT Polri, Puslabfor Polri;
c.            para Kasatreskrim dan Kasubbagkum Polres jajaran Polda Metro Jaya; dan
d.            perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan lembaga non pemerintah yang membidangi masalah pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia.

4.            Agenda Kegiatan:
a.            Laporan Ketua Pelaksana FGD, yang disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H.
b.            Sambutan Pembukaan FGD dari Kadivkum Polri Irjen Pol Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M., yang disampaikan oleh Karosunluhkum Divkum Polri Brigjen Pol Dr. R.M. Panggabean, S.H., M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)           FGD ini merupakan wujud konkrit sikap proaktif yang dilakukan polri untuk memberikan tanggapan dan masukan yang konstruktif dalam rangka penyusunan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dalam menyongsong era globalisasi teknologi yang telah merubah dunia ke era cyber, serta sebagai media yang untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dan dampak negatif terhadap pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat;

2)           globalisasi teknologi informasi saat ini telah mengubah dunia ke era cyber dengan menawarkan berbagai harapan dan kemudahan hampir di semua bidang kehidupan, dan menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap aspek sosial, budaya, dan ekonomi;

3)           sisi positif dalam pemanfaatan teknologi informasi yaitu percepatan informasi komunikasi ini tanpa kendala jarak geografis atau batas-batas negara, serta keuntungan lain dalam dunia usaha, perdagangan, jasa, dan ilmu pengetahuan. namun di sisi lain, pengaruh negatif yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi informasi yaitu pemanfaatan untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang tidak mengenal batas wilayah (borderless) dan waktu kejadian (timeless), karena korban dan pelaku sering berada di negara berbeda, dengan penunjukan waktu setempat yang berbeda pula;

4)           kasus cybercrime yang terjadi di Indonesia sangatlah kompleks dengan modus yang berbeda-beda dan seperti kasus pencurian uang tabungan nasabah, perjudian online, pornografi, dan penyebaran jaringan atau ideology radikal oleh sekelompok teroris melalui pemanfaatan situs-situs dunia maya;

5)           perkembangan cybercrime dan modus-modusnya tersebut haruslah diantisipasi dengan tataran norma hukum sehingga dampak negatif kemajuan teknologi informasi dapat diminimalisir sekaligus memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi;

6)           materi muatan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi yang menjadi inisiatif DPR-RI ini, mengatur mengenai kriminalisasi dan ancaman hukuman cybercrime. Akan tetapi muncul kekhawatiran adanya duplikasi pengaturan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, sehingga perlu adanya harmonisasi/sinkronisasi baik secara internal maupun secara eksternal, terutama dengan instrumen hukum internasional, serta peningkatan kemampuan, sarana, dan prasarana aparat penegak hukum dan mengupayakan kesadaran hukum masyarakat melalui kerja sama dengan para stakeholder pemerhati teknologi informasi; dan

7)           dalam moment FGD ini, diharapkan muncul ide-ide kreatif dari para peserta dan kontribusi positif atas materi/substansi RUU tersebut, sekaligus sebagai media untuk berdiskusi dan menambah ilmu, sehingga mampu diimplementasikan untuk mendukung pelaksanaan tugas terkait penanganan cybercrime.

c.            penyampaian topik bahasan ”Strategi dan Kesiapan Penyidik Polri dalam Menghadapi Perkembangan Cyber Crime serta Kerja Sama dengan Penegak Hukum Negara Lain” dari Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs. Sutarman, yang diwakili oleh Penyidik Cyber Crime Bareskrim Polri Kombes Pol Winston Tommy Watuliu, dengan inti sebagai berikut:

1)           abad baru, platform baru, media baru, dan serba berubah mewarnai peradaban abad 21, dengan pola interaksi masyarakat yang lebih efektif dan efisien melalui pemangkasan jarak, waktu, dan sumber daya, sehingga pembangunan platform public yang dapat mendukung era “the invisible continent”, mendesak untuk dilakukan terutama pengaturan regulasi yang bersifat dinamis di bidang teknologi informasi;

2)           era cyber space merupakan era yang sangat kompleks untuk diprediksi dan perlu melihat segmen-segmen sarana serta prasarana yang diperkuat oleh aturan hukum yang berdampak poisitif pada penegakan hukum dan aplikasi yang signifikan dalam hal preemtif, preventif, dan represif, sehingga mampu melindungi peradaban khususnya mengawal terselenggaranya interaksi dan transaksi di dunia cyber space;

3)           RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan dan permasalahan dalam dunia cyber space terutama yang menyangkut kasus-kasus cyber crime, namun perlu adanya penambahan materi muatan mengenai pengaturan pelanggaran perbuatan percobaab secara spesifik, penyelenggaraan sistem elektronik yang desentralisasi, pornografi yang melibatkan anak dan remaja, penertiban registrasi dan identitas penggunaan perangkat dan jasa di bidang teknologi informasi;

4)           upaya penyidik dalam mengidentifikasi pelaku cyber crime yaitu dengan mendapatkan petunjuk-petunjuk melalui digital forensic dan untuk memperoleh bukti digital umumnya digunakan metode pemanfaatan peralatan dan software, namun tetap tidak diperkenankan mengubah data yang ada dalam bukti digital tersebut;

5)           penyidik bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya aturan hukum dan prinsip penanganan bukti digital, dan sekaligus harus mampu membedakan informasi yang relevan dengan data digital yang dapat digunakan untuk memperkuat adanya suatu tindak kejahatan atau menghubungkan antara kejahatan dengan korban atau dengan pelakunya;

6)           penegakan hukum dunia maya merupakan prioritas utama Polri dalam mengantisipasi cybercrime, salah satunya melalui pembentukan satuan cybercrime hingga tingkat Polres dan kedepannya harus mampu melakukan upaya-upaya investigas secara online, serta melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian dan lembaga internasional melalui pembangunan fasilitas forensic teknologi informasi, dan pelatihan jaringan police           to police berbasis teknologi informasi; dan

7)           penanganan dan pencegahan cybercrime tidak bisa serta merta dibebankan pada Polri, tetapi perlu didukung dengan aturan hukum yang baik, partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam penggunaan teknologi informasi, serta infrastruktur lainnya, sehingga penanganan cybercrime bukan hanya sekedar memberikan efek psikologis namun memberikan efek efek jera dari pelaku kejahatan.

d.            penyampaian topik bahasan ”Pembangunan Politik Hukum Menjadikan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi Menjadi Undang-Undang yang Bersifat Lex Specialist” oleh   KMRT Roy Suryo (Anggota DPR-RI), dengan inti sebagai berikut:

1)            era teknologi informasi yang mulai berkembang pesat pada awal tahun 2000, tidak bisa dipungkiri telah membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan masyarakat antara lain dalam bidang pendidikan, bisnis, layanan pemerintahan, dan wawasan pengetahuan informasi baik yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri;

2)            Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi pasar prospektif dalam penyebarluasan dan penggunaan teknologi informasi yang ditandai dengan banyaknya jasa internet yang sudah mulai merambah masyarakat pedesaan, tingkat pemilikan yang tinggi terhadap gadget dan perangkat telekomunikasi berbasis teknologi informasi, dan penyerapan tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan keilmuan di bidang teknologi informasi;

3)            namun kemajuan era teknologi informasi tidak hanya sebatas pemanfaatan, tetapi perlu diimbangi dengan ketersediaan regulasi yang efektif dari pemerintah guna mencegah timbulnya peluang negatif dari sebagian pengguna teknologi informasi untuk melakukan kecurangan dan kejahatan;

4)            regulasi dan instrumen hukum terkait pemanfaatan teknologi informasi di negara Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa, diatur dengan sangat jelas dan rinci dengan mengelompokkan bidang dan jenis pemanfaatan teknologi informasi, sedangkan pembuatan aturan hukum baru sifatnya hanya melengkapi yang sudah ada tanpa menghilangkan materi pada ketentuan yang lama;

5)            sedangkan regulasi dan instrumen hukum di Indonesia yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi, sangatlah minim dan berbanding terbalik dengan jumlah kasus kejahatan teknologi informasi yang sedang dihadapi, sedangkan pengaturan yang justru banyak dikembangkan dan diperbarui masih sekitar hukum konvensional;

6)            regulasi dan instrumen hukum yang minim tersebut justru berdampak pada semakin maraknya kasus cybercrime dengan keterlambatan dan kebingungan bagi aparat penegak hukum untuk menjerat pelakunya, bahkan dalam penyelesaian beberapa kasus kejahatan yang melibatkan penggunaan teknologi informasi seperti penyebaran email yang mencemarkan nama baik dan penjualan gadget ilegal, aparat penegak hukum terpaksa menjerat pelakunya dengan aturan hukum konvensional meskipun kejahatan yang dilakukan berbeda dan tidak bisa dikenakan pasal-pasal dalam aturan hukum konvensional tersebut; dan

7)            pemerintah melalui DPR-RI dalam kaitannya memperkuat penegakan hukum di Indonesia, sedang menyusun RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi, RUU tentang Konveergensi Telematika, revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kesemuanya secara garis besar berupaya untuk mencegah dan menindak kasus cybercrime yang terjadi di Indonesi disertai dengan pemberian sanksi yang diharapkan memberikan efek jera bagi pelakunya.

e.            penyampaian topik bahasan “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime)” oleh Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LLM, dengan inti sebagai berikut:

1)            pengaturan masalah teknologi informasi secara garis besar telah tercakup dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sedangkan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dimaksudkan untuk mengkriminalisasi seluruh kejahatan berbasis teknologi informasi;

2)            instrumen hukum di Indonesia dalam bidang teknologi informasi dapat dilaksanakan, diterapkan, dan diimplementasikan dengan baik apabila semua pemangku kepentingan bersemangat untuk “integrated criminal justice system”, namun kenyataannya para pemangku kepentingan kurang apresiasi terhadap instrument hukum yang telah ada, padahal materi muatan instrumen tersebut mendapat penghargaan dari lembaga teknologi informasi di negara lain;

3)            ITE tidak hanya mengatur masalah cybercrime dalam perspektif penyalahgunaan karena niat jahat pelaku, tetapi juga memberikan kewajiban bagi penyelenggara untuk melakukan tata kelola penggunaan teknologi informasi yang baik, namun untuk kesempurnaan terutama aspek materi muatan, perlu adanya penambahan khususnya mengenai procedural law;

4)            RUU ini pada dasarnya tidak akan pernah bisa melengkapi atau memperbaiki kelemahan instrumen hukum yang sudah ada selama berpatokan pada lingkup kekuasaan dan bukan dilihat dari semangat cyber security, dan jika cybercrime hanya dipahami sebagai hal yang baru maka akan selesai apabila telah dirumuskan hukum positif (lex specialist) yang detail namun resikonya adalah setiap ada penamaan tindak pidana baru meskipun berbasis teknologi informasi secara otomatis harus diatur lagi dalam aturan hukum baru;

5)            cybercrime mempunyai kekhususan tersendiri dan tidak bisa disamakan dengan kejahatan konservatif, karena sifatnya yang antara lain menggunakan perangkat komputer dan jaringan, penuh dengan intelektualitas tinggi, bersifat lintas batas, waktu bersamaan dengan tempat berbeda  (ubiquotus), pelaku sulit dilacak, data yang tersampaikan relatif permanen, dan yang terpenting yaitu membutuhkan penanganan yang cukup kompleks;

6)            kesulitan lain dalam pengaturan instrumen hukum         di bidang teknologi informasi yaitu tindakan yang dilakukan oleh terduga selama belum adanya korban walaupun dilakukan dengan niat jahat, maka akan sulit ditindak karena akan berbenturan dengan aturan hukum mengenai kebebasan berinformasi dan kebebasan HAM, sehingga dalam melihat dan mengatasi suatu tindak pidana  diupayakan aturan hukum tersebut bersifat mencegah daripada mempidanakan; dan

7)            jika RUU ini nantinya hanya bersifat komplementer, masyarakat dan komunitas pengguna teknologi informasi, serta aparat penegak hukum akan bingung dalam menerapkan lingkup antara ITE dengan tindak pidana teknologi informasi, sehingga disarankan RUU mengatur penuh dan mencabut substansi cybercrime dari undang-undang ITE atau memperbaiki ITE dan menunda RUU serta memasukkan substansinya dalam revisi KUHP dan KUHAP.  

f.             penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada para narasumber:
1)           Kombes Pol Drs. Didi Haryono, S.H., M.H. (Divpropam Polri):

a)             bagaimana strategi, metode, dan peran Polri terkait pencegahan kasus cybercrime seperti kasus pencurian pulsa pelanggan kartu telepon seluler, serta apa saja kesulitan yang selama ini dihadapi Polri dalam penuntasan kasus cybercrime; dan

b)             apakah penyelesaian kasus cybercrime di negara lain bisa diterapkan di Indonesia dengan pengaturan lex specialist yang lebih akomodatif dan mengantisipasi kejahatan baru namun dengan modus yang sama yaitu memanfaatkan teknologi informasi.

2)           Kombes Pol Drs. Gatta Chaerudin (Korlantas Polri):
a)            bagaimana upaya Polri dalam menyelesaikan kasus cybercrime ditinjau dari aspek preventif terutama terhadap masyarakat;

b)            apakah perkembangan hukum di Indonesia dalam menyikapi kasus cybercrime sudah cukup baik, karena pembangunan politik hukum nasional sejalan dengan pembangunan kepentingan sesaat dari kalangan politik;

c)             KUHP lebih banyak mengatur kejahatan perorangan, apabila masalah cybercrime dimasukkan dalam revisi KUHP, bagaimana dengan rumusan konsep penanganan kasus cybercrime yang melibatkan korporasi; dan

d)            apakah memungkinkan apabila pembuktian terutama dengan bukti digital, cukup dengan satu alat bukti dengan mengesampingkan pemenuhan 2 (dua) alat bukti, karena bukti digital tingkat otentikasinya lebih tinggi.

3)           Kompol Roy S, S.H., MAP (Bidkum Polda Metro Jaya):
a)            terkait kasus pencurian pulsa atau penipuan terhadap pelanggan telepon seluler, ada kecenderungan pelanggan yang menjadi korban adalah pelanggan pra-bayar dibandingkan dengan pasca-bayar, bagaimana tanggapan terhadap hal tersebut;

b)            dalam melakukan investigasi terkait kasus cybercrime apakah Polri bisa melakukan investigasi sedangkan permasalahan teknologi informasi merupakan domain Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui PPNS yang bersangkutan;

c)            bagaimana upaya pemerintah dalam menindak pihak-pihak terutama penyedia jasa telekomunikasi yang diduga ikut berperan dalam kasus cybercrime terutama pencurian pulsa, karena aparat penegak hukum baru bisa bertindak terhadap penyelenggara layanan publik apabila ada instruksi dari pemerintah;

g.            penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan dari para peserta FGD:

1)           Kombes Pol Winston Tommy Watuliu:
a)            Implementasi dari strategi, metode, dan peran Polri dalam menyelesaikan kasus cybercrime dari aspek preventif, yaitu dengan memberikan penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat, serta bekerja sama dengan pihak penyelenggara jasa teknologi informasi untuk melacak tempat kejadian perkara, seperti kasus penyebaran video porno, kepolisian bekerja sama dengan penyedia jasa internet mengenai nomor-nomor warnet sehingga bisa diketahui dari warnet mana penyebaran video porno tersebut bermula;

b)            kendala Polri dalam penanganan kasus cybercrime antara lain belum tertibnya registrasi terhadap penggunaan atau pembelian produk berbasis teknologi informasi, sehingga membutuhkan waktu pelacakan yang cukup lama untuk menemukan pelakunya;

c)            dalam melakukan investigasi, Polri mengedepankan peran PPNS suatu instansi yang terkait dengan permasalahan sesuai bidangnya, apabila ditangani oleh PPNS maka Polri sifatnya membantu dari teknik penyelidikan, penyidikan, dan pencarian barang bukti; dan

d)            penanganan kasus cybercrime yang sifatnya preventif selain mengacu pada KUHP sebenarnya wajib meniru apa yang diterapkan di negara-negara benua Eropa, yaitu pelaku kejahatan baik korporasi maupun perorangan selain dipidana penjara berat, mereka diharuskan membayar denda kepada pihak yang dirugikan, disamping itu identitas mereka akan disebar dalam bentuk blacklist ke semua pihak termasuk komunitas dan penyelenggara jasa teknologi informasi sehingga hukuman-hukuman tersebut memberi efek jera.

2)           KMRT Roy Suryo:
a)           pembangunan politik hukum yang berorientasi pada kepentingan penguasa politik merupakan akibat sistem pemilihan wakil rakyat di Indonesia, namun pemerintah tetap berupaya untuk membangun kerangka hukum yang kuat dalam menyelesaiakan kasus cybercrime dengan merangkul semua pemangku kepentingan;

b)           permasalahan pencurian pulsa sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan instruksi kepada operator penyelenggara untuk memutus hubungan dengan penyedia konten yang diindikasikan menipu pelanggan telepon seluler, namun tetap kendala karena pemerintah malah dituding oleh penyedia konten bahwa langkah yang diambil dapat mematikan usaha dan melanggar HAM, sedangkan masyarakat menuntut tanggung jawab pemerintah selaku regulator jasa teknologi informasi untuk menindak tegas perusahaan penyedia jasa tersebut;

c)            salah satu upaya pemerintah dalam meminimalisir kasus cybercrime yang berhubungan dengan telepon seluler yaitu penertiban registrasi pelanggan karena berdasarkan hasil survey jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 270 juta jiwa dengan jumlah pemilik kartu telepon seluler sebanyak 212 juta jiwa, jika dikurangi dengan usia cukup penghasilan maka satu orang penduduk usia kerja memiliki 2-3 nomor kartu, hal tersebut akan semakin menyulitkan aparat penegak hukum apabila yang bersangkutan menjadi korban atau pelaku cybercrime;

d)           kecenderungan kasus penipuan dan pencurian pulsa merugikan pelanggan pra-bayar karena sistem pasca-bayar mengharuskan pelanggan membayar pada akhir bulan setelah pemakaian sehingga apabila ada pemakaian tidak wajar, pelanggan dapat menuntut kejelasan, berbeda dengan sistem pra-bayar yang mengharuskan pelanggan membayar jasa terlebih dahulu namun pemakaiannya tidak dikontrol oleh penyelenggara jasa telekomunikasi; dan

e)           penanganan kasus cybercrime tidak hanya dilihat dari aspek KUHP, tetapi perlu diklasifikasi kembali jenis-jenisnya mulai dari ringan (denda) sampai dengan berat (penjara) karena seperti kasus penyebaran email yang mencemarkan suatu instansi, pelakunya dijerat dengan KUHP namun karena kurangnya sosialisasi hukum terhadap masyarakat di bidang perundang-undangan, maka hukuman tersebut oleh masyarakat dianggap tidak adil dan mendesak pelaku untuk dibebaskan.

3)           Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LLM.:
a)           konsep penyelesaian cybercrime dari aspek preventif lebih menitikberatkan pada administratif dan tanggung jawab birokratik, seperti contoh intersepsi adalah mendengar percakapan dan boleh tanpa izin pengadilan, tetapi jika sudah mencegah maka perlu izin karena dikhawatirkan pencegahan tersebut berujung pada pengrusakan isi percakapan yang bisa digunakan sebagai barang bukti;

b)           perkembangan hukum di Indonesia sebenarnya sudah cukup bagus, tetapi aparat penegak hukum dan pemerintah masih belum memahami makna materi muatan dari aturan hukum yang ada, sehingga sering timbul salah penafsiran dan pembuatan peraturan perundang-undangan yang sifatnya terus sebagai pelengkap, sebagai contoh KUHP merupakan aturan hukum buatan Belanda, namun apakah ada terjemahan resmi ke bahasa Indonesia pada awalnya, seharusnya kita jangan menafsirkan sesuatu sesuai keilmuan kita tetapi harus disinkronisasi dan dikoordinasikan dengan baik sehingga satu sama lain tidak berbeda pandangan dalam menetapkan dan menerapkan suatu aturan hukum;

c)            kasus pencurian pulsa sebenarnya tidak tepat dikenakan pasal pencurian karena pulsa bukanlah satuan barang, pulsa adalah penyerahan piutang kepada penyelenggara jasa, sehingga apabila piutang tersebut dikurangi tanpa persetujuan maka penyelenggara jasa tersebut bisa dijerat dengan pasal penipuan atau penggelapan, dan penyebaran data pribadi pelanggan juga merupakan pelanggaran yang dapat berakibat jeratan hukum;

d)           mengenai pembuktian dengan satu alat bukti, belum bisa diterapkan karena untuk menjelaskan satu peristiwa hukum, statusnya hanya sebagai barang bukti sedangkan untuk mencari pelaku statusnya baru disebut sebagai alat bukti; dan

e)           pengaturan RUU ini sebagai lex specialist, tidak masalah selama aparat penegak hukum dan pemerintah mampu menterjemahkannya untuk menyelesaikan kasus-kasus dengan modus yang berbeda-beda, yang dikhawatirkan adalah apabila ada modus baru namun karena kurangnya pemahaman terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan, kita akan tergesa-gesa merancang undang-undang baru, sehingga terkesan pembangunan politik hukum Indonesia kurang terencana dengan baik.

h.           diskusi antar peserta FGD yang terbagi dalam 2 (dua) kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap materi/substansi RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi, dengan hasil sebagai berikut:

1)           Kelompok I:
a)             dalam Pasal 1, perlu ditambahkan atau penyempurnaan rumusan kalimat terhadap definisi yang berkaitan dengan teknologi informasi, dan menghapus definisi-definisi yang tidak dimuat dalam batang tubuh;

b)             dalam Pasal 3 dan Pasal 4, rumusan kalimat disempurnakan dan dimaksudkan untuk mengakomodir pelaku cybercrime antara lain dengan modus hacking, penipuan jual-beli online, pencurian pulsa, dan pembobolan rekening bank milik nasabah;

c)             dalam BAB III, perlu diatur materi mengenai kerahasiaan data pelanggan yang dikelola oleh penyedia jasa (provider) karena kasus pencurian pulsa dan gangguan layanan komunikasi, banyak diakibatkan oleh provider yang diduga bekerja sama dengan oknum internal perusahaan operator komunikasi; dan

d)             dalam BAB VIII, pidana penjara dan denda perlu ditambahkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, karena kasus cybercrime selain menimbulkan kerugian personal juga bisa merugikan suatu korporasi dengan nilai nominal kerugian yang tidak sedikit.

2)           Kelompok II:
a)            judul disarankan diubah menjadi Tindak Pidana  di Bidang Teknologi Informasi, karena Teknologi Informasi bukanlah suatu kejahatan seperti korupsi atau pembalakan liar, melainkan suatu bidang keilmuan;

b)            dalam pasal 3 penggunaan kalimat “dengan sengaja dan tanpa hak” perlu dikaji kembali karena kemungkinan jaringan pelaku justru orang yang punya hak akses namun sengaja merusak bukti digital untuk mencari keuntungan pribadi atau dengan niat jahat;

c)             dalam Pasal 16, penegak hukum berhak melakukan akses terhadap data trafik yang melibatkan satu atau lebih penyedia jasa teknologi informasi dan komunikasi, sebaiknya ditambahkan akses terhadap aplikasi, database, dan data pendukung lain yang dapat memudahkan penegak hukum dalam mengumpulkan keterangan dan barang bukti; dan

d)            dalam Pasal 24 ayat (3), rumusannya disempurnakan yang intinya PPNS harus memberitahukan penyidikan yang sedang diproses dan melaporkan perkembangannya pada Polri sebelum SPDP diajukan kepada JPU, hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan peran Polri di bidang Korwasbin PPNS dalam memberikan bantuan dan pengarahan terkait permasalahan yang dihadapi selama proses penyidikan.

C.           PENUTUP
1.            Kesimpulan:
a.            era teknologi informasi di Indonesia semakin berkembang pesat pada awal abad ke-21, yang ditandai dengan konsumsi dan pemanfaatan teknologi informasi yang meningkat tajam           dalam bidang industri, telekomunikasi, akses internet, pelayanan, dan jasa lainnya yang dirasakan semakin membantu aktivitas masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi, karena keunggulan teknologi informasi yang efektif dan efisien serta tidak mengenal batasan wilayah dan waktu dalam pemanfaatannya;

b.            perkembangan pesat terhadap suatu bidang keilmuan, selain membawa pengaruh positif juga membawa konsekuensi dan pengaruh negatif dari pemanfaatan yang kurang terkontrol terutama oleh regulasi dan aturan hukum yang jelas, sehingga memberikan peluang munculnya kejahatan dengan modus baru berbasis tekonologi informasi yang disebut cybercrime dan kasus yang beragam namun sulit untuk diungkap pelakunya, seperti kasus penipuan jual-beli online, perjudian online, penyebaran sms teror atau sms meresahkan, penyebaran pornografi, pembobolan rekening bank milik nasabah, serangan terhadap situs pemerintah, dan yang marak terjadi saat ini yaitu kasus pencurian pulsa pelanggan telepon seluler;

c.            pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi selaku regulator di bidang teknologi informasi berupaya mencegah dan menertibkan pemanfaatan teknologi informasi   di Indonesia salah satunya melalui penyusunan instrumen hukum yang diharapkan mampu mengakomodir permasalahan yang dihadapi dalam bidang teknologi informasi; dan

d.            saat ini instrumen hukum di bidang teknologi informasi diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun yang mengatur kekhususan tindak pidana belum terwadahi dan masih mempedomani ketentuan KUHP yang dirasa tidak sesuai karena cybercrime bukan termasuk kejahatan konvensional, sehingga pemerintah mengambil inisiatif untuk menyusun RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi.

2.            Saran:
a.            RUU ini diarahkan menjadi lex specialist sehingga pengaturan materi muatannya harus jelas, bisa menjerat pelaku cybercrime dengan berbagai modus, dan berlaku untuk jangka panjang, agar jangan sampai ketika ada kasus kejahatan baru yang tidak diatur dalam RUU namun menggunakan modus teknologi informasi, pemerintah malah membuat instrumen hukum yang baru yang justru semakin membuat tumpang tindih pengaturan;

b.            penyelesaian kasus cybercrime tidak hanya dari instrumen hukum, tetapi dibutuhkan kerja sama para pemangku kepentingan, aparat penegak hukum, dan peran serta masyarakat, contoh kasus pencurian pulsa dibutuhkan keseriusan operator jasa telekomunikasi untuk menjaga kerahasiaan data pelanggan dan mengedepankan pelayanan dengan mengesampingkan profit oriented, pemerintah selaku regulator harus mampu menertibkan registrasi pelanggan dan konsisten dalam menjalankan suatu aturan, pihak kepolisian harus mampu mengembangkan kemampuan personal di bidang teknologi informasi guna membantu tugas penyidikan, dan peran serta masyarakat untuk tertib registrasi dan tidak mudah terpengaruh layanan-layanan yang tidak jelas keabsahan dan legalitasnya.

3.            Demikian laporan pelaksanaan FGD RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi yang mengambil tema ”KONSEPSI IDEAL RUU TENTANG TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEAMANAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN KETERTIBAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI” disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.



Mengetahui:

KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI

Ttd.

Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
Jakarta,     November 2011

KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD

Ttd.

Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 62030473

Tidak ada komentar:

Posting Komentar