Future

Future

Rabu, 28 Desember 2011

Laporan FGD-IV



LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME


 

.
A.           PENDAHULUAN
1.            Latar Belakang:
            Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan yang sangat menakutkan dan membahayakan keselamatan jiwa dan harta benda dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik bagi Indonesia sendiri maupun bagi negara-negara lain. Aksi-aksi teror telah banyak menimbulkan korban tanpa pandang bulu, sehingga terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan penanganan dengan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure). Jaringan terorisme telah berkembang ke beberapa negara, sehingga tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi pada satu negara saja tetapi masuk yurisdiksi lebih dari satu negara.
            Tindak pidana terorisme cenderung dilakukan secara terorganisir dengan jaringan yang luas dan bahkan dapat melibatkan lintas negara. Aksi teror yang dijalankan oleh para pelaku sudah direncanakan dengan rapi dan matang, termasuk dalam penentuan target, alat atau modus yang digunakan, sampai dengan metode penghilangan jejak yang menyulitkan untuk dilacak dan diidentifikasi baik pelaku atau jaringan pelakunya.
            Perencanaan dan persiapan yang rapi dan matang dalam menjalankan aksi teror, sudah pasti memerlukan berbagai bentuk dukungan salah satunya adalah sumber finansial atau pendanaan yang kuat guna mendukung aksi dan pengembangan jaringan. Pendanaan terorisme dapat dikatakan memegang peranan penting dalam siklus kehidupan organisasi pelaku terorisme, dikarenakan dengan dana tersebut mereka dapat melakukan kegiatan antara lain perekrutan, pelatihan, pembelian bahan-bahan dan persenjataan, sampai dengan pemantauan terhadap lokasi dan sasaran yang akan menjadi target aksi terorisme.

            Pendanaan terorisme dapat terjadi dengan berbagai cara, baik secara langsung atau tidak langsung, secara tidak sah maupun dengan sengaja, menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan agar dana tersebut digunakan seluruhnya atau sebagian untuk kegiatan terorisme.
            Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah melalui aparat penegak hukum dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme selain dilakukan terhadap pengejaran pelaku dan jaringannya juga perlu dilakukan tindakan penelusuran dan pemutusan aliran pendanaan terorisme yang disinyalir melibatkan lintas negara, yang didukung dengan instrumen hukum yang jelas, responsif, dan komprehensif.
            Instrumen hukum di Indonesia dalam memerangi aksi terorisme dirasakan masih terlalu minim terutama dari aspek pengaturan materi muatan, sehingga banyak terjadi “loopholes” dan belum menjamin kepastian hukum di masyarakat, selain itu upaya memasukkan tindak pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dalam undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dirasakan masih belum dapat dijalankan secara efektif dalam memberantas tindak pidana pendanaan terorisme.
            Upaya lain yang perlu dilaksanakan adalah dengan melakukan penelusuran pendanaan secara sinergi dengan penyedia jasa keuangan, aparat penegak hukum, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), dan kerja sama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme.
            Pemerintah bersama dengan DPR-RI saat ini tengah menyusun rancangan undang-undang tentang tindak pidana pendanaan terorisme, yang mengatur secara komprehensif mengenai asas, kriminalisasi tindak pindana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, mekanisme pemblokiran, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerjasama baik nasional maupun internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
            Sebagai wujud proaktif dan peran serta Polri dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme melalui penyusunan instrumen hukum, Divisi Hukum Polri selaku pembina dan penyelenggara fungsi pengkajian, bantuan dan nasehat hukum, pengembangan hukum, pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di lingkungan Polri, perlu menyelenggarakan Focus Group Discussion Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

2.            Maksud dan Tujuan:
a.            maksud dari penyelenggaraan FGD ini adalah untuk mengkaji dan merumuskan masukan-masukan dan pemikiran yang komprehensif dan konstruktif terkait materi muatan dalam RUU tersebut, agar dapat diimplementasikan dan membantu tugas Polri dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme; dan
b.            tujuan dari penyelenggaraan FGD ini adalah memberikan pengetahuan para peserta sekaligus merumuskan hal-hal krusial yang belum terakomodir dalam RUU tersebut dan menjadi kendala dalam menangani tindak pidana pendanaan terorisme saat ini.

B.           PELAKSANAAN
1.            Waktu dan Tema:
a.            hari/tanggal  : Selasa, 22 November 2011;
b.            pukul             : 08.30 s.d. 16.30 WIB;
c.            tempat           : Hotel Kaisar, Jalan PLN Duren Tiga Jakarta;
d.            tema              :”Menjadikan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Sebagai Aturan Hukum Yang Komprehensif Untuk Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Terorisme Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri”.

2.            Narasumber:
a.            Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diwakili oleh Deputi II BNPT Brigjen Pol Drs. M. Tito Karnavian, M.A, dengan pokok bahasan “Strategi dan Kesiapan BNPT Dalam Pemberantasan Terorisme Melalui Pencegahan dan Pemberantasan Pembiayaan Terorisme Dengan Mengejar Sumber Uangnya (Follow the Money)”;
b.            Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan, (PPATK) Muhammad Yusuf, S.H., M.H., dengan pokok bahasan “Strategi dan Peran PPATK Dalam Melakukan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Pengawasan Terhadap Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan, dan Kerja Sama Dengan Aparat Penegak Hukum”; dan
c.            Direktur Perancangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Drs. Zafrullah Salim, M.H., dengan pokok bahasan ”Implementasi International Convention For the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 atau Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme ke Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan                    di Indonesia”;

3.            Peserta:
b.            Kasubbagkum dan Kasatreskrim Polres jajaran Polda Metro Jaya (Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang);
c.            perwakilan Satker Bareskrim Polri, Baintelkam Polri, Divhubinter Polri, Div TI Polri, Divhumas Polri, Divkum Polri, dan Densus 88 AT Polri; dan
d.            perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, PPATK, BNPT, dan Program Pasca Sarjana Studi Terorisme dan Keamanan Nasional Universitas Indonesia.

4.           Agenda Kegiatan:
a.            Laporan Ketua Pelaksana FGD, yang disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol       Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H.;
b.            Sambutan Pembukaan FGD dari Kadivkum Polri, yang disampaikan oleh Karosunluhkum Divkum Polri Brigjen Pol     Dr. R.M. Panggabean, S.H., M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)           RUU ini sangat penting bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, oleh karenanya sengaja FGD ini diselenggarakan dengan menghadirkan peserta dari berbagai komponen, dengan harapan kita bisa memperoleh manfaat, pendapat, tanggapan, pandangan serta saran masukan atas RUU dimaksud, sebagai kontribusi positif dari Polri guna dijadikan bahan masukan bagi seluruh stakeholder;
2)           upaya pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan pemerintah baru sebatas pada upaya menangkap pelaku tindak pidana dari jaringannya namun belum difokuskan pada penanganan pendanaan tindak pidana terorisme, sehingga perlu dipahami bahwa pendanaan terorisme (financing of terrorism) merupakan faktor utama dalam setiap aksi terorisme dan masuk dalam daftar kejahatan internasional;
3)           upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan cara konvensional (follow the suspect) ternyata bukan satu-satunya cara untuk mencegah dan memberantas tidak pidana terorisme secara maksimal, namun upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan sistem dan mekanisme follow the money dengan melibatkan penyedia jasa keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama internasional untuk mendeteksi aliran dana yang diduga untuk kegiatan teroris;

4)           disadari teroris sangat memerlukan infrastruktur sistem keuangan untuk memobilisasi dan menyalurkan dananya, namun yang membuat pendanaan terorisme menjadi sangat berbahaya adalah strategi teroris dalam menggunakan organisasi amal atau nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuan menginfiltrasi sistem keuangan negara-negara miskin dan berkembang, selain itu, pendanaan terorisme dapat pula berasal dari sumber yang halal atau legal, yang  mempersulit penelusuran dan pembuktian aliran dana tersebut dibandingkan dengan money laundering yang sumber dananya hanya dari hasil tindak pidana;
5)           upaya memasukan tindak pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ternyata masih belum dapat diimplementasikan secara efektif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, bahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang telah mengkriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana ternyata masih memiliki “loopholes” sehingga pengaturannya belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat; dan
6)           mengingat pentingnya substansi RUU ini, diharapkan seluruh peserta dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi penyempurnaan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, sekaligus ucapan terima kasih kepada para nara sumber yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan materi dan pandangan pemikirannya.

c.            penyampaian topik bahasan ”Strategi dan Kesiapan BNPT Dalam Pemberantasan Terorisme Melalui Pencegahan dan Pemberantasan Pembiayaan Terorisme Dengan Mengejar Sumber Uangnya (Follow the Money)” oleh Brigjen Pol              Drs. M. Tito Karnavian, M.A. (Deputi II-BNPT), dengan inti sebagai berikut:
1)           dalam menghadapi dan menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia, beberapa hal yang menjadi isu penting antara lain bagaimana pengungkapan pendanaan terorisme, metode lain dari pelaku teror yang perlu diantisipasi, strategi penanganan pendanaan terorisme, dan tantangan ke depan yang harus dihadapi pemerintah dalam memberantas terorisme;
2)           berdasarkan hasil penelitian dan pengungkapan informasi dari jaringan pelaku terorisme yang berhasil ditangkap, pendanaan terorisme di Indonesia berasal dari sumber perorangan/zakat, sumber organisasi, fa’I (mengambil harta sebelum perang) dan ghanimah (setelah perang), dan sumber dari luar negeri;
3)           contoh kasus di Poso Sulawesi Tengah, yang melibatkan kelompok Mujahidin Tanah Runtuh, pendanaan didapat melalui sedekah yang mengatasnamakan jihad fisabilillah dengan pembagian hasil yaitu 2,5 % masuk kas organisasi/kelompok tersebut, dan beberapa kelompok sering memanfaatkan jasa bank untuk menyimpan dana terorisme yang bersumber dari donasi atau sedekah;
4)           contoh pendanaan terorisme yang bersumber dari fa’i dan ghanimah yaitu perampokan toko emas di Serang Banten yang hasilnya digunakan untuk membiayai aksi peledakan bom Bali Tahun 2002, dengan pola perampokan menghalalkan mengambil harta orang yang mereka anggap “kafir”;
5)           pendanaan terorisme yang berasal dari luar negeri, diindikasikan dengan adanya keterlibatan jaringan Al-Qaeda dalam kasus-kasus terorisme dan peledakan bom yang terjadi di kedutaan besar Filipina dan kasus peledakan bom Hotel J.W. Marriot Tahun 2003;
6)           metode pendanaan kegiatan terorisme yang perlu diantisipasi pemerintah yaitu mencari dana dengan modus kejahatan perampokan bank, pemalsuan kartu kredit, proyek investasi, penculikan dengan penebusan, penjualan narkotika;
7)           strategi yang diperlukan dalam penanggulangan pendanaan terorisme, antara lain memperkuat aturan hukum, mendukung operasi combatting terorism, dan menyusun standar operasional prosedur terkait koordinasi antar lembaga; dan
8)           tantangan ke depan dalam penanggulangan pendanaan terorisme yang harus dilakukan pemerintah, antara lain pengaturan kualifikasi organisasi yang diduga kelompok terorisme, pemberian kemudahan bagi aparat terkait pembuktian pendanaan terorisme, mekanisme kerja sama dan koordinasi antar lembaga terkait, serta memfasilitasi kerja sama lintas batas untuk melacak pendanaan terorisme dan mekanisme operasionalnya.

d.            penyampaian topik bahasan “Strategi dan Peran PPATK Dalam Melakukan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Pengawasan Terhadap Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan, dan Kerja Sama Dengan Aparat Penegak Hukum oleh Muhammad Yusuf, S.H., M.H. (Kepala PPATK), dengan inti sebagai berikut:
1)            pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme;
2)            dengan telah diratifikasinya konvensi internasional pemberantasan pendanaan terorisme, Indonesia wajib membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait pendanaan terorisme agar lebih memadai dan komprehensif;
3)            aspek yuridis pengaturan pendanaan terorisme secara garis besar telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 29 ayat (1), dan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Pasal 2 ayat (1);
4)            penelusuran aliran dana terorisme dimaksudkan untuk mengidentifikasi kegiatan pendanaan dan donatur yang menyumbang kegiatan terorisme sehingga dapat mengarahkan penyidikan pada tokoh-tokoh penting dalam kelompok terorisme serta mengetahui lokasi dan rencana aksi mereka;
5)            PPATK sebagai unit intelijen keuangan memiliki peran terkait assets recovery dalam memberikan informasi intelijen keuangan melalui penelusuran aset pada waktu proses analisis transaksi keuangan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan, yang mencakup penelusuran aset yang ada di dalam negeri dan luar negeri;
6)            penelusuran aset di dalam negeri dilakukan oleh PPATK melalui database laporan-laporan keuangan transaksi perbankan atau laporan pembawaan uang tunai melewati batas negara, serta melalui kerja sama dengan instansi pemerintah, perbankan, dan pihak lainnya dalam bentuk tukar-menukar informasi atau penyusunan nota kesepahaman; dan
7)            untuk penelusuran aset yang ada di luar negeri, PPATK melakukan kerja sama bilateral maupun regional melalui pertukaran informasi dengan organisasi dan perbankan internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan pencucian uang; dan
8)            sampai dengan bulan Oktober 2011, PPATK telah menerima 158 (seratus lima puluh delapan) laporan transaksi keuangan mencurigakan yang diduga terkait tindak pindak terorisme yang bersumber dari penyedia jasa keuangan, sebanyak 44 (empat puluh empat) laporan terindikasi tindak pidana terorisme dan diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses, yang saat ini telah menghasilkan putusan pengadilan terkait pendanaan terorisme atas nama tersangka Abu Dujana dan Zarkasih.

e.            penyampaian topik bahasan “Implementasi International Convention For the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 atau Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme ke Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan                    di Indonesia” oleh Drs. Zafrullah Salim, M.H. (Direktur Perancangan Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM), dengan inti sebagai berikut:
1)            pendanaan terorisme erat kaitannya dengan tuntutan dunia internasional melalui konvensi atau aturan hukum lainnya, tetapi kesulitannya adalah Indonesia tidak mengatur secara tegas konsekuensi dan hierarki (hukum) perjanjian internasional dalam sistem hukum dan konstitusi, sehingga Indonesia cenderung bersifat fleksibel dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional (persetujuan DPR);
2)            dalam konvensi internasional PBB tahun 1999 tentang tindak pidana pendanaan terorisme, mensyaratkan adanya kewajiban setiap negara untuk menghukum dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana pendanaan terorisme;
3)            pengaturan konvensi internasional dalam sistem hukum Indonesia, berpedoman pada politik luar negeri yang menganut prinsip bebas aktif yang di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu politik yang pada hakikatnya bebas menentukan sikap dan kebijakan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia;
4)            Pasal 19 konvensi internasional PBB Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, menyebutkan negara pihak (termasuk Indonesia) wajib memberitahukan keputusan akhir proses pengadilan terpidana tindak pendanaan terorisme kepada Sekjen PBB untuk disebarluaskan ke negara lain;
5)            Pasal 24  ayat (1) konvensi internasional PBB Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, terkait mahkamah internasional belum bisa dilakukan karena akan bersinggungan dengan sistem hukum pidana dan acara pidana, selain itu pengajuan sengketa                 ke mahkamah internasional hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang bersengketa dan bukan atas dasar kewajiban;
6)            penyusunan aturan hukum terkait terorisme dan pendanaan terorisme sebenarnya telah diajukan dan dimasukkan dalam Prolegnas 2010-2014 yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (finalisasi penyusunan) dan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (dalam tahap harmonisasi);
7)            substansi pokok dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 antara lain kriminalisasi perbuatan persiapan terorisme, perluasan subyek dan pertanggungjawaban pidananya termasuk korporasi, perpanjangan masa penangkapan dan penahanan, dan revitalisasi sistem dan mekanisme pembuktian kasus dan jaringan terorisme; dan
8)            substansi pokok RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme antara lain memperluas pengertian dana dan hasil kekayaan, kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme dan perbuatan lain yang terkait dengan pendanaan terorisme, penguatan peran PPATK, regulasi lalu lintas uang dan sumbangan, transaksi dan pemblokiran, serta kerja sama internasional berdasarkan prinsip resiprositas dalam bentuk ekstradisi dan/atau MLA.

f.             penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada para narasumber:
1)           Kombes Pol Drs. Istu Hari W, S.H., M.M. (Divpropam Polri):
a)           dalam pengungkapan dan penelusuran aliran pendanaan terorisme, kiranya perlu diberikan reward bagi para pelapor atau pemberi informasi dalam bentuk intensif ataupun jaminan perlindungan yang mekanisme pengaturannya dalam RUU ini dibedakan antara pelapor perorangan dengan pelapor korporasi, sehingga masyarakat mendapat rangsangan dan tidak takut untuk melapor apabila di lingkungannya diindikasi terdapat kegiatan terorisme;  dan

b)           dengan adanya RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, apakah akan menimbulkan duplikasi dan disharmonisasi pengaturan dengan aturan-aturan hukum yang sudah ada terkait masalah pendanaan ataupun terorisme.
2)           Kombes Pol Drs. Agung Makbul, S.H., M.H. (Divkum Polri):
a)           bagaimana suatu RUU bisa disebut komplikatif ataupun komprehensif, apakah hanya dilihat dari aspek materi muatan;
b)           penyedia jasa yang terkait dengan keuangan sangat banyak di Indonesia, apakah hal tersebut dapat dikendalikan oleh PPATK terutama dari segi pelaporan keuangannya karena sumber pendanaan disebutkan bisa berasal dari legal dan juga ilegal melalui peran suatu organisasi; dan
c)            bagaimana langkah-langkah dalam penanganan dan pengawasan eks napi terorisme yang selesai menjalani masa hukuman, karena dikhawatirkan mereka akan kembali pada organisasinya.
3)           Kombes Pol Drs. Eko Budi Sampurno (Sops Polri):
a)           perlu perluasan pengertian korporasi dan disesuaikan dengan pengertian korporasi dalam peraturan perundang-undangan lain, karena pendanaan terorisme melibatkan korporasi dalam bentuk badan hukum dan yayasan; dan
b)           perlu adanya pengaturan pengawasan terhadap sumbangan yang ada di jalan dan pengawasan keimigrasian yang membawa uang tunai dalam jumlah banyak, karena terorisme diduga memanfaatkan metode tersebut dalam mendapatkan dana.
4)           Reza Fikri Febriansyah (Kementerian Hukum dan HAM):
a)           pengawasan pendanaan terorisme perlu pengaturan yang serius, karena pendanaan terorisme disinyalir memanfaatkan uang kembalian hasil transaksi pada swalayan atau supermarket; dan
b)           perlu adanya penetapan domestic list terhadap individu dan korporasi berdasarkan data kementerian luar negeri, putusan pengadilan, dan publikasi pemerintah, untuk ditetapkan sebagai individu atau organisasi terlarang.

5)           Ali A. Wibisono (Universitas Indonesia):
a)           pengaturan pendanaan terorisme dalam RUU ini perlu dicermati kembali agar meminimalisir adanya salah tangkap karena ketidaktahuan masyarakat yang menyumbang untuk kegiatan yang sebenarnya adalah modus terorisme; dan
b)           perolehan dana kegiatan terorisme ada yang diperoleh dari kegiatan pencarian dana yang legal dan orang-orang yang bertugas mengumpulkan dana kemungkinan belum mengetahui jika hasil kegiatan tersebut untuk terorisme, apakah nantinya akan terjerat dan dinyatakan sebagai jaringan terorisme.

g.            penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan dari para peserta FGD:
1)           Brigjen Pol Drs. M. Tito Karnavian, M.A. (Deputi II-BNPT):
a)           pemberian reward dapat menimbulkan pro-kontra di masyarakat dan tidak bisa dilegalkan dengan undang-undang, serta dikhawatirkan akan memunculkan kelompok baru sebagai pencari keuntungan dengan menjadi pelapor, yang akan bentrok dengan kelompok terorisme yang merasa terusik dengan sepak terjang kelompok informan;
b)           terhadap eks napi terorisme diperlukan kerja sama dan koordinasi antara pihak intelijen dengan pihak lembaga permasyarakatan untuk pengawasan secara periodik, karena berdasarkan evaluasi terhadap 23 (dua puluh tiga) napi yang telah bebas, mereka kembali ke kelompoknya dan justru membuat jaringan yang lebih kuat, karena terorisme mempunyai 3 (tiga) cara memperkuat eksistensi mereka yaitu melalui strategi defensif, merekrut tentara grass root, dan menantang pemerintah secara terang-terangan; dan
c)            pengaturan terhadap bentuk-bentuk sumbangan sangat sulit dan harus diatur dengan hati-hati, karena sumbangan yang berupa zakat merupakan kewajiban dalam agama Islam, selain itu lembaga pengumpul zakat banyak yang berbadan hukum dan mencari dana secara legal sehingga aparat kesulitan menelusuri aliran dana dalam lembaga tersebut, terlebih dengan adanya prinsip asas praduga tak bersalah bagi setiap subyek hukum.


2)           Muhammad Yusuf, S.H., M.H. (Kepala PPATK):
a)           pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan dan lembaga pengumpul dana dari masyarakat membutuhkan koordinasi dari berbagai instansi atau kementerian, karena saat ini jumlah yayasan yang berhasil di data sebanyak 21.569 yayasan dengan berbagai latar belakang seperti agama, sosial, dan pendidikan;
b)           tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK alan mewajibkan setiap badan usaha untuk melaporkan regulatornya kepada PPATK, termasuk kepada penyedia jasa keuangan, emas, barang antik, dan dealer mobil mewah;
c)            pengaturan domestic list terhadap individu atau korporasi yang dinyatakan terlarang akan sulit diterapkan mengingat kondisi sosial masyarakat Indonesia dan dibutuhkan kualifikasi yang benar-benar tidak cacat hukum dalam menentukan status terlarang, agar tidak timbul kasus salah tangkap yang justru melanggar HAM serta kembali mengulang kesalahan seperti pada era 1960-1970 saat pembersihan sisa-sisa kelompok komunis di Indonesia; dan
d)           pengaturan terhadap supermarket dan petugas pengumpul sumbangan di jalan pun akan menemui kesulitan dalam implementasinya, karena adanya asas praduga tak bersalah dan ketidaktahuan mereka bahwa hasil sumbangan tersebut ternyata untuk terorisme, dan kalaupun berhasil dibuktikan maka akan menemui kendala pada saat di pengadilan dikarenakan belum adanya visi yang sama antara aparat dengan hakim dalam menjerat pelaku dan jaringan terorisme dengan hukuman seberat-beratnya.

3)           Drs. Zafrullah Salim, M.H. (Direktur Perancangan Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM):
a)           definisi korporasi tidak bisa disamakan dengan definisi pada peraturan perundang-undangan lain yang sudah ada, karena korporasi dalam pendanaan terorisme berbeda dengan tindak pidana lain terutama berdasarkan status badan hukumnya;
b)           duplikasi antar perundang-undangan dalam pengaturan materi muatan sudah pasti ada karena perundang-undangan baru disusun dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini agar lebih komprehensif, karena jika dipaksakan mengikuti materi yang lama sudah tidak relevan dan tidak implementatif; dan
c)            RUU yang komplikatif yaitu materi muatannya sebagian sudah diatur dalam aturan hukum lain dan menimbulkan disharmonisasi terutama ditinjau dari aspek istilah, susbtansi, dan prosedur (hukum acara di luar KUHAP), sedangkan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme nantinya mengarah pada tindak pidana tersendiri dan terpisah dari tindak pidana terorisme sehingga bersifat lex specialist dengan cakupan yang diperluas terutama dari segi kewenangan dengan tetap menjunjung tinggi HAM.

h.            diskusi antar peserta FGD, yang terbagi dalam 2 (dua) kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap materi/substansi RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, terdiri dari:
1)           Kelompok I, dengan critical point sebagai berikut:
a)             pengaturan yang perlu ditambahkan dalam RUU ini yaitu mengenai pengontrolan pendanaan yang bersumber dari kegiatan halal, pengawasan pendanaan dari sumber tunai khususnya mata uang asing;
b)             Pasal 2, perlu perubahan redaksi kalimat yang menyatakan bahwa undang-undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan pendanaan untuk kegiatan terorisme di wilayah dan/atau di luar negara RI;
c)             Pasal 3, perlu penambahan subyek yang akan dikenakan dengan berlakunya undang-undang ini;
d)             Bab VI, disarankan adanya penambahan kewenangan penyidik Polri dalam pengawasan dan pemeriksaan terhadap pembawaan uang tunai terkait pendanaan terorisme;
e)             Pasal 25 ayat (2), perlu adanya perubahan redaksi yang mengatur penundaan transaksi tanpa batas waktu sampai dengan ada pembuktian, guna memudahkan penanganan transaksi keuangan oleh PPATK;

f)              Pasal 27 ayat (1) perlu diatur pelaksanaan pemblokiran yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan selain atas dasar perintah PPATK juga atas permintaan penyidik Polri;
g)             Pasal 33 ayat (6), penyerahan BAP pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim, sebaiknya dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja guna mengantisipasi pemblokiran yang dilaksanakan pada hari libur; dan
h)            perlu adanya penambahan bab mengenai perlindungan kepada saksi, pelapor, dan pejabat yang menangani kasus pendanaan terorisme.
2)           Kelompok II, dengan critical point sebagai berikut:
a)            perlunya penyederhanaan judul RUU yaitu ”pendanaan terorisme”, dikarenakan kegiatan tersebut sudah termasuk tindak pidana;
b)            pada pasal yang mencantumkan lama hukuman, disarankan ditambahkan hukuman pidana paling sedikit 5 (lima) tahun guna memberikan efek jera bagi pelaku atau jaringan yang terlibat;
c)             Pasal 13 perlu diperjelas aturan hukum yang dimaksud, KUHAP atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme;
d)            Pasal 32, perlu penambahan satu ayat yang mengatur pembukaan rekening atas izin Kapolri atau Kapolda; dan
e)            pasal yang mengatur masalah penyitaan, sebaiknya cukup dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan oleh pengadilan dan tidak perlu menyertakan penuntut umum.


i.             Sambutan Penutupan FGD dari Kadivkum Polri, yang disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)           melalui kegiatan FGD ini, diharapkan Polri dapat berkontribusi dalam memberikan masukan yang konstruktif untuk penyempurnaan substansi RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, sebagai bagian keikutsertaan Polri dalam pembinaan hukum nasional, dengan tujuan terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh konsitusi dan undang-undang;
2)           hal-hal positif yang dihasilkan dari FGD ini akan diteruskan kepada para stakeholder, sehingga diharapkan RUU ini nantinya akan lebih baik dari sisi substansi, dan utamanya mampu mengidentifikasi dan mengkriminalisasikan bidang-bidang pembiayaan di indonesia yang output dananya dipergunakan untuk kepentingan operasi terorisme;
3)           terkait permasalahan pendanaan terorisme, wilayah asia telah menjadi target sasaran operasi para teroris utamanya untuk pengembangan sisi finansial mereka sebagai unsur esensial terlaksananya kegiatan teror, oleh karenanya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme yang selama ini dilakukan tidak akan efektif dan optimal bila tidak dibarengi dengan pengkriminalisasian sisi pendanaan tindak pidana terorisme, apalagi bila mengingat kegiatan terorisme pada era modern ini sering dibiayai oleh sumber pendanaan yang halal; dan
4)           berkenaan dengan hal tersebut, poin utama dalam RUU ini adalah bagaimana menciptakan sinergitas antara kaidah atau norma mengenai kriminalisasi pendanaan terorisme dengan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini sehingga mampu mengidentifisir dan meminimalisir sumber-sumber pendanaan tindak pidana terorisme untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme itu sendiri.

C.           PENUTUP
1.            Kesimpulan:
a.            RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme disusun guna menindaklanjuti dan mengungkap jaringan-jaringan pelaku terorisme dengan mengikuti aliran dana keuangan yang dicurigai untuk membiayai aksi-aksi terorisme;
b.            RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme diarahkan sebagai lex specialist dan terpisah dengan tindak pidana terorisme, yang secara garis besar materi muatannya mengatur mengenai asas, kriminalisasi tindak pindana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, mekanisme pemblokiran, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerjasama baik nasional maupun internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme;
c.            pendanaan untuk kegiatan terorisme disinyalir memanfaatkan jasa lembaga pengumpul dana atau berasal dari sumbangan-sumbangan yang mengatasnamakan yayasan agama, sosial, ataupun pendidikan, sehingga perlunya pengaturan terkait individu ataupun korporasi yang diduga terlibat dalam aliran dana untuk kegiatan terorisme; dan
d.            instrumen hukum yang mengatur pendanaan terorisme dirasakan masih minim dan sebatas pada undang-undang tentang tindak pidana terorisme serta undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sehingga terdapat kesulitan bagi aparat penegak hukum dalam melacak, menangkap, mengungkap, serta menjerat organisasi dan pelaku pendanaan terorisme dikarenakan belum adanya aturan hukum yang mengatur secara rinci dan khusus di bidang pendanaan terorisme, yang melibatkan berbagai pihak yang terkait.

2.            Saran:
a.            pengaturan terhadap pendanaan terorisme yang berkaitan dengan sumbangan dari masyarakat perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, karena disatu sisi sumbangan tersebut diduga dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme namun disisi lain pemerintah tidak bisa melarang masyarakat untuk memberikan sumbangan yang ada di jalan atau melalui lembaga penyalur dikarenakan sumbangan yang berupa sedekah atau zakat merupakan salah satu kewajiban dalam agama Islam;
b.            perlu adanya pengharmonisasian materi dan substansi dalam RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, agar tidak tumpang tindih dengan tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana terorisme, dengan batasan kewenangan yang jelas pada masing-masing instansi yang terlibat dalam penanganan pendanaan (Polri, PPATK, BNPT, penyedia jasa keuangan dan perbankan);
c.            pengaturan masalah pemidanaan terhadap individu ataupun korporasi dalam pendanaan terorisme perlu memperhatikan asas praduga tak bersalah dan menjunjung hak asasi manusia, sebagai contoh masyarakat yang menyumbang untuk lembaga pengumpul sumbangan melalui rekening bank dan ternyata sumbangan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme tanpa sepengetahuan penyumbang); dan
d.            perlu koordinasi dan kerja sama dari para pihak termasuk instansi/kementerian terkait dalam menanggulangi pendanaan terorisme melalui pengawasan terhadap perorangan, yayasan, atau badan hukum yang mencari dana atau donasi dengan latar belakang alasan keagamaan, sosial, dan pendidikan.

3.            Demikian laporan pelaksanaan FGD RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang mengambil tema ”Menjadikan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Sebagai Aturan Hukum Yang Komprehensif Untuk Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Terorisme Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri”, disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.



Mengetahui:

KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI

Ttd.

Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
Jakarta,     November 2011

KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD

Ttd.

Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 62030473