LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
TENTANG TINDAK
PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI
.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang:
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang tekonologi informasi yang sangat
pesat pada awal tahun 2000, telah memasuki dan berperan penting dalam berbagai
sektor kehidupan umat manusia. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi
memberikan banyak manfaat positif di bidang usaha dan sosial masyarakat,
terutama dalam hal kecepatan pelayanan, komunikasi, transaksi, dan efesiensi
produksi suatu industri.
Kemajuan
teknologi informasi juga memberikan dampak positif dalam memberikan pengetahuan
dan wawasan dengan banyaknya penyediaan jasa fasilitas internet baik di
komputer maupun telepon seluler sehingga masyarakat dapat mengakses
informasi-informasi yang dibutuhkan atau berita-berita terkini secara cepat.
Namun
di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dimanfaatkan oleh segelintir
pihak untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau sekedar mencari sensasi atas keahlian yang
dimiliki, yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dengan jaringan yang
bisa melibatkan pihak luar negeri, yang tentunya dapat mengganggu jalannya
pemerintahan, aktivitas masyarakat, stabilitas keamanan dalam negeri.
Kasus
penyalahgunaan pemanfaatan teknologi informasi (cybercrime) yang sering terjadi antara lain maraknya situs-situs
porno, serangan hacker terhadap situs
pemerintah, serangan virus terhadap prorgam komputer, penipuan dari jual-beli online, perjudian via online, pembobolan
rekening nasabah melalui ATM, penyebaran foto palsu seseorang yang telah
dimanipulasi secara grafis, penyebaran sms yang meresahkan, dan yang terbaru dan
banyak terjadi yaitu kasus pencurian pulsa melalui telepon seluler. Selain
dikateogrikan perbuatan melawan hukum dengan kerugian materiil tetapi juga
moril yang besar, kasus cybercrime
tersebut semakin menurunkan tingkat kepercayaan terhadap perlindungan
pemerintah kepada masyarakat.
Instrumen
hukum yang terkait dengan teknologi informasi antara lain undang-undang
informasi dan transaksi elektronik, undang-undang tentang transfer dana, dan
undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, dirasakan oleh pemerintah belum memadai dalam memberantas kasus-kasus cybercrime yang tidak bisa disamakan
dengan kejahatan konvensional karena kekhususan cybercrime yang tidak mengenal
batas wilayah dan waktu. Untuk itu pemerintah bersama dengan DPR-RI
berinisiatif menyusun rancangan undang-undang tentang tindak pidana teknologi
informasi, yang khusus mengatur masalah pidana dalam pelanggaran teknologi
informasi sekaligus mendukung ketertiban pemanfaatan teknologi informasi.
Mendasari
hal tersebut di atas, Divisi Hukum Polri selaku pembina dan penyelenggara
fungsi pengkajian, bantuan dan nasehat hukum, pengembangan hukum, pembinaan
hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di lingkungan Polri, perlu menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Teknologi Informasi.
2.
Maksud dan Tujuan:
a.
maksud
kegiatan FGD ini, untuk mengkaji dan merumuskan masukan-masukan dan
pemikiran yang komprehensif dan konstruktif terkait materi muatan dalam RUU
tersebut, agar dapat membantu tugas penyidikan yang dilakukan Polri dalam
memberantas kasus cybercrime;
b.
tujuan FGD ini guna memberikan wawasan pengetahuan
bagi para peserta terutama yang berasal dari Polda-Polda yang marak kasus cybercrime, mengenai teknik dan modus
yang sering digunakan pelaku cybercrime
sekaligus membantu merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam menangani cybercrime untuk diakomodir dalam RUU
tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi.
B.
PELAKSANAAN
1.
Waktu dan Tema:
a.
Hari/Tanggal :
Kamis, 27 Oktober 2011;
b.
Pukul : 08.30
s.d. 17.45 WIB;
c.
Tempat : Hotel
Maharadja, Jalan Kapten Tendean Nomor 1
Jakarta Selatan.
d.
Tema :”KONSEPSI IDEAL RUU TENTANG TINDAK
PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEAMANAN, KEPASTIAN HUKUM,
DAN KETERTIBAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI”.
2.
Narasumber dan Moderator:
a.
Kabareskrim
Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs. Sutarman, dengan pokok bahasan “Strategi
dan Kesiapan Penyidik Polri dalam Menghadapi Perkembangan Cyber Crime serta Kerja Sama dengan Penegak Hukum Negara Lain”;
b.
Edmon
Makarim, S.Kom, S.H., LL.M, dengan pokok bahasan “Pembangunan Sistem Hukum
Dalam Rangka Menanggulangi Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime)”;
c.
KMRT
Roy Suryo (Anggota DPR-RI), dengan pokok bahasan “Pembangunan Politik Hukum
Menjadikan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi Menjadi Undang-Undang yang
Bersifat Lex Specialist”; dan
d.
Kombes Pol Drs. Syahri Gunawan, M.H. (Analis Utama Divkum
Polri), selaku moderator.
3.
Peserta:
a.
para
Kabidkum dan Dirreskrim perwakilan Polda Sumatera Utara, Polda Banten, Polda
Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Jawa Tengah, Polda D.I.Yogyakarta, Polda
Jawa Timur, dan Polda Bali;
b.
para
Pamen perwakilan Satker Bareskrim Polri, Baintelkam Polri, Divpropam Polri, Div
TI Polri, Korlantas Polri, Divhumas Polri, Divhubinter Polri, Densus 88 AT
Polri, Puslabfor Polri;
c.
para
Kasatreskrim dan Kasubbagkum Polres jajaran Polda Metro Jaya; dan
d.
perwakilan
dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan
lembaga non pemerintah yang membidangi masalah pemanfaatan teknologi informasi
di Indonesia.
4.
Agenda
Kegiatan:
a.
Laporan Ketua Pelaksana FGD, yang disampaikan oleh Kabagsunkum
Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H.
b.
Sambutan Pembukaan FGD dari Kadivkum Polri Irjen Pol Drs.
Mudji Waluyo, S.H., M.M., yang disampaikan oleh Karosunluhkum Divkum Polri
Brigjen Pol Dr. R.M. Panggabean, S.H., M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)
FGD ini merupakan wujud konkrit sikap proaktif yang
dilakukan polri untuk memberikan tanggapan dan masukan yang konstruktif dalam
rangka penyusunan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dalam
menyongsong era globalisasi teknologi yang telah merubah dunia ke era cyber, serta sebagai media yang untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dan dampak
negatif terhadap pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat;
2)
globalisasi
teknologi informasi saat ini telah mengubah dunia ke era cyber dengan
menawarkan berbagai harapan dan kemudahan hampir di semua bidang kehidupan, dan
menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap aspek sosial, budaya, dan
ekonomi;
3)
sisi
positif dalam pemanfaatan teknologi informasi yaitu percepatan informasi
komunikasi ini tanpa kendala jarak geografis atau batas-batas negara, serta
keuntungan lain dalam dunia usaha, perdagangan, jasa, dan ilmu pengetahuan. namun
di sisi lain, pengaruh negatif yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi
informasi yaitu pemanfaatan untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang tidak mengenal batas
wilayah (borderless) dan waktu kejadian (timeless), karena korban dan pelaku sering berada di negara
berbeda, dengan penunjukan waktu setempat yang berbeda pula;
4)
kasus
cybercrime yang terjadi di Indonesia
sangatlah kompleks dengan modus yang berbeda-beda dan seperti kasus pencurian uang tabungan nasabah,
perjudian online, pornografi, dan
penyebaran jaringan atau ideology radikal oleh sekelompok teroris melalui
pemanfaatan situs-situs dunia maya;
5)
perkembangan
cybercrime dan modus-modusnya
tersebut haruslah diantisipasi dengan tataran norma hukum sehingga dampak
negatif kemajuan teknologi informasi dapat diminimalisir sekaligus memberikan
keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi;
6)
materi
muatan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi yang menjadi inisiatif
DPR-RI ini, mengatur mengenai kriminalisasi dan ancaman hukuman cybercrime. Akan tetapi muncul
kekhawatiran adanya duplikasi pengaturan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, sehingga perlu adanya harmonisasi/sinkronisasi
baik secara internal maupun secara eksternal, terutama dengan instrumen hukum
internasional, serta peningkatan kemampuan, sarana, dan prasarana aparat
penegak hukum dan mengupayakan kesadaran hukum masyarakat melalui kerja sama
dengan para stakeholder pemerhati
teknologi informasi; dan
7)
dalam moment FGD
ini, diharapkan muncul ide-ide kreatif dari para peserta dan kontribusi positif
atas materi/substansi RUU tersebut, sekaligus sebagai media untuk berdiskusi
dan menambah ilmu, sehingga mampu diimplementasikan untuk mendukung pelaksanaan
tugas terkait penanganan cybercrime.
c.
penyampaian topik bahasan ”Strategi dan Kesiapan Penyidik Polri
dalam Menghadapi Perkembangan Cyber Crime
serta Kerja Sama dengan Penegak Hukum Negara Lain” dari Kabareskrim Polri Komisaris
Jenderal Polisi Drs. Sutarman, yang diwakili oleh Penyidik Cyber Crime Bareskrim Polri Kombes Pol Winston Tommy Watuliu,
dengan inti sebagai berikut:
1)
abad
baru, platform baru, media baru, dan serba berubah mewarnai peradaban abad 21,
dengan pola interaksi masyarakat yang lebih efektif dan efisien melalui
pemangkasan jarak, waktu, dan sumber daya, sehingga pembangunan platform public yang dapat mendukung era
“the invisible continent”, mendesak
untuk dilakukan terutama pengaturan regulasi yang bersifat dinamis di bidang
teknologi informasi;
2)
era
cyber space merupakan era yang sangat kompleks untuk diprediksi dan perlu
melihat segmen-segmen sarana serta prasarana yang diperkuat oleh aturan hukum yang berdampak poisitif pada
penegakan hukum dan aplikasi yang
signifikan dalam hal preemtif, preventif, dan represif, sehingga mampu
melindungi peradaban khususnya mengawal terselenggaranya interaksi dan
transaksi di dunia cyber space;
3)
RUU
tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan
dan permasalahan dalam dunia cyber space
terutama yang menyangkut kasus-kasus cyber
crime, namun perlu adanya penambahan materi muatan mengenai pengaturan
pelanggaran perbuatan percobaab secara spesifik, penyelenggaraan sistem elektronik
yang desentralisasi, pornografi yang melibatkan anak dan remaja, penertiban
registrasi dan identitas penggunaan perangkat dan jasa di bidang teknologi
informasi;
4)
upaya
penyidik dalam mengidentifikasi pelaku cyber crime yaitu dengan mendapatkan
petunjuk-petunjuk melalui digital
forensic dan untuk memperoleh bukti digital umumnya digunakan metode
pemanfaatan peralatan dan software,
namun tetap tidak diperkenankan mengubah data yang ada dalam bukti digital
tersebut;
5)
penyidik
bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya aturan hukum dan prinsip penanganan bukti digital, dan sekaligus harus
mampu membedakan informasi yang relevan dengan data digital yang dapat
digunakan untuk memperkuat adanya suatu tindak kejahatan atau menghubungkan
antara kejahatan dengan korban atau dengan pelakunya;
6)
penegakan
hukum dunia maya merupakan prioritas
utama Polri dalam mengantisipasi cybercrime,
salah satunya melalui pembentukan satuan cybercrime
hingga tingkat Polres dan kedepannya harus mampu melakukan upaya-upaya
investigas secara online, serta melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian
dan lembaga internasional melalui pembangunan fasilitas forensic teknologi informasi, dan pelatihan jaringan police to police berbasis teknologi
informasi; dan
7)
penanganan
dan pencegahan cybercrime tidak bisa
serta merta dibebankan pada Polri, tetapi perlu didukung dengan aturan hukum yang baik, partisipasi dan
kesadaran masyarakat dalam penggunaan teknologi informasi, serta infrastruktur
lainnya, sehingga penanganan cybercrime
bukan hanya sekedar memberikan efek psikologis namun memberikan efek efek jera
dari pelaku kejahatan.
d.
penyampaian topik bahasan ”Pembangunan Politik Hukum Menjadikan
RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi Menjadi Undang-Undang yang Bersifat Lex Specialist” oleh KMRT Roy Suryo (Anggota DPR-RI),
dengan inti sebagai berikut:
1)
era teknologi informasi yang mulai berkembang pesat pada
awal tahun 2000, tidak bisa dipungkiri telah membawa perubahan besar dalam
tatanan kehidupan masyarakat antara lain dalam bidang pendidikan, bisnis,
layanan pemerintahan, dan wawasan pengetahuan informasi baik yang terjadi di
dalam negeri maupun luar negeri;
2)
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara
yang menjadi pasar prospektif dalam penyebarluasan dan penggunaan teknologi
informasi yang ditandai dengan banyaknya jasa internet yang sudah mulai
merambah masyarakat pedesaan, tingkat pemilikan yang tinggi terhadap gadget dan perangkat telekomunikasi
berbasis teknologi informasi, dan penyerapan tenaga kerja dengan latar belakang
pendidikan keilmuan di bidang teknologi informasi;
3)
namun kemajuan era teknologi informasi tidak hanya
sebatas pemanfaatan, tetapi perlu diimbangi dengan ketersediaan regulasi yang
efektif dari pemerintah guna mencegah timbulnya peluang negatif dari sebagian
pengguna teknologi informasi untuk melakukan kecurangan dan kejahatan;
4)
regulasi dan instrumen hukum terkait pemanfaatan
teknologi informasi di negara Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa,
diatur dengan sangat jelas dan rinci dengan mengelompokkan bidang dan jenis
pemanfaatan teknologi informasi, sedangkan pembuatan aturan hukum baru sifatnya
hanya melengkapi yang sudah ada tanpa menghilangkan materi pada ketentuan yang
lama;
5)
sedangkan regulasi dan instrumen hukum di Indonesia yang
mengatur pemanfaatan teknologi informasi, sangatlah minim dan berbanding
terbalik dengan jumlah kasus kejahatan teknologi informasi yang sedang
dihadapi, sedangkan pengaturan yang justru banyak dikembangkan dan diperbarui masih
sekitar hukum konvensional;
6)
regulasi dan instrumen hukum yang minim tersebut justru
berdampak pada semakin maraknya kasus cybercrime
dengan keterlambatan dan kebingungan bagi aparat penegak hukum untuk menjerat
pelakunya, bahkan dalam penyelesaian beberapa kasus kejahatan yang melibatkan
penggunaan teknologi informasi seperti penyebaran email yang mencemarkan nama
baik dan penjualan gadget ilegal,
aparat penegak hukum terpaksa menjerat pelakunya dengan aturan hukum
konvensional meskipun kejahatan yang dilakukan berbeda dan tidak bisa dikenakan
pasal-pasal dalam aturan hukum konvensional tersebut; dan
7)
pemerintah melalui DPR-RI dalam kaitannya memperkuat
penegakan hukum di Indonesia, sedang menyusun RUU tentang Tindak Pidana
Teknologi Informasi, RUU tentang Konveergensi Telematika, revisi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kesemuanya
secara garis besar berupaya untuk mencegah dan menindak kasus cybercrime yang terjadi di Indonesi
disertai dengan pemberian sanksi yang diharapkan memberikan efek jera bagi
pelakunya.
e.
penyampaian topik bahasan “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka
Menanggulangi Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime)” oleh Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LLM, dengan inti
sebagai berikut:
1)
pengaturan
masalah teknologi informasi secara garis besar telah tercakup dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), sedangkan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dimaksudkan
untuk mengkriminalisasi seluruh kejahatan berbasis teknologi informasi;
2)
instrumen
hukum di Indonesia dalam bidang
teknologi informasi dapat dilaksanakan, diterapkan, dan diimplementasikan
dengan baik apabila semua pemangku kepentingan bersemangat untuk “integrated criminal justice system”,
namun kenyataannya para pemangku kepentingan kurang apresiasi terhadap
instrument hukum yang telah ada,
padahal materi muatan instrumen tersebut mendapat penghargaan dari lembaga
teknologi informasi di negara lain;
3)
ITE tidak hanya mengatur masalah cybercrime dalam perspektif penyalahgunaan karena niat jahat
pelaku, tetapi juga memberikan kewajiban bagi penyelenggara untuk melakukan
tata kelola penggunaan teknologi informasi yang baik, namun untuk kesempurnaan
terutama aspek materi muatan, perlu adanya penambahan khususnya mengenai procedural law;
4)
RUU ini pada dasarnya tidak akan pernah bisa melengkapi
atau memperbaiki kelemahan instrumen hukum yang sudah ada selama berpatokan
pada lingkup kekuasaan dan bukan dilihat dari semangat cyber security, dan jika
cybercrime hanya dipahami sebagai hal
yang baru maka akan selesai apabila telah dirumuskan hukum positif (lex specialist) yang detail namun
resikonya adalah setiap ada penamaan tindak pidana baru meskipun berbasis
teknologi informasi secara otomatis harus diatur lagi dalam aturan hukum baru;
5)
cybercrime
mempunyai kekhususan tersendiri dan tidak bisa disamakan
dengan kejahatan konservatif, karena sifatnya yang antara lain menggunakan
perangkat komputer dan jaringan, penuh dengan intelektualitas tinggi, bersifat
lintas batas, waktu bersamaan dengan tempat berbeda (ubiquotus),
pelaku sulit dilacak, data yang tersampaikan relatif permanen, dan yang
terpenting yaitu membutuhkan penanganan yang cukup kompleks;
6)
kesulitan lain dalam pengaturan instrumen hukum di bidang teknologi informasi yaitu
tindakan yang dilakukan oleh terduga selama belum adanya korban walaupun
dilakukan dengan niat jahat, maka akan sulit ditindak karena akan berbenturan
dengan aturan hukum mengenai kebebasan berinformasi dan kebebasan HAM, sehingga
dalam melihat dan mengatasi suatu tindak pidana
diupayakan aturan hukum tersebut bersifat mencegah daripada
mempidanakan; dan
7)
jika RUU ini nantinya hanya bersifat komplementer,
masyarakat dan komunitas pengguna teknologi informasi, serta aparat penegak
hukum akan bingung dalam menerapkan lingkup antara ITE dengan tindak pidana
teknologi informasi, sehingga disarankan RUU mengatur penuh dan mencabut
substansi cybercrime dari
undang-undang ITE atau memperbaiki ITE dan menunda RUU serta memasukkan
substansinya dalam revisi KUHP dan KUHAP.
f.
penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada para
narasumber:
1)
Kombes Pol Drs. Didi Haryono, S.H., M.H. (Divpropam
Polri):
a)
bagaimana
strategi, metode, dan peran Polri terkait pencegahan kasus cybercrime seperti kasus pencurian pulsa pelanggan kartu telepon
seluler, serta apa saja kesulitan yang selama ini dihadapi Polri dalam
penuntasan kasus cybercrime; dan
b)
apakah
penyelesaian kasus cybercrime di negara lain bisa diterapkan di Indonesia
dengan pengaturan lex specialist yang lebih akomodatif dan mengantisipasi
kejahatan baru namun dengan modus yang sama yaitu memanfaatkan teknologi
informasi.
2)
Kombes Pol Drs. Gatta Chaerudin (Korlantas Polri):
a)
bagaimana upaya Polri dalam menyelesaikan kasus cybercrime ditinjau dari aspek preventif
terutama terhadap masyarakat;
b)
apakah perkembangan hukum di Indonesia dalam menyikapi
kasus cybercrime sudah cukup baik, karena pembangunan politik hukum nasional
sejalan dengan pembangunan kepentingan sesaat dari kalangan politik;
c)
KUHP lebih banyak mengatur kejahatan perorangan, apabila
masalah cybercrime dimasukkan dalam revisi KUHP, bagaimana dengan rumusan
konsep penanganan kasus cybercrime yang melibatkan korporasi; dan
d)
apakah memungkinkan apabila pembuktian terutama dengan
bukti digital, cukup dengan satu alat bukti dengan mengesampingkan pemenuhan 2
(dua) alat bukti, karena bukti digital tingkat otentikasinya lebih tinggi.
3)
Kompol Roy S, S.H., MAP (Bidkum Polda Metro Jaya):
a)
terkait kasus pencurian pulsa atau penipuan terhadap
pelanggan telepon seluler, ada kecenderungan pelanggan yang menjadi korban
adalah pelanggan pra-bayar dibandingkan dengan pasca-bayar, bagaimana tanggapan
terhadap hal tersebut;
b)
dalam melakukan investigasi terkait kasus cybercrime apakah Polri bisa melakukan
investigasi sedangkan permasalahan teknologi informasi merupakan domain Kementerian Komunikasi dan
Informasi melalui PPNS yang bersangkutan;
c)
bagaimana upaya pemerintah dalam menindak pihak-pihak
terutama penyedia jasa telekomunikasi yang diduga ikut berperan dalam kasus
cybercrime terutama pencurian pulsa, karena aparat penegak hukum baru bisa
bertindak terhadap penyelenggara layanan publik apabila ada instruksi dari
pemerintah;
g.
penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan
dari para peserta FGD:
1)
Kombes Pol Winston Tommy Watuliu:
a)
Implementasi dari strategi, metode, dan peran Polri dalam
menyelesaikan kasus cybercrime dari aspek preventif, yaitu dengan memberikan
penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat, serta bekerja sama dengan pihak
penyelenggara jasa teknologi informasi untuk melacak tempat kejadian perkara,
seperti kasus penyebaran video porno, kepolisian bekerja sama dengan penyedia
jasa internet mengenai nomor-nomor warnet sehingga bisa diketahui dari warnet
mana penyebaran video porno tersebut bermula;
b)
kendala Polri dalam penanganan kasus cybercrime antara lain belum tertibnya registrasi terhadap
penggunaan atau pembelian produk berbasis teknologi informasi, sehingga membutuhkan
waktu pelacakan yang cukup lama untuk menemukan pelakunya;
c)
dalam melakukan investigasi, Polri mengedepankan peran
PPNS suatu instansi yang terkait dengan permasalahan sesuai bidangnya, apabila
ditangani oleh PPNS maka Polri sifatnya membantu dari teknik penyelidikan,
penyidikan, dan pencarian barang bukti; dan
d)
penanganan kasus cybercrime
yang sifatnya preventif selain mengacu pada KUHP sebenarnya wajib meniru apa
yang diterapkan di negara-negara benua Eropa, yaitu pelaku kejahatan baik
korporasi maupun perorangan selain dipidana penjara berat, mereka diharuskan
membayar denda kepada pihak yang dirugikan, disamping itu identitas mereka akan
disebar dalam bentuk blacklist ke
semua pihak termasuk komunitas dan penyelenggara jasa teknologi informasi
sehingga hukuman-hukuman tersebut memberi efek jera.
2)
KMRT Roy Suryo:
a)
pembangunan politik hukum yang berorientasi pada
kepentingan penguasa politik merupakan akibat sistem pemilihan wakil rakyat di
Indonesia, namun pemerintah tetap berupaya untuk membangun kerangka hukum yang
kuat dalam menyelesaiakan kasus cybercrime
dengan merangkul semua pemangku kepentingan;
b)
permasalahan pencurian pulsa sebenarnya pemerintah telah
mengeluarkan instruksi kepada operator penyelenggara untuk memutus hubungan
dengan penyedia konten yang diindikasikan menipu pelanggan telepon seluler,
namun tetap kendala karena pemerintah malah dituding oleh penyedia konten bahwa
langkah yang diambil dapat mematikan usaha dan melanggar HAM, sedangkan
masyarakat menuntut tanggung jawab pemerintah selaku regulator jasa teknologi
informasi untuk menindak tegas perusahaan penyedia jasa tersebut;
c)
salah satu upaya pemerintah dalam meminimalisir kasus cybercrime yang berhubungan dengan
telepon seluler yaitu penertiban registrasi pelanggan karena berdasarkan hasil
survey jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 270 juta jiwa dengan jumlah
pemilik kartu telepon seluler sebanyak 212 juta jiwa, jika dikurangi dengan
usia cukup penghasilan maka satu orang penduduk usia kerja memiliki 2-3 nomor
kartu, hal tersebut akan semakin menyulitkan aparat penegak hukum apabila yang
bersangkutan menjadi korban atau pelaku cybercrime;
d)
kecenderungan kasus penipuan dan pencurian pulsa
merugikan pelanggan pra-bayar karena sistem pasca-bayar mengharuskan pelanggan
membayar pada akhir bulan setelah pemakaian sehingga apabila ada pemakaian
tidak wajar, pelanggan dapat menuntut kejelasan, berbeda dengan sistem
pra-bayar yang mengharuskan pelanggan membayar jasa terlebih dahulu namun pemakaiannya
tidak dikontrol oleh penyelenggara jasa telekomunikasi; dan
e)
penanganan kasus cybercrime tidak hanya dilihat dari
aspek KUHP, tetapi perlu diklasifikasi kembali jenis-jenisnya mulai dari ringan
(denda) sampai dengan berat (penjara) karena seperti kasus penyebaran email
yang mencemarkan suatu instansi, pelakunya dijerat dengan KUHP namun karena
kurangnya sosialisasi hukum terhadap masyarakat di bidang perundang-undangan,
maka hukuman tersebut oleh masyarakat dianggap tidak adil dan mendesak pelaku
untuk dibebaskan.
3)
Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LLM.:
a)
konsep penyelesaian cybercrime
dari aspek preventif lebih menitikberatkan pada administratif dan tanggung
jawab birokratik, seperti contoh intersepsi adalah mendengar percakapan dan
boleh tanpa izin pengadilan, tetapi jika sudah mencegah maka perlu izin karena
dikhawatirkan pencegahan tersebut berujung pada pengrusakan isi percakapan yang
bisa digunakan sebagai barang bukti;
b)
perkembangan hukum di Indonesia sebenarnya sudah cukup
bagus, tetapi aparat penegak hukum dan pemerintah masih belum memahami makna
materi muatan dari aturan hukum yang ada, sehingga sering timbul salah
penafsiran dan pembuatan peraturan perundang-undangan yang sifatnya terus
sebagai pelengkap, sebagai contoh KUHP merupakan aturan hukum buatan Belanda,
namun apakah ada terjemahan resmi ke bahasa Indonesia pada awalnya, seharusnya
kita jangan menafsirkan sesuatu sesuai keilmuan kita tetapi harus
disinkronisasi dan dikoordinasikan dengan baik sehingga satu sama lain tidak
berbeda pandangan dalam menetapkan dan menerapkan suatu aturan hukum;
c)
kasus pencurian pulsa sebenarnya tidak tepat dikenakan
pasal pencurian karena pulsa bukanlah satuan barang, pulsa adalah penyerahan
piutang kepada penyelenggara jasa, sehingga apabila piutang tersebut dikurangi
tanpa persetujuan maka penyelenggara jasa tersebut bisa dijerat dengan pasal
penipuan atau penggelapan, dan penyebaran data pribadi pelanggan juga merupakan
pelanggaran yang dapat berakibat jeratan hukum;
d)
mengenai pembuktian dengan satu alat bukti, belum bisa
diterapkan karena untuk menjelaskan satu peristiwa hukum, statusnya hanya
sebagai barang bukti sedangkan untuk mencari pelaku statusnya baru disebut
sebagai alat bukti; dan
e)
pengaturan RUU ini sebagai lex specialist, tidak masalah selama aparat penegak hukum dan
pemerintah mampu menterjemahkannya untuk menyelesaikan kasus-kasus dengan modus
yang berbeda-beda, yang dikhawatirkan adalah apabila ada modus baru namun
karena kurangnya pemahaman terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan,
kita akan tergesa-gesa merancang undang-undang baru, sehingga terkesan
pembangunan politik hukum Indonesia kurang terencana dengan baik.
h.
diskusi antar peserta FGD yang terbagi dalam 2 (dua)
kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap
materi/substansi RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi, dengan hasil sebagai
berikut:
1)
Kelompok I:
a)
dalam Pasal 1, perlu ditambahkan atau penyempurnaan
rumusan kalimat terhadap definisi yang berkaitan dengan teknologi informasi,
dan menghapus definisi-definisi yang tidak dimuat dalam batang tubuh;
b)
dalam Pasal 3 dan Pasal 4, rumusan kalimat disempurnakan
dan dimaksudkan untuk mengakomodir pelaku cybercrime antara lain dengan modus
hacking, penipuan jual-beli online, pencurian pulsa, dan pembobolan rekening
bank milik nasabah;
c)
dalam BAB III, perlu diatur materi mengenai kerahasiaan
data pelanggan yang dikelola oleh penyedia jasa (provider) karena kasus pencurian pulsa dan gangguan layanan
komunikasi, banyak diakibatkan oleh provider
yang diduga bekerja sama dengan oknum internal perusahaan operator komunikasi;
dan
d)
dalam BAB VIII, pidana penjara dan denda perlu
ditambahkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, karena kasus cybercrime
selain menimbulkan kerugian personal juga bisa merugikan suatu korporasi dengan
nilai nominal kerugian yang tidak sedikit.
2)
Kelompok II:
a)
judul disarankan diubah menjadi Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, karena
Teknologi Informasi bukanlah suatu kejahatan seperti korupsi atau pembalakan
liar, melainkan suatu bidang keilmuan;
b)
dalam pasal 3 penggunaan kalimat “dengan sengaja dan tanpa hak” perlu
dikaji kembali karena kemungkinan jaringan pelaku justru orang yang punya hak
akses namun sengaja merusak bukti digital untuk mencari keuntungan pribadi atau
dengan niat jahat;
c)
dalam Pasal 16, penegak hukum berhak melakukan akses terhadap data trafik yang melibatkan
satu atau lebih penyedia jasa teknologi informasi dan komunikasi,
sebaiknya ditambahkan akses terhadap aplikasi, database, dan data pendukung lain yang dapat memudahkan penegak
hukum dalam mengumpulkan keterangan dan barang bukti; dan
d)
dalam Pasal 24 ayat (3), rumusannya disempurnakan
yang intinya PPNS harus memberitahukan penyidikan yang sedang diproses dan
melaporkan perkembangannya pada Polri sebelum SPDP diajukan kepada JPU, hal ini
dimaksudkan untuk mengoptimalkan peran Polri di bidang Korwasbin PPNS dalam
memberikan bantuan dan pengarahan terkait permasalahan yang dihadapi selama
proses penyidikan.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan:
a.
era teknologi informasi di Indonesia semakin berkembang
pesat pada awal abad ke-21, yang ditandai dengan konsumsi dan pemanfaatan
teknologi informasi yang meningkat tajam dalam bidang industri, telekomunikasi,
akses internet, pelayanan, dan jasa lainnya yang dirasakan semakin membantu
aktivitas masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi, karena keunggulan
teknologi informasi yang efektif dan efisien serta tidak mengenal batasan
wilayah dan waktu dalam pemanfaatannya;
b.
perkembangan pesat terhadap suatu bidang keilmuan, selain
membawa pengaruh positif juga membawa konsekuensi dan pengaruh negatif dari
pemanfaatan yang kurang terkontrol terutama oleh regulasi dan aturan hukum yang
jelas, sehingga memberikan peluang munculnya kejahatan dengan modus baru
berbasis tekonologi informasi yang disebut cybercrime
dan kasus yang beragam namun sulit untuk diungkap pelakunya, seperti kasus
penipuan jual-beli online, perjudian online, penyebaran sms teror atau sms
meresahkan, penyebaran pornografi, pembobolan rekening bank milik nasabah,
serangan terhadap situs pemerintah, dan yang marak terjadi saat ini yaitu kasus
pencurian pulsa pelanggan telepon seluler;
c.
pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi
selaku regulator di bidang teknologi informasi berupaya mencegah dan
menertibkan pemanfaatan teknologi informasi
di Indonesia salah satunya melalui penyusunan instrumen hukum yang
diharapkan mampu mengakomodir permasalahan yang dihadapi dalam bidang teknologi
informasi; dan
d.
saat ini instrumen hukum di bidang teknologi informasi
diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, namun yang mengatur kekhususan tindak pidana belum terwadahi dan
masih mempedomani ketentuan KUHP yang dirasa tidak sesuai karena cybercrime
bukan termasuk kejahatan konvensional, sehingga pemerintah mengambil inisiatif
untuk menyusun RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi.
2.
Saran:
a.
RUU ini diarahkan menjadi lex specialist sehingga pengaturan materi muatannya harus jelas,
bisa menjerat pelaku cybercrime
dengan berbagai modus, dan berlaku untuk jangka panjang, agar jangan sampai
ketika ada kasus kejahatan baru yang tidak diatur dalam RUU namun menggunakan
modus teknologi informasi, pemerintah malah membuat instrumen hukum yang baru
yang justru semakin membuat tumpang tindih pengaturan;
b.
penyelesaian kasus cybercrime
tidak hanya dari instrumen hukum, tetapi dibutuhkan kerja sama para pemangku
kepentingan, aparat penegak hukum, dan peran serta masyarakat, contoh kasus
pencurian pulsa dibutuhkan keseriusan operator jasa telekomunikasi untuk
menjaga kerahasiaan data pelanggan dan mengedepankan pelayanan dengan
mengesampingkan profit oriented,
pemerintah selaku regulator harus mampu menertibkan registrasi pelanggan dan
konsisten dalam menjalankan suatu aturan, pihak kepolisian harus mampu
mengembangkan kemampuan personal di bidang teknologi informasi guna membantu
tugas penyidikan, dan peran serta masyarakat untuk tertib registrasi dan tidak
mudah terpengaruh layanan-layanan yang tidak jelas keabsahan dan legalitasnya.
3.
Demikian laporan pelaksanaan FGD RUU tentang Tindak
Pidana Teknologi Informasi yang mengambil tema ”KONSEPSI IDEAL RUU TENTANG
TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DALAM
UPAYA MEWUJUDKAN KEAMANAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN KETERTIBAN PEMANFAATAN
TEKNOLOGI INFORMASI” disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
penggunaan anggaran dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.
Mengetahui:
KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI
Ttd.
Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
|
Jakarta, November 2011
KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD
Ttd.
Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 62030473
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar