Future

Future

Selasa, 13 Desember 2011

Laporan FGD - I

LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK
.
Uray Mohammad Fachriansyah (Staf Divisi Hukum Polri)


A.           PENDAHULUAN

Senjata api dan bahan peledak merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat tertentu yang terus-menerus mengalami berkembangan dari segi kualitas maupun kuantitas mulai dari ribuan tahun yang lampau sampai saat ini, baik dari cara pembuatan maupun peruntukannya. Senjata api dan bahan peledak menjadi salah satu komoditis perdagangan yang harganya relatif sangat tinggi, yang telah diperdagangkan baik dalam negeri maupun antara satu dan/atau beberapa negara dalam jumlah yang sangat besar. Tujuan perdagangan tersebut untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi pencapaian kesejahteraan masyarakat pada suatu negara.

Kegunaan senjata api dan bahan peledak dalam kehidupan manusia saat ini sudah sedemikian luas,  senjata api dan bahan peledak juga menjadi salah satu alat/instrumen utama dalam pembangunan pertahanan melalui penyediaan kelengkapan sarana persenjataan bagi angkatan bersenjata/militer suatu negara, demikian juga senjata api ukuran kaliber tertentu telah dijadikan sebagai sarana untuk mendukung tugas-tugas aparat keamanan dalam melakukan  pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) sesuai dengan lingkup tugas dan wewenang aparat keamanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun disisi lain, senjata api dan bahan peledak dapat dijadikan sebagai instrumen yang sangat berbahaya apabila disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bahkan dapat memusnahkan suatu kelompok umat manusia. Saat ini banyak senjata dan bahan peledak yang beredar secara illegal yang dijadikan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan kekerasan, pelanggaran HAM dan terorisme.

Berbagai peraturan yang ada dan dipergunakan selama ini merupakan produk yang dibuat puluhan tahun yang lalu bahkan masih dibuat dalam era pemerintahan kolonial Belanda, dengan sendirinya sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai filsafat/pandangan hidup bangsa Indonesia.

Secara substansial peraturan yang ada tidak dapat mengakomodir berbagai perkembangan kemajuan zaman dan fenomena sosial yang timbul sebagai akibat kemajuan tekonologi, seperti gerakan-gerakan radikalisme islam yang menimbulkan terorisme yang menggunakan senjata api dan bahan peledak, beberapa bentuk dan jenis senjata api dan bahan peledak yang berkembang pesat, apabila menggunakan ketentuan peraturan lama, tidak dapat diklasifikasi sebagai senjata api dan bahan peledak, padahal memiliki sifat dan efek yang lebih mematikan seperti pen gun, bom molotov, bom biologis, bom rakitan dan lain sebagainya.

Penyelesaian kasus terkait dengan senjata api dan bahan peledak  belum terselesaikan secara memuaskan, karena tidak jelas lembaga pemangku wewenang (stakeholder) yang mengurusi masalah senjata dan bahan peledak. Dengan kata lain apabila timbul masalah maka pihak-pihak yang terkait sering saling lempar tanggung jawab, padahal prinsip dalam hukum administrasi tugas-tugas harus habis dibagi oleh pemangku-pemangku yang berwenang. Demikian juga pengaturan mengenai sanksi pidana maupun administratif bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam penggunaan senjata api dan/atau bahan peledak  kurang kuat/ kurang jelas, bahkan sering tidak dapat dijangkau oleh hukum.

Berdasarkan latar belakang tersebut, bentuk pertemuan ilmiah  yang paling  cepat, tepat dan akurat dilakukan untuk memperoleh masukan dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan tentang senjata api dan bahan peledak yang ideal, adalah melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD), dengan menghadirkan narasumber dan peserta yang memiliki disiplin ilmu, pengetahuan, dan keterkaitan dengan permasalahan senjata api dan bahan peledak.

C.           MAKSUD DAN TUJUAN

1.            Maksud kegiatan FGD ini:
a.            terinventarisir pandangan, pendapat, dan sumbangan pemikiran konstruksi/substansi yang ideal dalam perumusan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak; dan
b.            dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak segera terwujud, sampai dengan disahkan menjadi undang-undang.

2.            Tujuan FGD ini adalah terjaring dan terakomodirnya berbagai permasalahan dalam pengawasan, peredaran, dan penggunaan senjata api dan bahan peledak, untuk dirumuskan dalam rancangan undang-undang.

D.           PELAKSANAAN

1.            Tema:
Tema FGD ini adalah ”KONSEPSI RUU SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK YANG IDEAL DALAM UPAYA MENATA PEREDARAN, PENGGUNAAN, PENYALAHGUNAAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI”.

2.            Waktu dan Tempat:
a.            Hari/Tanggal : Selasa, 9 Agustus 2011;
b.            Waktu             : Pukul 09.00 s.d. 17.45 WIB;
c.            Tempat           : Park Hotel, Jalan Mayjen D.I. Pandjaitan
                           Cawang - Jakarta Timur.

3.            Narasumber:
a.            Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H. (Anggota Komisi III DPR-RI), dengan topik bahasan ”Pembangunan Politik Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Peredaran Senjata Api dan Bahan Peledak Ilegal”;
b.            Bambang Jaka Setiawan (Kasubdit Barang Kimia, Tambang, dan Limbah) yang mewakili Direktur Impor Kementerian Perdagangan, dengan topik bahasan ”Peningkatan Kerja Sama Stakeholder Dalam Rangka Pengawasan, Pemasukan, Peredaran Bahan Peledak”;
c.            Komjen Pol Drs. Pratiknyo (Kabaintelkam Polri) yang diwakilkan oleh Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP (Kabidyanmas Baintelkam Polri), dengan topik bahasan ”Peran Pemerintah Dalam Menata Peredaran dan Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak Guna Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri”.

4.            Moderator:
Kombes Pol Drs. Syahri Gunawan, M.H. (Analis Utama Divkum Polri).

5.            Peserta:

a.            Mabes Polri
Perwakilan dari Satker Baintelkam Polri, Bareskrim Polri, Srena Polri, Divpropam Polri, Divhumas Polri, Divkum Polri, dan Densus 88 AT Polri.

b.            Polda:
1)           Dirintelkam dan Kabidkum Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, dan Polda Banten;
2)           Kasatintelkam dan Kasubbagkum Polres jajaran Polda Metro Jaya, meliputi Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tj.Priok, dan Kepulauan Seribu.

c.            Perwakilan Kementerian/Lembaga/Badan:
1)           Kementerian Hukum dan HAM;
2)           Kementerian Perdagangan;
3)           Kementerian Perindustrian;
4)           Badan Intelijen Negara;
5)           Komnas HAM;
6)           PT. Pindad; dan
7)           PB. Perbakin.


E.           AGENDA KEGIATAN

1.            Sambutan Pembukaan FGD yang disampaikan oleh Kadivkum Polri Irjen Pol. Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M., dengan inti sebagai berikut:
a.            kegiatan FGD dimaksudkan untuk mengidentifikasi substansi RUU tentang Senjata Api dan Bahan Peledak secara keseluruhan, sehingga diperoleh konsepsi yang ideal dan implementatif;
b.            izin dan pengawasan produksi, peredaran, dan penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak perlu dilakukan secara ketat oleh instansi yang diberikan kewenangan, mengingat penyalahgunaan Senjata Api dan Bahan Peledak akan sangat membahayakan keamanan dan keselamatan lingkungan;
c.            perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan produksi, kualitas, bentuk, jenis, dan peruntukan Senjata Api dan Bahan Peledak, namun perundang-undangan yang mengatur masalah Senjata Api dan Bahan Peledak masih menggunakan produk zaman kolonial dan kurang menjangkau permasalahan yang ada saat ini sehingga banyak terdapat kesulitan pada aparat penegak hukum dalam melakukan tugas di bidang pengawasan;
d.            dengan diadakannya FGD ini, diharapkan para narasumber dan para peserta dapat memberikan konstruksi hukum secara positif dalam penyusunan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak yang ideal, yang mencakup pengaturan di bidang pengawasan produksi, pemasukan, pengeluaran, pembelian, peredaran, distribusi, dan penggunaannya.

2.           Paparan dari para Narasumber yang dipandu oleh Moderator Kombes Pol Drs. Syahri Gunawan, M.H. (Analis Utama Divkum Polri), sebagai berikut:
a.            Penyampaian topik bahasan ”Pembangunan Politik Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Peredaran Senjata Api dan Bahan Peledak Ilegal” oleh Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H. (Anggota Komisi III DPR-RI), dengan inti sebagai berikut:
1)           pembangunan politik hukum untuk menanggulangi peredaran senjata api dan bahan peledak ilegal dapat diartikan dalam dual aspek, yaitu soal bentuk dan jenis peraturannya yang dapat disebut pula sebagai aspek  formal dan kedua adalah aspek materi  muatannya. Kedua aspek itu penting, karena senyatanya undang-undang tentang senjata api yang ada sekarang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan;
2)           semakin terciptanya peraturan perundang-undangan yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif dalam pembuatan, peredararan atau perdagangan serta penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak serta mencerminkan aspirasi masayarakat dan kebutuhan pembangunan pembuatan, peredaran serta penggunaannya, semakin terjaminnya konsistensi/ sinkronisasi  pada tingkat pusat dan daerah mengenai Senjata Api dan Bahan Peledak ini;
3)           pembentukan undang-undang mengacu kepada prioritas RUU yang telah dituangkan dalam daftar program legislasi nasional, dan Rancangan Undang-Undang tentang Senjata Api dan Bahan Peledak sudah terdaftar dalam prioritas Prolegnas 2010-2014 dengan daftar prioritas nomor 62;
4)           hal penting yang perlu diperhatikan dalam rangka pembentukan Undang-Undang tentang Senjata Api dan Bahan Peledak ini adalah menyusun Naskah Akademik yang merupakan hasil   penelitian  atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu  yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut;
5)           pembentukan Undang-Undang tentang Senjata Api dan Bahan Peledak  harus didasarkan pada 3 (tiga) alasan atau landasan, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Ketiga landasan tersebut akan tercermin dalam rumusan ketentuan menimbang;
6)           melihat perkembangan hukum  pada saat ini dan akan datang, maka RUU Senjata Api dan Bahan Peledak diharapkan tidak hanya mengatur aspek pidana tetapi juga menyangkut hukum administrasi. Sedangkan ruang lingkup pengaturan meliputi rumusan-rumusan pengertian senjata api dan bahan peledak, produksi, impor, penggunaan atau pemanfaatan, pengawasan, tanggungjawab dari para pihak, dan ketentuan pidana.

b.            Penyampaian topik bahasan Peningkatan Kerja Sama Stakeholder Dalam Rangka Pengawasan, Pemasukan, Peredaran Bahan Peledak” oleh Bambang Jaka Setiawan (Kasubdit Barang Kimia, Tambang, dan Limbah), dengan inti sebagai berikut:
1)           Bahan Peledak terdiri dari bahan peledak untuk kepentingan militer dan bahan peledak untuk kepentingan industri (komersial) yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, perdagangan dan kesehatan;
2)           badan usaha yang melakukan kegiatan ekspor dan impor bahan peledak dan komponennya, maka izin diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Pertahanan;
3)           Menteri Pertahanan dalam melakukan pengawasan terhadap produksi, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan peledak, berkoordinasi dengan Mabes TNI, Mabes Polri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan;
4)           Kementerian Pertahanan berwenang mengabulkan atau menolak permohonan izin sebagai badan usaha peledak komersial, mengabulkan atau menolak permohonan kuota bahan peledak komersial beserta asesorisnya, dan mengabulkan atau menolak permohonan rekomendasi sebagai Importir Terdaftar (IT) bahan peledak komersial;
5)           Mabes TNI (dilaksanakan oleh BAIS TNI), berwenang memberikan rekomendasi kepada badan usaha bahan peledak untuk melakukan impor/ekspor bahan peledak komersial, dan melakukan monitoring tempat keluar masuknya dan penggunaan  bahan peledak komersial bersama dengan Polri;
6)           Mabes Polri (dilaksanakan oleh Baintelkam Polri), berwenang memberikan rekomendasi izin ekspor dan impor, danmemberikan izin pergudangan, pemilikan, penguasaan dan penyimpanan;
7)           Kementerian Perdagangan, berwenang mengabulkan atau menolak permohonan sebagai Importir Terdaftar bahan peledak komersial, dan memberikan persetujuan impor/ekspor bahan peledak dan asesorisnya.

c.            Penyampaian topik bahasan Peran Pemerintah Dalam Menata Peredaran dan Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak Guna Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri” oleh Kabaintelkam Polri Komjen Pol Drs. Pratiknyo, yang diwakili oleh Kabidyanmas kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP., dengan inti sebagai berikut:
1)           kemajuan teknologi dalam bidang senjata api dan bahan peledak sangat strategis dan bermanfaat dalam mendukung pertahanan keamanan serta pembangunan nasional, disisi lain senjata api dan bahan peledak dapat menjadi ancaman di setiap negara dengan  adanya peredaran senjata api ilegal lintas negara;
2)           perkembangan saat ini dalam budaya masyarakat di Indonesia bahkan di negara-negara tertentu terhadap keberadaan Senjata Api dan Bahan Peledak bukan hal yang asing mengingat sejak dahulu masyarakat sudah memiliki kemampuan dalam merakit senjata api dan mengembangkan bahan-bahan tertentu menjadi bahan peledak yang berbahaya;
3)           berbagai macam peraturan perundang-undangan dari produk peninggalan kolonial tentang senjata api dan bahan peledak, sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan demokrasi saat ini, dan perlu dilakukan penyempurnaan atau kodifikasi peraturan perundang-undangan terkait senjata api dan bahan yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional;
4)           Polri memberikan izin dan  melakukan pengawasan terhadap senjata api dan bahan peledak sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 ayat (2) huruf e, yang dikoordinasikan dengan instansi terkait sesuai tataran kewenangan masing-masing dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan impor, produksi, pengangkutan, penyimpanan, penggudangan, penggunaan sampai dengan pemusnahan senjata api dan bahan peledak serta melakukan pengamanan, pengawasan/pengendalian terhadap para importir/ badan  usaha bahan peledak dan pengguna akhir;
5)           untuk pengaturan terhadap senjata api non organik TNI/Polri sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 ayat (2) huruf e bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan lainnya berwenang memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam;
6)           penggunaan bahan peledak yang ditemukan dalam kasus-kasus terror bom bukan dari bahan peledak komersial tetapi merupakan rakitan dari bahan-bahan kimia yang peredarannya belum diatur secara ketat seperti penggunaan potasium klorat dan kalium nitrat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas;
7)           kasus kekerasan dengan menggunakan senjata api dan bahan peledak yang mendapat sorotan masyarakat dan mengganggu keamanan dan ketertiban dalam negeri, antara lain perampokan Bank CIMB di Medan, aksi peledakan bom/ bom bunuh diri Bali 1 dan 2, JW Marriot, Kedutaan Australia dan terakhir kasus bom bunuh diri di Mapolres Cirebon, serta ancaman teror bom baik melalui telepon maupun pengiriman paket/benda menyerupai bom/bom buku yang diletakkan di tempat tertentu yang menjadi perhatian masyarakat;
8)           pelaksanaan pengamanan, pengawasan/pengendalian bahan peledak komersial yang dilakukan oleh Polri telah dilakukan secara maksimal mulai tingkat Polsek sampai dengan Mabes Polri dan untuk senjata api non organik TNI/Polri peruntukan bela diri dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat diambil kebijakan penertiban dan tidak menerbitkan kepemilikan baru;
9)           untuk mencegah terjadi penyalahgunaan senjata api dan bahan peledak perlu ditingkatkan kerjasama antar pemangku kepentingan (Stakeholder) dalam pengamanan, pengawasan/pengendalian senjata api dan bahan peledak serta pelibatan peran masyarakat dan melakukan sosialisasi terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) senjata api dan bahan peledak.

3.           Sesi penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada pra narasumber:

a.            AKBP Kasmen, M.E. (Kasubbidsendak Baintelkam Polri):
1)            kepada Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dalam perumusan RUU, disebutkan harus fokus kepada arah pemikiran dan ruang lingkup yang disusun. Tim Pokja sudah berusaha merumuskan semaksimal mungkin, namun bagaimana menurut pandangan dari aspek pembangunan politik hukum nasional, dan apakah RUU ini harus mengatur pembatasan pemilikan atau memperbolehkan pemilikan mengingat kondisi masyarakat Indonesia semakin demokratis dan sensitif terhadap pembatasan hak;
2)            kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan), apakah pengawasan yang dilakukan hanya kepada bahan peledak, bahan baku pembuat bahan peledak, atau bahan yang bukan peledak namun mengandung unsur bahan peledak, dan mengenai airsoft gun apakah perizinannya bisa dipersamakan dengan senjata api mengingat tingkat kerawanan dan bahaya yang ditimbulkan menyerupai senjata api;

b.            Kombes Pol Parimin Warsito, S.H. (Kabidkum Polda Jawa Barat):
1)           kepada Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dalam beberapa pembahasan RUU sering terjadi perdebatan dan tarik ulur kepentingan yang menyangkut kewenangan beberapa instansi, bagaimana pandangan dari DPR-RI untuk menyikapi hal tersebut  dan apabila ada instansi yang harus berkurang kewenangannya karena dialihkan kepada instansi lain;
2)           kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan), apakah pemberian izin impor bahan peledak sudah melalui analisis dan evaluasi kebutuhan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan peruntukkan terutama bagi kalangan industri;
3)           kepada Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP., kelemahan Polri dalam pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak terkait distribusi dan pengawalan, karena di daerah sering bahan peledak diamankan kepolisian akibat tertangkap razia, padahal surat-suratnya lengkap namun pihak kepolisian tidak diberikan tembusan mengenai distribusi bahan peledak tersebut;

c.            AKBP Teddy E., S.IK. (Ditintelkam Polda Jawa Barat):

menurut Prof Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., apakah saat ini kepolisian masih pantas membidangi pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak, mengingat saat ini media dan masyarakat banyak menyorot lemahnya pengawasan kepolisian dalam mengatasi maraknya kejahatan menggunakan Senjata Api dan Bahan Peledak;

d.            AKBP Suparnomo (Puslabfor Bareskrim Polri):

kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan), apabila dalam distribusi bahan peledak dari pelabuhan sampai di tempat tujuan, namun di jalan tol atau jalan umum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ledakan dan korban jiwa masyarakat dan lingkungan, instansi mana yang harus bertanggungjawab dan menangani permasalah tersebut;

e.            AKBP Yanuar Prayoga (Analis Ditintelkam Polda Jawa Barat):

bagaimana rumusan perkembangan teknologi dalam mempengaruhi bentuk senjata api, bisa dimasukkan dalam RUU ini, dan mengenai pengawasan bahan peledak apakah yang akan diatur dalam RUU ini terbatas pada bahan peledak yang sudah jadi;

f.             AKBP Ir. Abdurrahman (Kaden KBR Sat I Gegana Korbrimob Polri):
1)            penyalahgunaan bahan peledak yang saat ini marak terjadi, setelah dilakukan penelitian justru bukan berasal dari bahan peledak jadi, melainkan dari bahan-bahan baku yang mengandung bahan peledak dan pada masa orde baru, bahan peledak jenis dinamit dan TNT malah sangat jarang disalahgunakan;
2)            kasus peledakan dan teror bom oleh teroris justru dengan menggunakan bom molotov dan petasan, karena sepanjang pulau jawa banyak home industri pembuatan petasan yang justru menjadi ajang teroris untuk belajar merakit bahan peledak, sebagai contoh gula pasir jika dicampur dengan klorat akan menghasilkan daya ledak. Disarankan kepada Kementerian Perdagangan, sebaiknya apapun bentuknya petasan harus dilarang dan kalau perlu dimusnahkan;

g.            Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H. (Kabagsunkum Divkum Polri:

1)           kepada Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H.:
a)            pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak meliputi kepentingan militer, pembangunan, olah raga, dan bela diri, namun pada saat dilakukan harmonisasi dengan instansi terkait banyak terjadi perdebatan karena kekhawatiran pengurangan kewenangan, sehingga timbul wacana dari Mabes TNI untuk membuat rancangan undang-undang tersendiri yang mengatur Senjata Api dan Bahan Peledak untuk kepentingan militer. Bagaimana pandangan dari aspek politik hukum nasional apabila permasalahan yang sama diatur dalam dua undang-undang, dan batasan apa yang harus diatur dan dikembangkan;
b)            dalam RUU ini, ada wacana untuk memasukkan airsoft gun dan benda-benda lain yang mekanisme kerjanya mirip dengan senjata api, yang disebut benda yang menyerupai senjata api. Apakah hal tersebut dimungkinkan untuk diatur sedangkan judul RUU ini adalah tentang Senjata Api dan Bahan Peledak;

2)           kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Pedagangan):
a)             penyalahgunaan banyak terdapat pada unsur pengawasan dan perizinan, misalkan importir memasukkan sejumlah bahan peledak melebih jumlah yang dipesan, bagaimana pengurusan sisa bahan tersebut mengingat barang tersebut merupakan bahan berbahaya;
b)             saat ini kita ketahui kewenangan masalah Senjata Api dan Bahan Peledak terbagi-bagi pada beberapa instansi, sehingga banyak tumpang tindih dalam penerbitan rekomendasi dan menyulitkan masyarakat, sehingga belum jelas siapa yang berwenang dalam masalah pengawasan dan perizinan senjata api dan bahan peledak;

h.            Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP. (Kabidyanmas Baintelkam Polri):

saat ini terdapat 10 (sepuluh) peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah Senjata Api dan Bahan Peledak dan sebagian merupakan peninggalan kolonial, apakah peraturan perundang-undangan tersebut dapat dijadikan satu dalam RUU ini, karena berdasarkan surat dari DPR-RI, kewenangan membuat RUU Senjata Api dan Bahan Peledak diberikan kepada Polri;

4.            Sesi penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan dari para peserta FGD:

a.            Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H.:
1)           dalam pembahasan RUU di DPR-RI ada sesi perumusan permasalahan yang melibatkan tim perumus (DPR-RI dan pemerintah) menyangkut hal-hal apa saja yang akan diatur dan dibatasi dalam suatu RUU, dan khusus untuk RUU Senjata Api dan Bahan Peledak, ruang lingkup pengaturannya meliputi teknologi pembuatan, bahan baku atau alat yang dapat mengubah menjadi Senjata Api dan Bahan Peledak, faktor pemilikan ditinjau dari kultural masyarakat, dan perizinan;
2)           perdebatan yang sering terjadi dalam pembahasan RUU, adalah lumrah mengingat masing-masing instansi pemangku kepentingan tidak ingin kewenangannya berkurang, dan pro-kontra dari masyarakat pasti akan timbul apabila Polri menyita Senjata Api milik mereka, karena penyitaan di luar perintah pengadilan adalah melawan hukum dan bisa dituntut;
3)           dalam hal pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak, tetap Polri harus yang dikedepankan, karena Polri adalah instansi terdepan yang mengetahui kejadian-kejadian di masyarakat yang paling dekat dan menjangkau masyarakat, terutama dengan pemberdayaan Perpolisian Masyarakat (Polmas);
4)           pada dasarnya rancangan undang-undang bisa dibuat atas inisiatif pemerintah atau masyarakat yang diwakili DPR, dan apabila suatu pengaturan diatur dalam dua rancangan undang-undang, maka yang akan menentukan adalah Amanat Presiden (Ampres);
5)           perkembangan teknologi perlu untuk diatur dalam RUU ini mengingat perkembangan dan jangkauan hukum sering tertinggal dari teknologi, namun tetap harus dilihat asas manfaat, kepastian, dan keadilan bagi masyarakat yang akan menggunakan;
6)           apabila bersifat lex generalis maka RUU ini sifatnya menyatukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan apabila bersifat lex spesialis maka RUU ini sifatnya lebih sempit dan hanya menambah materi yang belum ada atau mengisi kekosongan hukum.

b.            Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan):
1)           ruang lingkup pengaturan regulasi bahan peledak pada Kementerian Perdagangan meliputi bahan peledak dan bahan lain yang mempunyai senyawa yang mengandung bahan peledak, dan bahan lain yang apabila di mixed dengan bahan lain bisa menjadi bahan peledak. Sedangkan untuk regulasi mengatur dari penyaluran/distribusi sampai dengan penggunaan oleh pengguna akhir, dan pedagang/importir yang tidak terdaftar sebagai produsen tidak diberikan izin untuk memasukkan barang berbahaya tersebut;
2)           jika dilihat secara fisik, airsoft gun memang menyerupai senjata api dan selama ini izin senjata api ada pada Mabes Polri, akan tetapi pada implementasinya, banyak oknum-oknum yang memanfaatkan kelemahan pengawasan dengan menyelundupkan airsoft gun, dengan kedok mainan anak-anak sehingga perizinannya tidak melalui Polri tetapi melalui Kementerian Perdagangan;
3)           perizinan untuk bahan peledak komersil, penerbitan izin sebagai badan usaha atau menetapkan importir bahan baku peledak, tidak semata dianalisis persyaratan administrasinya tetapi juga melibatkan perwakilan dari Kementerian Pertahanan. Sedangkan untuk izin pendistribusian barang berbahaya, harus ada rekomendasi dari Kementerian Pertahanan, Mabes Polri, dan juga TNI, dan untuk evaluasi penggunaan bahan peledak dilakukan bersama dengan Ditjen Potensi Pertahanan berdasarkan laporan evaluasi penggunaan bahan baku dan distribusi dari para importir;
4)           untuk pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pada saat pengangkutan bahan peledak, tidak bisa menyalahkan satu instansi saja tetapi semua instansi dari hulu sampai ke hilir punya tanggung jawab masing-masing, misalnya Kementerian Perdagangan untuk izin pemasukan, Kementerian Pertahanan untuk izin penetapan bahan peledak, dan Polri untuk izin pengangkutan;
5)           share Kementerian Perdagangan terkait perizinan impor bahan peledak, termasuk dalam pengawasan bahan peledak sangat kecil, sedangkan untuk beberapa perizinan seperti mekanisme izin beberapa bidang usaha, izin mengangkut sampai persetujuan impor, selain diketahui oleh Kementerian Perdagangan, share kewenangan terbesar justru berada pada Kementerian Pertahanan dan Polri.

c.            Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP. (Kabidyanmas Baintelkam Polri):

terkait miskomunikasi dalam pengangkutan barang berbahaya, sebenarnya importir wajib melaporkan kepada Polda dan Mabes Polri apabila akan membawa barang berbahaya ke suatu tempat, yang nantinya akan dikeluarkan pemberitahuan kepada jajaran yang akan dilewati jalur pengangkutan tersebut sekaligus mendapatkan pengawalan dari kepolisian, kesemuanya itu sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial;

5.           Diskusi kelompok, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan konstruktif terhadap  materi/substansi Rancangan Undang-Undang tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, sebagai berikut:
a.            Kelompok I, diketuai oleh AKBP Teddy E, S.IK. (Wadirintelkam Polda Jawa Barat);
b.            Kelompok II, diketuai oleh AKBP Yanuar Prayoga, S.H., (Analis Ditintelkam Polda Jawa Barat); dan
c.            Kelompok III, diketuai oleh Kombes Pol Parimin Warsito, S.H. (Kabidkum Polda Jawa Barat);
6.           Penyampaian hasil diskusi masing-masing kelompok diskusi, sebagai berikut:

a.            Kelompok I:
1)           penggunaan kalimat ”non standar militer” pada judul RUU tidak tepat dan disarankan untuk menggunakan kalimat ”non standar TNI/Polri”;
2)           pengaturan semua jenis senjata api dan bahan peledak dalam RUU ini dirasa tidak tepat dan mengarah kepada kepentingan pertahanan dan keamanan negara sehingga disarankan RUU ini cukup dibatasi pada lingkup senjata api dan bahan peledak non standar TNI dan Polri;
3)           perlu diatur mengenai jenis senjata airsoft gun atau paint ball, yang dimasukkan ke dalam klasifikasi senjata api untuk kepentingan olah raga;
4)           pembatasan profesi yang boleh memiliki senjata api untuk kepentingan bela diri, sebaiknya dihapus dan setiap warga negara boleh memiliki senjata api untuk kepentingan bela diri namun dengan persyaratan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b.            Kelompok II:
1)           perlunya dimasukkan pengaturan mengenai senjata tajam karena dalam Undang-Undang Darurat Tahun 1950 dan Pasal 15 ayat (2) huruf e, menyebutkan satu kesatuan pengaturan mengenai senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
2)           pengaturan dalam RUU ini cukup mengenai senjata api dan bahan peledak non organik TNI/Polri, sedangkan untuk senjata api dan bahan peledak TNI/Polri bisa didelegasikan dalam bentuk peraturan pemerintah
3)           pencantuman jenis kaliber perlu pengkajian lebih lanjut karena ada beberapa jenis kaliber yang tercantum dalam RUU ini, merupakan kaliber yang digunakan pada senjata api standar TNI/Polri;
4)           perlu ditambahkan bab baru mengenai senjata tajam yang materinya dirumuskan dengan hati-hati mengingat senjata tajam erat kaitannya dengan seni dan kultur masyarakat.

c.            Kelompok III:
1)           perlu dimasukkan dalam ketentuan umum, definisi Menteri Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia, mengingat RUU ini tidak hanya mengatur kewenangan Polri;
2)           penggunaan kalimat ”non standar militer” diganti dengan ”non organik”;
3)           jenis  dan kaliber senjata api dan benda yang menyerupai senjata api, untuk kepentingan Polsus, Satpam, olah raga, dan bela diri, tidak perlu dijabarkan dalam RUU namun cukup diatur dalam Peraturan Kapolri;
4)           persyaratan warga negara Indonesia yang boleh memiliki senjata api untuk kepentingan bela diri ditambah dengan ”warga negara Indonesia yang dinyatakan telah memenuhi syarat yang diatur dalam Peraturan Kapolri”.

7.           Sambutan Penutupan FGD dari Kadivkum Polri, yang disampaikan oleh Karosunluhkum Divkum Polri, Brigjen Pol Dr. R.M. Panggabean, S.H., M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)           melalui FGD ini diharapkan Polri dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan dan perumusan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak sebagai bahan masukan untuk pembahasan lebih lanjut dengan substansi yang lebih konkrit serta dapat diimplementasikan pada bidang perizinan, pengawasan produksi, penggunaan, dan peredaran Senjata Api dan Bahan Peledak, guna terwujudnya penegakan hukum di Indonesia;
2)           hasil FGD akan dijadikan bahan kajian Polri untuk disampaikan kepada tim penyusun RUU Senjata Api dan Bahan Peledak, dalam bentuk saran dan tanggapan terhadap substansi/materi muatan secara keseluruhan disesuaikan dengan kebijakan atau policy di bidang perizinan dan pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak;
3)           beberapa poin penekanan dalam pelaksanaan FGD ini yaitu perumusan naskah akademik sebagai prosedur penyusunan RUU, pengaturan yang efektif dan efisien terhadap lembaga-lembaga yang terkait dengan pengaturan masalah Senjata Api dan Bahan Peledak, dan penyesuaian antara instrumen hukum yang akan dibuat dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
4)           ide, konsep, dan semangat dalam mewujudkan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak perlu didukung oleh Polri sebagai alat negara pemelihara keamanan dalam negeri, mengingat peraturan mengenai Senjata Api dan Bahan Peledak yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

F.            KESIMPULAN DAN SARAN
1.            Kesimpulan:
a.            Senjata Api dan Bahan Peledak merupakan elemen yang terus berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang disatu sisi berdampak sangat strategsi dalam mendukung sektor pertahanan dan keamanan serta industri, namun disisi lain perkembangan kedua elemen tersebut memicu munculnya berbagai ancaman dan berbagai bentuk kejahatan baru yang berdampak sangat luas bagi stabilitas nasional, yang ditandai dengan maraknya penyelundupan dan pemilikan senjata api ilegal, perampokan atau kekerasan lainnya dengan menggunakan senjata api, serta perakitan bom ilegal dan aksi peledakan di tempat umum yang semakin meresahkan masyarakat;
b.            Perundang-undangan yang mengatur mengenai Senjata Api dan Bahan Peledak, banyak yang merupakan peninggalan kolonial Belanda dan sebagian hanya mengatur masalah perizinan dan pemasukan, serta tidak sesuai dengan perkembangan teknologi dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat ini, sehingga penyalahgunaan terhadap pemanfaatan dan penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak semakin meningkat yang berimplikasi  terganggunya stabilitas keamanan dalam negeri.

2.            Saran:
a.            dilatarbelakangi oleh kurang memadai dan ketertinggalan instrumen hukum pengaturan senjata api dan bahan peledak yang ada saat ini, Polri selaku garda terdepan dalam menjaga dan memelihara keamanan dalam negeri, perlu mengambil insiatif dan langkah konstruktif melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang Senjata Api dan Bahan Peledak yang komprehensif dan bersifat penyempurnaan materi muatan yang sudah tidak relevan serta memuat materi baru yang saat ini belum ada dan belum terjangkau oleh perundang-undangan sebelumnya, misalnya pengaturan perkembangan teknologi persenjataapian, senjata tajam, bahan baku yang bukan peledak namun apabila dicampur bisa menjadi bahan peledak, airsoft gun, dan benda lain yang menyerupai senjata api;
b.            mengingat Rancangan Undang-Undang Senjata Api dan Bahan Peledak termasuk Prolegnas Prioritas Tahun 2012, Polri perlu melakukan penggalangan dukungan baik dari internal Polri maupun dengan stakeholder lain di pemerintahan atau swasta yang selama ini memiliki kewenangan dan kepentingan terhadap senjata api dan bahan peledak, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan perizinan serta meningkatkan pengawasan bersama di berbagai sektor yang rawan penyalahgunaan dan penyimpangan;

G.           PENUTUP

Demikian laporan pelaksanaan FGD yang mengambil tema ”KONSEPSI RUU SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK YANG IDEAL DALAM UPAYA MENATA PEREDARAN, PENGGUNAAN, PENYALAHGUNAAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI” disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.



Mengetahui:

KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD

Ttd.


Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
Jakarta,     Agustus 2011


KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
WAKIL KETUA PELAKSANA FGD

Ttd.


Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMBES POL NRP. 62030473

Tidak ada komentar:

Posting Komentar