Future

Future

Selasa, 13 Desember 2011

Laporan FGD-II


LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Uray Mohammad Fachriansyah (Staf Divisi Hukum)

.
A.           PENDAHULUAN
1.            Latar Belakang:
            Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda-beda merupakan satu kesatuan komponen bangsa yang dapat memberikan peran penting dan kontribusi positif dalam pelaksanaan pembangunan.
            Namun disisi lain seiring dengan bergulirnya era reformasi demokrasi, keragaman suku, bangsa, agama, dan ras di Indonesia justru menjadi semakin rentan oleh gesekan yang diakibatkan berbagai faktor, mulai dari ketidakmerataan pembangunan dan pendapatan daerah, kesenjangan sosial ekonomi dan lapangan pekerjaan.
             Disamping itu, pergeseran masa transisi Indonesia menuju arah yang perpolitikan nasional yang demokratis dan terbuka tanpa batas, juga membawa dampak masuknya pengaruh dari pihak luar yang dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia dalam menyikapi keterbukaan dan demokratisasi sehingga dikhawatirkan menggerus nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang selama ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
            Kondisi yang demikian pada akhirnya memunculkan benih-benih konflik sosial di masyarakat baik skala besar maupun skala kecil dengan efek kerugian dan korban jiwa yang tidak sedikit, serta membawa dampak psikologis dan ketakutan masyarakat yang apabila dibiarkan dapat memicu keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam memberikan perlindungan serta berimplikasi terhadap stabilitas keamanan dalam negeri.
            Penanganan konflik sosial tidak bisa dilihat dari cara bertindak pada saat terjadi, tetapi harus dilakukan manajemen konflik yang mencakup pencegahan, penghentian, dan pemulihan konflik sosial, dengan melibatkan peran serta berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat, termasuk Polri selaku alat negara pemelihara keamanan dalam negeri, penegak hukum, dan pelindung, pengayom, serta pelayan masyarakat. Namun disisi lain penanganan konflik sosial yang dilaksanakan selama ini belum sepenuhnya menyentuh akar permasalahan yang salah satu penyebabnya yaitu belum adanya instrumen hukum yang ideal.
            Menindaklanjuti kekosongan instrumen hukum tersebut, pemerintah bersama dengan DPR-RI berinisiatif dan tengah menyusun rancangan undang-undang tentang penanganan konflik sosial, dengan materi muatan mencakup pencegahan, penghentian, pemulihan konflik, dan pembentukan lembaga Komisi Penyelesaian Konflik Sosial (KPKS), serta peran serta masyarakat.
            Polri sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan, selain melaksanakan tugas pokok memlihara keamanan dalam negeri, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, juga dituntut peran serta dan proaktif dalam mencegah, menyelesaikan, dan membantu pemulihan pasca konflik sosial, karena hal tersebut dapat berimbas pada stabilitas keamanan dalam negeri.
            Mendasari hal tersebut di atas, Divisi Hukum Polri selaku pembina dan penyelenggara fungsi pengkajian, bantuan dan nasehat hukum, pengembangan hukum, pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)  di lingkungan Polri, perlu menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.

2.            Maksud dan Tujuan:
a.            maksud kegiatan FGD ini, untuk mengkaji dan merumuskan masukan-masukan dan pemikiran yang komprehensif dan konstruktif terkait materi muatan dalam RUU tersebut, agar dapat diimplementasikan tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi Polri dalam menangani konflik sosial di masyarakat; dan
b.            tujuan FGD ini guna memberikan pengetahuan para peserta terutama yang berasal dari Polda-Polda yang rawan konflik sosial, sekaligus membantu merumuskan permasalahan-permasalahan konflik sosial yang terjadi selama ini terjadi di daerah, namun belum terjangkau dan terakomodir dalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial.

B.           PELAKSANAAN

1.            Waktu dan Tema:
a.            Hari/Tanggal        : Rabu, 12 Oktober 2011;
b.            Pukul            : 08.30 s.d. 17.45 WIB;
c.            Tempat          : Hotel Maharadja, Jalan Kapten Tendean Nomor 1
                         Jakarta Selatan.
d.            Tema             :”PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DALAM MENUNJANG STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI”.

2.            Narasumber dan Moderator:
a.            Kabaharkam Polri, Komisaris Jenderal Polisi Drs. Imam Sudjarwo, M.Si., dengan pokok bahasan “Peran Polri Dalam Penanganan Konflik Sosial di Indonesia”;
b.            Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola, dengan pokok bahasan “Konflik Sosial Ditinjau Dari Sosiologi dan Perspektif Budaya Indonesia dan Solusi Pencegahannya”;
c.            Dr. Ihsan Ali Fauzi, M.A., dengan pokok bahasan “RUU Penanganan Konflik Sosial Dihadapkan Dengan Potensi Konflik Antar Masyarakat, Suku, Etnis, Agama, dan Permasalahan Sosial Lainnya”; dan
d.            Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H. (Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri), selaku moderator.
3.            Peserta:
b.            para Pamen perwakilan Satker Bareskrim Polri, Baharkam Polri, Baintelkam Polri, Korbrimob Polri, Divkum Polri, Divpropam Polri, dan Divhumas Polri;
c.            para Kasatintelkam dan Kasubbagkum Polres jajaran Polda Metro Jaya; dan
d.            perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Badan Intelijen Negara, Dinas Sosial Pemda DKI Jakarta, Satpol PP DKI Jakarta, KOMNASHAM, KONTRAS, dan Asean Foundation.
4.            Agenda Kegiatan:
a.            Laporan Ketua Pelaksana FGD, yang disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Komisaris Besar Polisi Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H.

b.            Sambutan Pembukaan FGD yang disampaikan oleh Kadivkum Polri Inspektur Jenderal Polisi Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M., dengan inti sebagai berikut:
1)           FGD yang mengangkat tema penanganan konflik sosial merupakan wujud konkrit dan sikap proaktif Polri untuk memberikan tanggapan dan masukan dalam menyatukan persepsi para pemangku kepentingan khususnya aparat penegak hukum terkait materi/substansi RUU tentang Penanganan Konflik Sosial;
2)           penyusunan RUU ini dilatarbelakangi belum adanya kebijakan penanganan konflik sosial yang komprehensif dan efektif dalam upaya mencegah, menangani, dan strategi pasca konflik, sedangkan substansi-substansi yang selama ini diterapkan masih tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral beberapa instansi;
3)           penyusunan RUU ini juga dilatarbelakangi demografi penduduk Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 230 juta jiwa, yang disatu sisi dapat memberikan kontribusi positif dan daya saing di bidang pembangunan, namun disisi lain dengan latar belakang suku, agama, dan ras yang beragam dapat menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan yang berdampak pada kemiskinan, lapangan pekerjaan, dan faktor sosial ekonomi lainya sehingga berpotensi pada situasi politik dan keamanan yang kurang kondusif;
4)           sistem penanganan konflik yang telah terbangun hanya mengarah pada penanganan yang bersifat represif dan apabila telah terjadi konflik, namun belum mengatur tahapan-tahapan penanganan mulai dari perencanaan sampai dengan pencarian akar permasalahan, dan penanganan yang ada saat ini masih mengedepankan ego sektoral yang diamanah oleh beberapa peraturan perundang-undangan sehingga belum terintegrasi secara menyeluruh;
5)           dalam RUU ini akan dibentuk lembaga penanganan konflik yaitu Komisi Penyelesaian Konflik Sosial (KPKS) yang memiliki putusan bersifat final dalam menangani konflik yang timbul, namun harus diatur hal-hal yang bersifat teknis mengenai peran dan fungsi KPKS agar bisa diimplementasikan tanpa tumpang tindih kewenangan dengan instansi atau lembaga lain; dan
6)           dengan penyelenggaraan FGD ini, diharapkan para peserta baik dari Polri maupun perwakilan kementerian/lembaga yang terkait dengan penanganan konflik sosial, dapat memberikan kontribusi positif dan mencermati penyampaian pemikiran dari para narasumber, sehingga dapat memberikan rumusan yang konstruktif bagi RUU ini dan dapat memberikan solusi dalam mencegah, menangani, dan penciptaan kondisi pasca konflik.

c.            penyampaian topik bahasan ” RUU tentang Penanganan Konflik Sosial Dihadapkan Dengan Potensi Konflik Antar Masyarakat, Suku, Etnis, Agama, dan Permasalahan Sosial Lainnya” oleh Dr. Ihsan Ali Fauzi, M.A., dengan inti sebagai berikut:
1)           komponen konflik bisa dikelompokkan menjadi 3 (tiga) faktor yang disebut sebagai segitiga konflik, yaitu situasi yang melatarbelakangi dan bagaimana terbentuknya, sikap dan persepsi pihak-pihak yang berkonflik terhadap lawannnya, dan perilaku, strategi, taktik, dan alat yang digunakan dalam konflik, dengan ketiga komponen tersebut kita bisa mengetahui jenis konflik yang terjadi dan diambil langkah-langkah yang tepat;
2)           konflik merupakan salah satu ciri kehidupan sebagai akibat adanya kepentingan, tujuan, dan nilai yang berbeda, namun tidak semua konflik negatif dan berbahaya, malahan konflik seringkali bersifat konstruktif dan kreatif serta dapat mendorong perubahan, mengangkat persoalan di masyarakat dan penanganannya, mengarahkan energi dan permasalahan kepada masalah yang penting ditangani;
3)           faktor yang menentukan apakah konflik negatif atau positif, konstruktif atau destruktif, adalah melalui manajemen konflik yang bertujuan untuk mencegah bagaimana supaya kekerasan tidak terjadi dan pihak-pihak yang berkonflik dapat menangani dan menyelesaikan konflik mereka tanpa menggunakan cara-cara kekerasan;
4)           ketika menangani konflik sosial dan politik, yang perlu kita tangani bukan hanya tindakan kekerasan, akan tetapi latar belakang struktural konflik juga perlu diperhatikan dan ditangani beserta sikap dan perasaan yang menyertainya dan aparat keamanan selaku garda terdepan harus mampu bekerja sama dengan unsur lain (pemerintah dan masyarakat) untuk menangani aspek-aspek struktural dan kultural konflik;
5)           pola-pola besar insiden konflik kekerasan di Indonesia terjadi pada masa era transisi demokrasi yang ditandai dengan pemerintahan yang lemah dengan partisipasi politik warga negara yang makin tinggi, serta adanya tekanan ekonomi yang berakibat tuntutan untuk menyeseuaikan diri dengan deregulasi, hal ini didukung pula dengan tingkat pluralisme yang tinggi di masyarakat;
6)           Bank Dunia melalui tim peneliti Violent Conflict               in Indonesia Study (VICS) melalui pendekatan metodologis dan mempelajari dinamika konflik di provinsi “panas” (Nangroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat) memiliki beberapa kesimpulan terhadap provinsi tersebut diantaranya, kekerasan separatis cenderung menurun, kekerasan dengan model pengadilan rakyat meningkat tajam, respon aparat keamanan masih rendah, dan variasi atau intensitas konflik sangat besar dan terfokus pada daerah-daerah tertentu dengan pemicu yang berbeda;
7)           hubungan timbal balik antara tokoh agama atau masyarakat dengan aparat penegak hukum masih lemah tanpa didukung manajemen yang terstruktur sehingga pada saat terjadi konflik, masyarakat cenderung mengecam aparat padahal disisi lain aparat merasa tidak mendapat dukungan dari masyarakat sehingga mereka menjadi tidak percaya diri dan takut melanggar HAM; dan
8)           RUU ini pada dasarnya mencerminkan niat baik pemerintah untuk mencegah konflik namun materi muatannya masih bersifat normatif dan kurang aplikabel, dan dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan pemerintah selalu berusaha membentuk badan ad-hoc baru yang sebenarnya tidak perlu dan cukup mengedepankan instrumen pemerintah yang sudah ada dengan pengaturan dan koordinasi yang lebih sistematis dan terencana.

d.            penyampaian topik bahasan “Peran Polri Dalam Penanganan Konflik Sosial di Indonesia oleh Kabaharkam Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs. Imam Sudjarwo, M.Si., yang diwakili oleh Wakabaharkam Polri Inspektur Jenderal Polisi Drs. Bambang Suparno, S.H., M.Hum., dengan inti sebagai berikut:
1)            keamanan negara merupakan syarat mutlak untuk menjamin kelangsungan pembangunan menuju masyarakat adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)            keamanan sesungguhnya tidak sebatas hanya menjadikan negara sebagai objek yang harus dijaga, tetapi termasuk memberikan perlindungan dan rasa aman kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mendambakan suatu suasana sosial yang harmoni antara tata hidup dengan kekuatan lingkungannya, baik alam maupun sosial;
3)            sumber konflik yang terjadi di Indonesia diantaranya aspek geografis (terdiri dari beberapa kepulauan), aspek demografi (jumlah penduduk, kualitas, dan penyebarannya), aspek sumber daya alam (melimpah namun pengelolaan yang buruk), aspek ideologi (terjadi degradasi pemahaman dan penghayatan dasar negara), aspek politik (implementasi demokrasi yang tidak mengakomodir kepentingan umum), aspek hukum (kurangnya profesionalisme dan komitmen terhadap instrumen hukum), aspek ekonomi (pertumbuhan ekonomi yang berbeda antar wilayah/pulau), aspek sosial budaya (pengaruh sikap primodialisme yang kuat), aspek keamanan (spektrum pengamanan yang sangat luas dan kurangnya pemahaman bahwa keamanan merupakan tanggung jawab setiap komponen bangsa), dan aspek globalisasi (pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi);
4)            keamanan dalam terminologi kepolisian meliputi pengertian komprehensif yaitu security, safety, surety, and peace, akan tetapi penanganan konflik sosial terkait tugas, peran, dan fungsi Polri tidak terlepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai pemelihara keamanan dalam negeri;
5)            penanganan konflik sosial tidak bisa ditangani secara parsial dan terpisah mulai dari pencegahan, penghentian, dan pemulihan, namun harus komprehensif dan integral dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan mengedepankan cara-cara persuasif dan tidak mengutamakan birokratik;
6)            dalam menangani konflik sosial, Polri berupaya menerapkan strategi pre-emtif, preventif, dan represif, dengan tetap mengedepankan koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait lainnya termasuk TNI, sesuai batas kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta melibatkan peran serta masyarakat;
7)            penanganan konflik sosial sesungguhnya bukan hanya terfokus pada penyusunan suatu instrumen hukum, akan tetapi diperlukan komitmen dan implementasi dari segenap instansi terkait dan masyarakat untuk mengatasi dan mencegah berkembangnya akar konflik, karena instrumen hukum yang ada saat ini sebenarnya sudah cukup memadai; dan
8)            dalam penyusunan RUU ini, perlu dibangun upaya peningkatan peran dari segenap instansi sesuai kewenangannya serta pentingnya sinergitas terkait kebijakan, program, dan kegiatan dalam penanggulangan konflik termasuk deteksi dan berbagi informasi untuk pencegahan, penguatan civil society, dan penegakan hukum secara tegas kepada aktor intelektual penyebab konflik dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.

e.            penyampaian topik bahasan “Konflik Sosial Ditinjau Dari Sosiologi dan Perspektif Budaya Indonesia dan Solusi Pencegahannya” oleh Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola, dengan inti sebagai berikut:
1)            konflik merupakan benturan sikap, pendapat, tingkah laku, atau jalan pikiran antara dua orang atau kelompok dalam memperoleh atau memandang suatu hal, yang sering terjadi pada suatu negara dengan kondisi masyarakat yang majemuk;
2)            penyelesaian konflik yang baik adalah dengan mengelola dan membuat suatu manajemen konflik, sama halnya dengan mesin kendaraan, gesekan-gesekan yang terjadi diantara unsur-unsur kima menghasilkan daya ledak sehingga daya ledak tersebut disatu sisi dapat mendorong ke depan atau bahkan rusak karena ledakan yang terlalu berlebihan;
3)            konflik bisa memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memperbaiki keadaan dan maju ke depan, namun apabila konflik sulit diredam dapat membuat kondisi masyarakat menjadi terhenti, oleh karena itu dalam mengelola konflik hal yang perlu diperhatikan adalah jangan menyembunyikan benih konflik;
4)            Indonesia dengan jumlah suku kurang lebih 653 (enam ratus lima puluh tiga) dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda merupakan sumber konflik yang paling banyak terjadi, terutama di wilayah timur yang didiami oleh 2/3 jumlah suku yang ada di Indonesia yang bisa disebut sebagai ring of fire, dan apabila terjadi konflik dapat berakibat langsung pada disintegrasi bangsa;
5)            untuk mengelola kemajemukan tersebut agar tidak menjadi konflik, dilakukan melalui konsep relasi sosial dan interaksi sosial, dengan memperhatikan potensi sumber daya yang ada, karena seringkali konflik sosial antar suku terjadi akibat perebutan potensi sumber daya terutama di bidang ekonomi;
6)            selain itu persaingan untuk menjadi yang lebih unggul dari kelompok atau suku lain, merupakan salah satu kerentanan yang dapat menimbulkan konflik, terutama   di Papua, dengan jumlah suku mencapai kurang lebih 250-300 suku yang berbeda;
7)            penyelesaian konflik juga tidak serta merta dilihat dari cara penindakan dan pencegahan, tetapi dikaji terlebih dahulu jenis konflik sosial yang terjadi ditinjau dari aspek pihak yang berkonflik, lokasi konflik, bentuk konflik, dan kerugian konflik; dan
8)            penyelesaian konflik juga harus dikelola dengan cerdas dan cermat, dengan tahapan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, serta yang paling utama adalah mencari pemicu konflik sosial karena dari pemicu tersebut kita bisa mempelajari motif yang digunakan untuk kemudian dicari strategi dan antisipasi terulangnya konflik tersebut.

f.             penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada para narasumber:
1)           Komisaris Besar Polisi S. Harunantyo (Analis Utama Baintelkam Polri):
a)             konflik yang terjadi di Ambon, berdasarkan pernyataan pemerintah bukan merupakan konflik agama, padahal dari kajian Polri terhadap tokoh agama setempat, bahwa konflik di Ambon erat kaitannya dengan agama, mengapa pemerintah bisa menyimpulkan berbeda;
b)             Ambon merupakan daerah kepulauan, namun dibutuhkan kebijakan yang baik karena untuk mobilitas antar pulau justru terhambat mahalnya biaya transportasi, atau disarankan untuk dibangun armada angkatan laut agar bisa berkoordinasi dengan Polri;
c)             sisa-sisa konflik di Ambon terkesan dibiarkan oleh masyarakatnya bahkan seperti dijadikan monumen yang dikhawatirkan menjadi memori balas dendam, bagaimana langkah-langkah yang komprehensif; dan
d)             untuk konflik yang terkait politik seperti Pilkada, hal ini disebabkan semakin banyaknya kerajaan kecil atau monarki keluarga untuk jabatan tertentu, bagaimana solusinya dan penjelasan dari para narasumber.

2)           AKBP Dr. H. Burhaman, S.H., M.H. (Kabagbinopsnal Ditbinmas Polda Sulawesi Selatan):
a)            konflik sosial juga bisa disebabkan substansi hukum yang dibuat, karena substansi hukum yang baik apabila tidak memihak kepentingan tertentu, adanya komitmen aparat, dan mendapat respon masyarakat;
b)            bagaimana mekanisme pemulihan hak-hak korban konflik yang dirasa belum mencerminkan keadilan, karena dari hal ini justru bisa memicu timbulnya akar masalah baru; dan
c)             terkait sumber politik, aksi unjuk rasa yang menginginkan bertemu dengan pejabat pemerintah juga bisa memicu konflik, karena seringkali yang dihadirkan justru perwakilan yang tidak mengetahui keinginan pengunjuk rasa.

3)           Komisaris Besar Polisi Agus Nugroho, S.H., M.Hum. (Dirbinmas Polda NAD):
a)            bagaimana konsepsi RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang baik menurut para narasumber karena RUU ini sifatnya hanya mengatasi dan belum terlihat upaya pencegahan;
b)            bagaimana langkah-langkah yang tepat agar Polri tidak selalu mendapat stigma lamban dalam menangani konflik sosial; dan
c)            bagaimana konsep untuk Polri ke depan dalam menangani konflik sosial di Aceh, karena konflik   di Aceh bersumber dari politik dan sebagian dari unsur politik berasal dari mantan GAM yang dikhawatirkan dapat memicu konflik yang lebih besar.

4)           Heni Susilawardhoyo (Kementerian Hukum dan HAM):
a)            bagaimana tanggapan dari para narasumber terkait materi muatan RUU ini, karena konflik sosial berbeda dengan penanganan bencana yang materi muatannya diatur cukup jelas sedangkan RUU ini hanya pada mengatasi konflik, dan sumber-sumber konflik pun disebutkan ”dapat” sehingga terkesan ada sumber-sumber lain yang tidak bisa disebutkan; dan
b)            apakah pertambahan jumlah penduduk bisa menjadi pemicu konflik, karena di negara-negara berkembang jumlah penduduk seringkali menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks.

5)           AKBP Rais D. Adam, S.H. (Kabidkum Polda Sulawesi Tengah):
a)           bagaimana penanganan konflik sosial yang terjadi di laut, apakah penanganannya sama dengan yang terjadi di darat;
b)           konflik di Poso, lebih banyak terkait masalah keperdataan, sehingga perlu dipertegas instansi mana yang berwenang mengurusi masalah keperdataan apabila terjadi konflik agar Polri tidak selalu menjadi tameng penyelesaian; dan
c)            bagaimana konsep penanganan konflik di Poso, karena sumber konflik pada saat dilakukan pengkajian, justru bersumber dari para pendatang yang lebih mapan dalam pekerjaan dan jabatan.

6)            AKBP Drs. J.H. Sitorus (Kasubbidbankum Bidkum Polda Papua):
a)           Papua menerapkan undang-undang otonomi khusus dan penyelesaian melalui hukum adat, jika RUU ini disahkan dan bersifat nasional, apakah menghilangkan kewenangan otonomi khusus tersebut; dan
b)           masalah pengesampingan kearifan lokal tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian konflik Papua, karena di Papua masih menganut hukum adat yang sifatnya kekeluargaan, bagaimana solusi kedepannya.

7)           AKBP Suratman Basimin, S.H., M.H. (Kabidkum Polda Maluku Utara):
a)           ada beberapa provinsi yang berpedoman pada otonomi daerah dan perangkat perundang-undangannya, apabila RUU ini berlaku apakah ketentuan daerah masih digunakan; dan
b)           potensi konflik di daerah sebagian besar justru berasal dari sumber politik, seperti penempatan pejabat yang dilatarbelakangi hubungan emosional dengan mengesampingkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menduduki jabatan tersebut.

8)           AKBP Hj. Etty Nurbaiti, S.H. (Baharkam Polri):
konflik sosial yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat sering terjadi dengan jumlah korban dan kerugian yang tidak sedikit, bagaimana strategi dan langkah yang diambil Polri dalam menangani konflik, apakah sudah sesuai dengan prosedur.

g.            penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan dari para peserta FGD:

1)           Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola:
a)            ditinjau dari aspek peruntukkan dan keberlangsungan, RUU ini belum perlu untuk dibuat dan seharusnya pemerintah lebih mengoptimalkan perangkat regulasi yang sudah ada dengan lebih menekankan fungsi koordinasi masing-masing instansi dan aparat penegak hukum;
b)            dalam penyelesaian konflik, yang diperlukan adalah pedoman atau bentuk penyelesaian yang bersifat preventif dengan melihat keadaan yang terjadi secara langsung di masyarakat, dan menghindari model-model legal birocratic;
c)            kecenderungan konflik justru berada pada kawasan kota menengah yang tengah berkembang dan gencar-gencarnya menyuarakan pembangunan dan otonomi daerah, sehingga perlu dibuat pemetaan dan pengklasifikasian beberapa indikator pemicu konflik disertai tingkatan batas situasi aman, waspada, dan bahaya, sehingga apabila suatu kota pada saat dilakukan survei atau evaluasi, terindikasi sudah memenuhi dan melebih 50 % (lima puluh persen) dari indikator pemicu konflik, perlu segera dilaporkan kepada instansi yang terkait;
d)            sedangkan di kota-kota besar, kecenderungan terjadinya konflik sangat kecil karena masyarakat kota besar lebih mengedepankan aspek dan ciri-ciri tertentu dalam meredam konflik, misalnya Jakarta dengan heterogenitas penduduk akan enggan terpengaruh ajakan untuk berbuat rusuh dengan skala besar, dikarenakan akan merusak sendi-sendi perekonomian sehingga merugikan mereka sendiri, sedangkan di Jawa dan Sumatera Utara dan Sumatera Barat, hampir mayoritas penduduk satu sama lain terdapat garis atau silsilah kekeluargaan sehingga satu sama lain enggan bertikai karena hubungan darah yang kuat; dan
e)            kependudukan bukanlah faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, karena di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, atau China, mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan jumlah penduduk yang besar. Namun yang harus diperhatikan adalah pembangunan dan perekonomian yang seharusnya bisa diterapkan secara merata dan adil guna menghindari munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah;

2)           Dr. Ihsan Ali Fauzi, M.A.:
a)           dalam menangani konflik sosial, pembuatan aturan hukum baru bukanlah solusi tepat, karena materi muatan RUU ini belum tentu mengakomodir hal-hal yang selama ini menjadi pemicu, karena masing-masing daerah memiliki jenis pemicu konflik yang berbeda-beda, sedangkan RUU ini hanya fokus pada koordinasi, pembentukan badan baru, dan metode-metode pencegahan pasca konflik;
b)           pada masing-masing daerah konflik ada mekanisme penyelesaian tersendiri sesuai adat dan kebiasaan mereka, namun hal tersebut terkesan diabaikan oleh pemerintah, padahal hukum adat sifatnya juga mengikat dan menghukum. Sebaiknya pemerintah mengoptimalkan regulasi yang ada dan jangan memaksakan suatu aturan yang belum tentu lebih baik dari aturan yang ada sebelumnya. Misalnya     di Papua, sebelum banyak bertebaran regulasi pemerintah, masyarakat terbiasa menyelesaikan sesuatu berdasarkan hukum adat dan konflik yang terjadi pada saat itu tidaklah sebanyak sekarang;
c)            penyusunan suatu regulasi jangan didasarkan atas kepentingan politik atau ingin menyelesaikan masalah secara instan, tetapi yang harus diperhatikan menggandeng dan meminta masukan dari berbagai instansi ataupun unsur masyarakat yang selama ini bertikai, sehingga RUU ini dapat konsisten dan digunakan untuk jangka panjang;
d)           konflik sosial yang terjadi di masyarakat, sebagian besar dipicu oleh kurangnya perhatian dan respon dari pemerintah terhadap yang disuarakan masyarakat, dan terkesan pada saat sudah terjadi konflik skala besar, pemerintah baru memberikan perhatian. Hal itu mungkin mereka enggan berdialog dengan masyarakat dikarenakan materi yang didiskusikan dapat mengancam kedudukan mereka apabila sampai di dengar oleh pejabat pusat; dan
e)           terkait masalah Pilkada, pihak yang keluar sebagai pemenang cenderung arogan dan otoriter dengan memaksakan susunan kepengurusan yang berasal dari kalangan suku atau agama tertentu dengan mengesampingkan potensi dan unsur masyarakat yang ada, sehingga muncullah ketidakpuasan terutama dari masyarakat yang terpinggirkan dari jabatan daerah, namun hal tersebut tidak pernah mendapat reaksi dari pemerintah pusat, dan menjadi pemicu konflik-konflik yang terjadi di daerah terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang terdiri atas beragam suku-suku namun masing-masing mempunyai pengaruh yang cukup kuat pada provinsi tersebut.

3)           Wakabaharkam Polri, Inspektur Jenderal Polisi           Drs. Bambang Suparno, S.H., M.Hum.:
a)           penyelesaian konflik tidak hanya terfokus pada penegakan hukum, tetapi harus dilihat apa yang menyebabkan konflik tersebut muncul, seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, atau Papua, itu seringkali konflik diawali dengan masalah pertanahan, pekerjaan, atau pembangunan yang merusak tatanan sistem adat mereka;
b)           seharusnya sebelum Polisi menangani konflik yang muncul, perwakilan instansi yang menjadi latar belakang pemicu konflik harus menghadapi dan menjelaskan kepada pihak yang berkonflik, karena tidak mungkin anggota Polisi dapat menjelaskan atau mencari solusi apabila konflik tersebut dikarenakan karena sengketa lahan tanah, masalah upah tenaga kerja, atau pencemaran akibat tata pembangunan yang kurang terencana;
c)            strategi Polri dalam menangani konflik sosial yaitu mendeteksi darimana embrio konflik tersebut berasal, karena tidak mungkin suatu konflik langsung terjadi secara cepat dan besar, tetap ada eskalasi atau tahapan-tahapan;
d)           tugas Polisi ketika mengetahui atau mendengar ada desas-desus mungkin yang ditiupkan              di pinggiran komunitas masyarakat adalah mencari tahu apa permasalahannya dan langsung berkoordinasi denga instansi yang terkait dengan embrio konflik, sehingga fase perubahan embrio menuju fase puncak ketidakpuasan masyarakat bisa diredam sedini mungkin;
e)           terkait masalah Pilkada, sebenarnya paling banyak benih konflik disebabkan dari penguasa atau calon yang mengikuti pemilihan. Seharusnya dalam diri mereka tertanam sikap berkompetensi dengan fair dan jujur serta menerima hasil dengan lapang, namun kenyataannya yang terjadi di daerah, masing-masing penguasa dan calon penguasa tega menghasut masyarakat bawah dengan iming-iming uang untuk melawan masyarakat lainnya yang mungkin sebelum digelar pemilihan, kehidupan sosial mereka sangat harmonis; dan
f)             dalam hal regulasi, Polri memiliki regulasi tersendiri untuk penanganan konflik atau kerusuhan yang terjadi di masyarakat. RUU ini sebenarnya diperlukan untuk dijadikan pedoman Polri dalam bertindak, tetapi materi muatannya haruslah merangkul semua pihak dan bukan hanya dilihat dari perkembangan situasi dan kondisi bangsa yang terjadi saat ini.

h.           diskusi antar peserta FGD, yang terbagi dalam 3 (tiga) kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap materi/substansi RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, dengan hasil sebagai berikut:

1)           Kelompok I:
a)             penggunaan kata ”penanganan” pada judul disarankan diubah dengan ”penanggulangan” karena kata ”penanganan” diasumsikan hanya pada saat terjadi konflik, sedangkan ”penanggulangan” memiliki lingkup kegiatan yang lebih luas;
b)             definisi ”penghentian konflik” sebaiknya ditambahkan pada awal kalimat yaitu sebagai ”serangkaian kegiatan hukum”, hal ini dimaksudkan agar kegiatan penghentian konflik tetap berada pada koridor hukum;
c)             dalam Pasal 5, sumber konflik sosial perlu ditambahkan satu point, yaitu politik, ideologi, dan keamanan; dan
d)             Bab IV, judul penghentian konflik disarankan diganti dengan ”pengelolaan konflik” karena harus ada manajemen konflik dan konflik tidak bisa dihentikan, melainkan akan ada sisa-sisa yang akan terus berkelanjutan;
2)           Kelompok II:
a)            RUU ini sangat diperlukan mengingat belum adanya payung hukum yang khusus menangani konflik sosial secara proporsional dan profesional;
b)            dalam penanganan konflik perlu ditambahkan pelibatan pejabat atau instansi yang membidangi masalah ketenagakerjaan, pendidikan, dan pertanahan, karena seringkali penyebab konflik akibat kesenjangan atau perebutan tiga unsur tersebut;
c)             keanggotaan Komisi Penanganan Konflik Sosial perlu disesuaikan baik komposisi maupun latar belakang dan personel yang akan mengawakinya.
3)           Kelompok III:
a)            draft RUU ini masih terlalu dini untuk digulirkan dan perlu sosialisasi atau pengkajian secara akademis melalui penyusunan daftar inventarisir masalah, selain itu konflik yang terjadi saat ini mungkin hanya refleksi akibat perubahan era reformasi dan demokrasi;
b)            pasal-pasal yang terdapat dalam RUU ini perlu disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau pertentangan dengan kewenangan yang diemban instansi lain sesuai undang-undang organiknya; dan
c)            dalam RUU ini perlu diperluas terkait penanganan pasca konflik dan bentuk-bentuk pemulihannya (rekonsolidasi dan recovery).

i.             Sambutan Penutupan FGD dari Kadivkum Polri, yang disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)           melalui kegiatan FGD ini diharapkan Polri dapat berkontribusi memberikan masukan yang konstruktif terhadap RUU tentang Penanganan Konflik Sosial sebagai bentuk sumbangsih dan komitmen Polri dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat;
2)           hal-hal positif yang dihasilkan dari FGD ini akan diteruskan kepada para stakeholder, sehingga diharapkan RUU ini bisa lebih baik terutama substansi dan impelemtasinya pada saat diundangkan;
3)           penekanan pada RUU tentang Penanganan Konflik Sosial bukan pada penindakannya tetapi bagaimana mencegah agar potensi dan bibit konflik tidak muncul kembali, dan bagaimana menciptakan sinergitas seluruh sumber daya atau komponen bangsa; dan
4)           RUU ini diharapkan mampu memecahkan semua permasalahan dan hambatan yang selama dihadapi aparat penegak hukum dalam menangani konflik sosial, sekaligus menjadi payung hukum yang jelas dan tegas bagi aparat dalam mengambil tindakan dan langkah-langkah penyelesaian konflik sosial.

C.           PENUTUP
1.            Kesimpulan dan Saran:
a.            komponen konflik sosial dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) faktor utama, yaitu:
1)          situasi yang melatarbelakangi terjadinya konflik;
2)          sikap dan persepsi pihak-pihak yang berkonflik; dan
3)          perilaku, strategi, taktik, dan alat yang digunakan dalam konflik;
ketiga faktor tersebut dapat dijadikan bahan kajian untuk mengetahui jenis konflik yang terjadi;

b.            konflik merupakan benturan sikap, pendapat, tingkah laku, atau jalan pikiran antar 2 (dua) orang/kelompok atau lebih, dalam memperoleh atau memandang suatu hal yang sering terjadi pada suatu negara dengan kondisi masyarakat yang majemuk;

c.            sumber konflik yang terjadi di Indonesia antara lain dilatarbelakangi oleh faktor geografis, demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan pembangunan, faktor suku, agama, dan ras;

d.            penyelesaian konflik yang baik dapat dilakukan dengan mengelola dan membuat manajemen penanganan konflik secara komprehensif dengan mengkaji jenis konflik sosial yang terjadi dilihat dari aspek pihak yang berkonflik, lokasi konflik, bentuk konflik, dan kerugian konflik tanpa menyembunyikan potensi atau bibit konflik, dan melakukan pencegahan cepat agar tidak meluas dengan melibatkan berbagai komponen bangsa. Kemudian dicari solusi terbaik, strategi, dan antisipasi agar tidak terulang konflik tersebut; dan

e.            RUU tentang Penanganan Konflik Sosial pada dasarnya mencerminkan niat baik pemerintah untuk mencegah konflik sosial, namun materi muatan yang diatur masih bersifat normatif dan kurang aplikatif, sehingga perlu dibangun upaya peningkatan peran dari segenap lembaga/instansi pemerintah sesuai kewenangan masing-masing dan pemberdayaan masyarakat, serta mengedepankan sinergitas terkait kebijakan, program, dan kegiatan dalam penanganan konflik dan pasca konflik.
2.            Saran:
a.            RUU tentang Penanganan Konflik Sosial apabila akan diteruskan pembahasannnya, diperlukan penyusunan materi muatan yang lebih responsif dan implementatif, tinjauan aspek akademis mengenai pengelolaan konflik yang solutif, dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lain agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, serta perlu dikaji aspek urgenitas dan kontinuitas RUU tersebut agar bisa diimplementasikan untuk jangka panjang;

b.            penyelesaian konflik sosial melalui pembentukan aturan hukum dan lembaga baru bukanlah solusi yang paling utama, tetapi perlu mengoptimalkan potensi yang ada melalui manajemen penanganan konflik dan membuat pemetaan peraturan perundang-undangan yang terkait penanganan konflik serta pemetaan wilayah rawan konflik, sehingga kedepannya pemerintah dapat mengantisipasi dan menyiapkan langkah strategis dalam penyelesaian konflik sosial dengan meminimalisir cara-cara kekerasan dan tetap menjunjung HAM; dan

c.            konflik sosial dapat diminimalisir apabila semua komponen atau instansi terkait dapat bekerja sama melalui deteksi dan pencegahan penyebaran bibit pemicu konflik. Polri sifatnya bertanggung jawab di bidang keamanan, sedangkan untuk memberikan penjelasan atau penyelesaian terhadap ketidakpuasan masyarakat yang menjadi pemicu konflik, perlu melibatkan instansi terkait dan pemberdayaan masyarakat secara sinergis sesuai permasalahan yang dihadapi agar konflik sosial tidak meluas, berkepanjangan, dan berulang.

3.            Demikian laporan pelaksanaan FGD RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang mengambil tema ”PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DALAM MENUNANG STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI” disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.


Mengetahui:

KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI

Ttd.


Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
Jakarta,     Oktober 2011


KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD
Ttd.

Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 62030473

Tidak ada komentar:

Posting Komentar