Future

Future

Jumat, 17 Desember 2010

RESENSI BUKU WARKOP DKI



WARKOP

Dari sekedar bercanda..hingga menjadi legenda

Siapa yang tidak kenal dengan grup lawak Warung Kopi yang beken disebut Warkop, yang mulai berkibar dikancah perlawakan Indonesia yang digawangi oleh trio Dono, Kasino, dan Indro (DKI). Warkop DKI pada masa 80’an sampai dengan akhir 90’an memang merajai dunia perfilman tanah air, dan film-filmnya hingga kini masih tetap menjadi suguhan rutin di hari Idul Fitri, walaupun saat ini personel yang tersisa hanya Indro, karena Kasino dan Dono telah lebih dulu menghadap sang Khalik.

Lawakan mereka yang khas dengan mengusung latar belakang “intelektual kampus”, Warkop DKI lebih banyak menyuguhkan candaan slapstick, parodi plesetan lagu-lagu terkenal baik dalam dan luar negeri pada jamannya, sampai dengan sindiran terhadap kebijakan pemerintah. Akan tetapi metode lawakan yang demikian justru menjadi cepat diterima dan diingat masyarakat dibandingkan grup lawak lain yang gaya candaannya lebih banyak adegan kontak fisik dan sengaja dibuat-buat.

Puluhan film karya mereka telah banyak menyedot jutaan penonton bioskop pada masa tersebut, padahal pada masa itu juga, perfilman di Indonesia sedang lesu dan nyaris mati suri, kalaupun ada lebih banyak film yang mengumbar dan bertemakan “seks”. Ketenaran mereka di dunia perfilman nasional dan perlawakan Indonesia bisa disejajarkan dengan Alm. Benyamin dan Ateng-Iskak yang pada masa itu, film-film keduanya juga banyak menghiasi bioskop-bioskop tanah air.

Kehidupan para personel Warkop DKI di luar dunia film juga dikatakan jauh dari hingar bingar gossip atau gaya hidup borju seperti kebanyakan artis yang mendadak tenar. Bahkan mendekati akhir hayatnya, Dono masih aktif di dunia kampus sebagai pengajar sosiologi Universitas Indonesia.

Mungkin banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa pada awalnya personel Warkop bukan hanya mereka bertiga. Bagaimana sejarah terbentuknya dan perjalanan Warkop yang dahulu masih mengusung Warkop Prambors, karena pada awalnya personel Warkop memulai karir sebagai pengisi acara lawak di stasiun radio Prambors.

Indro sebagai personel terakhir dari Warkop DKi, bermaksud menghidupkan kembali memori dan kerinduan masyarakat akan profil Warkop DKI. Dengan didukung oleh Rudy Badil yang pada awalnya juga personel Warkop (Prambors) pada saat masih eksis di Radio, dan rekan-rekan pada masa aktif di kampus, mereka berdua mencoba mengeluarkan kenangan mereka akan Warkop melalui tulisan buku yang berjudul “Warkop, Main-Main Jadi Bukan Main”.

Buku setebal 278 halaman ini akan membawa pecinta Warkop menikmati perjalanan grup tersebut, mulai dari lingkungan kampus, stasiun Radio, panggung, layar lebar, sampai dengan sinetron. Dalam buku ini, pembaca juga akan disuguhkan potongan slapstick lawakan mereka, lagu-lagu yang diplesetkan, hingga potongan scene dari film-film mereka yang akan membawa pembaca bernostalgia terutama dengan karakter khas Warkop DKI yaitu Dono alias Slamet alias Bemo, Kasino alias Sanwani, dan Indro alias Joy alias Paijo.

KEHIDUPAN KAMPUS DAN RADIO

Buku ini menceritakan bahwa pada mulanya empat mahasiswa FISIP UI yaitu Rudy Badil, Kasino, Nanu “Poltak”, dan Dono memang dikenal dijurusannya masing-masing sebagai tukang cela dengan sindiran yang mereka istilahkan folklore. Mereka kemudian menjalin pertemanan akrab dan pada tahun 1973 mereka berempat mulai aktif mengisi acara di Radio Prambors yang berlokasi tidak jauh dari kampus UI daerah Salemba.

Dari Radio inilah mereka mulai dikenal masyarakat dengan lawakan-lawakan segar dibalut intelektualitas yang mereka miliki. Mereka sering memarodikan ucapan-ucapan atau dialog politik sampai lawakan yang memakai konotasi negative. Dan pada tahun 1975, mahasiswa Universitas Pancasila bernama Indrojoyo alias Indro yang berdomisili di daerah Borobudur Cikini, resmi bergabung dan pada akhirnya mereka berlima membentuk Warung Kopi Prambors.

Seiring dengan perkembangannya, siaran Warkop Prambors mulai mendapat perhatian masyarakat dan membuat masyarakat penasaran seperti apa Warkop Prambors tersebut. Dalam buku ini, penulis juga menyisipkan potongan kalimat-kalimat celaan lucu dari para personelnya yang hingga kini masih banyak diingat masyarakat.

Dari acara Radio inilah mereka mulai banyak menghasilkan kaset-kaset berisi rekaman siaran mereka. Istilahnya kaset tersebut adalah film mereka namun tanpa gambar. Kaset-kaset karya mereka juga mulai laris dicari masyarakat yang memang pada awalnya pendengar tetap acara Warkop Prambors di Radio. Dari kaset ini juga, mereka mulai memasukkan musik-musik jenaka dan music yang berasa dari plesetan lagu-lagu hits artis tenar pada masanya. Mereka juga banyak mengangkat orkes music kampus yang pada awalnya kurang dikenal menjadi ngetop seperti Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (OM PSP). Hingga akhirnya pada tahun 1979 mereka terjun ke dunia layar lebar, namun personel Rudy Badil memutuskan untuk di belakang layar sebagai penulis naskah sehingga dalam film perdana mereka Warkop Prambors hanya berempat yaitu Dono, Kasino, Indro, dan Nanu.

RAJA BIOSKOP

Pada awal kemunculan film perdana saja, penonton sudah dibuat tertawa dengan adegan-adegan dan dialog dalam film “Mana Tahan”. Mereka berempat memadukan budaya yang berbeda dalam satu alur, yaitu Batak, Jawa, dan Betawi. Film perdana mereka bisa dibilang sukses dan menjadi awal keseriusan mereka untuk menekuni dunia perfilman tanah air.

Barulah pada film kedua di tahun 1980, Warkop Prambors hanya muncul bertiga, yaitu Dono, Kasino, dan Indro. Sedangkan Nanu, sempat mengalami miskomunikasi dengan keiga rekannya karena menerima tawaran bermain film sendiri dan mengakibatkan hubungan mereka agak renggang. Hingga pada tahun 1983, akibat sakit gagal ginjal, Nanu meninggal dunia. Hal ini mengakibatkan pukulan mendalam bagi Warkop Prambors.

Film demi film terus mereka produksi dan pada tahun 1986, mereka memutuskan untuk mengganti nama menjadi Warkop DKI (Dono Kasino Indro). Film mereka pun terus merajai perfilman nasional dan bisa dibilang sebagai penyeimbang antara film Rhoma Irama dan Film yang bertaburan “Bom Seks”. Sampai akhir tahun 1994 total grup Warkop menelurkan 34 karya mereka di dunia film. Suatu karya yang tidak sedikit untuk kategori pelawak dan hanya bisa dilampaui oleh pelawak legendaris lainnya yaitu Bang Ben alias Benny alias Alm. Benyamin. Buku ini juga menampilkan sinopsis tujuh film yang dianggap memiliki kenangan tersendiri bagi penulis (Indro dan Rudy Badil).

Tidak bisa dipungkiri, Warkop DKI telah menjadi legenda lawak tanah air dan belum ada lagi pelawak sekarang yang bisa menyamai keberhasilan mereka, kalaupun ada itupun hanya sebatas di dunia panggung hiburan, bukan layar lebar. Film-film Warkop secara tidak langsung juga ikut mempopulerkan bintang-bintang baru seperti Mat Solar, Mamat Metal, Jack John, Dorman Borisman, nur Tompel, sampai Pak Tile atau menggandeng bintang-bintang beken seperti Nurul Arifin, Sally Marcelina, Kiki Fatmala, dan Eva Arnaz. Dalam film perdananya mereka bahkan berduet dengan Ratu Dangdut Elvi SUkaesih.

Selain itu film-film mereka juga identik dengan selingan parodi musikal yang menghibur dan masih dihafal oleh sebagian masyarakat pecinta Warkop seperti lagu Ticket to Ride (The Beatles), Black Liong, Mamayukero, Mars Warung Kopi, Aku Anak Desa, Beat It (diplesetkan menjadi Kecepirit), sampai lagu instrumen dalam film CHIPS.

Aktivitas mereka di dunia perfilman layar lebar mulai surut pada tahun 1995 bersamaan dengan kesehatan Kasino yang mulai menurun, sehingga mereka memutuskan untuk beralih ke sinetron. Dasar memang popularitas dan basis penggemar yang banyak, sinetron mereka pun menyedot rating penonton yang cukup lumayan untuk sebuah sinetron komedi.

PERSAHABATAN TIADA AKHIR

Kekompakan Warkop DKI memang sudah teruji, bahkan selama mereka berkarir, kehidupan diluar dunia acting mereka jauh dari publikasi ataupun gossip-gosip yang kurang enak. Mereka memiliki manajemen yang bagus sehingga tetap eksis dan tidak ada yang namanya ngetop secara individu layaknay grup lawak sekarang seperti Sule, Parto, dan Narji.

Pada tahun 1997, Kasino Hadiwibowo berpulang kepada sang Khalik akibat penyakit tumor otak yang sudah lama dideritanya. Dan pada tahun 2000, Wahjoe Sardono alias Dono alias Slamet, menyusul Kasino untuk meninggalkan alam dunia. Kehilangan dua personel dalam waktu yang relative singkat membuat Indrojoyo alias Indro menjadi terpukul. Walaupun sepeninggal mereka, Indro mencoba eksis dengan bendera Warkop awalau seorang diri, tetap tidak ada yang bisa menggantikan peran kedua maestro lawak tersebut di hati Indro, hingga akhirnya pada pertengahan tahun 2000’an, Warkop resmi menarik diri dari hingar bingar perfilman.

Ketenaran Warkop DKI selain karena kelucuan mereka juga karena bakat atau pembentukan karakter unik yang tidak disadari pelawak lain. Dono yang selalu sial, objek celaan, dan selalu bertampang udik nan polos. Kasino yang cerdas dalam menyanyikan lagu-lagu terutama lagu barat dan dengan spontan memarodikan tersebut dengan lirik yang mengundang tawa. Indro yang selalu usil dan pandai memainkan alat musik terutama seruling. Perpaduan bakat tersebut juga didukung dengan kepiawaian mereka membawakan budaya dan logat etnis tertentu, Dono yang Jawa tulen, Kasino yang Betawi, dan Indro yang terkadang berlogat Batak. Keunikan masing-masing karakter tersebut yang membuat ketiganya mampu menyuguhkan lawakan yang bervariatif dan tidak monoton kepada satu personal.

Jumlah personel Warkop DKI yang berjumlah tiga orang, hingga kini menjadi tren kemunculan grup-grup lawak baru yang mengikuti formasi Warkop DKI yaitu 3 personel dengan peran yang sama dengan Warkop DKI yaitu tukang pancing keadaan, eksekutor celaan, dan objek celaan. 25 Tahun perjalanan Warkop DKI yang kini tinggal Indro seorang, akan tetap dikenang masyarakat sebagai legenda lawak yang hingga kini pun film mereka menjadi primadona di kala musim libur tiba.

PENUTUP

Secara objektif walaupun saya adalah penggemar Warkop, menilai Buku ini patut mendapat nilai 8 yang artinya baik. Dengan buku ini kita bisa mengetahui sejarah dan perjalanan awal Warkop, mengingat kembali lawakan-lawakan yang pernah ngetop mulai dari Radio hingga televisi, sampai dengan penghargaan yang pernah mereka terima baik dari pemerintah maupun dari komunitas perfilman.

Indro dan Rudy Badil selaku penulis dan juga saksi sejarah Warkop, jelas memahami betul apa yang harus dituangkan dalam buku yang lebih tepat disebut sejarah Warkop. Sehingga ketika kita membaca tulisan mereka, kita akan merasa sedang menonton film mereka dan tanpa sadar pasti aka nada halaman yang membuat kita tersenyum geli bahkan tertawa.

Mungkin yang menjadi kekurangan dari buku ini adalah bagian pembuka yang terlalu panjang dan justru menceritakan situasi politik di tahun 1960’an, tahun yang sebenarnya bagi kita agak sulit untuk dibayangkan seperti apa keadaannya. Sepertinya penulis ingin membawa pembaca mengetahui bahwasanya selain menjadi pelawak kampus, mereka juga aktif dalam menentang kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat pada masa itu (sekarang pun masih, malah lebih sengsara). Penempatan potongan berita-berita dalam beberapa kolom pada satu halaman, juga sedikit menggangu alur membaca kita dan sedikit mengalihkan fokus pembaca yang pada awalnya sedang serius membaca satu bagian.

Terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini patut untuk saya rekomendasikan kepada para pecinta buku berlatar biografi khususnya kepada penggemar film-film Warkop. Melalui buku ini, penggemar akan dibawa bernostalgia pada masa 80-90’an, apalagi dengan bonus CD yang berisi lawakan-lawakan mereka semasa di Radio, membuat kita semua khususnya penggemar Warkop selalu berujar “Warkop Ngga Ada Matinye” dan terus mengumandangkan slogan Warkop “Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang”. **