Future

Future

Sabtu, 04 Juni 2011

DUNIA KARIR DI INDONESIA

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

DUNIA KARIR DI INDONESIA

ANTARA HARAPAN, KENYATAAN, DAN KEPUTUS-ASAAN

Di Indonesia, terutama di beberapa kota besar khususnya DKI Jakarta, lembaga pendidikan dan berbagai jenis profesi sangat beragam dan tersebar hampir di berbagai sektor usaha dan perekonomian. Terkait dengan profesi dalam pekerjaan, Jakarta memang menjadi magnet tersendiri bagi para pencari kerja atau lulusan lembaga pendidikan. Pada umumnya mereka teriming-imingi dengan pendapatan yang memang berbeda dari provinsi lainnya (upah minimum provinsi), mereka juga menganggap dengan berkarir atau bekerja di Jakarta, memberikan prestise tersendiri untuk dibanggakan kepada keluarga ataupun rekan/kerabat di daerah asalnya.

Lembaga pendidikan pun banyak yang menawakan berbagai jurusan yang di klaim bakal dapat diserap dan dibutuhkan oleh dunia kerja, dengan kemudahan dan kelengkapan fasilitas perkuliahan yang diberikan. Akan tetapi pada kenyataannya tetap tidak bisa mengurangi jumlah pengangguran yang semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik yang berasal dari SMU sampai dengan lulusan perguruan tinggi.

Pengangguran memang menjadi momok bagi sebagian mahasiswa ataupun pelajar SMU dengan melihat kenyataan, sebelum mereka saja sudah banyak yang menjadi pengangguran dan berebut mencari dan mendapatkan lowongan pekerjaan. Apalagi jika mereka telah lulus? Bagi mereka yang punya koneksi, skill mumpuni, atau basic perguruan tinggi ternama, mungkin tidak menjadi masalah, tetapi bagi yang tidak punya modal apa-apa selain ijazah? Hanya akan bernasib sama seperti generasi sebelumnya.

Pemerintah pun sepertinya kurang tanggap dalam menangani dan menyelesaikan masalah pengangguran di tanah air, malah terkesan sibuk dengan urusan politik dan kekuasaan, sehingga tidak heran apabila tenaga kerja Indonesia yang mencari rezeki di luar negeri banyak yang menjadi bulan-bulanan tindak kriminal atau bahkan terlantar tanpa ada jalan keluar. Mengurusi yang di luar negeri saja tidak sempat, apalagi mengurus yang di dalam negeri.

Potret realita karir di Jakarta sebenarnya pernah diangkat di layar kaca melalui sinetron Si Doel Anak Sekolahan garapan Rano Karno. Yang menceritakan pemuda bernama Kasdullah yang dengan segala kekurangan orangtuanya bertekad untuk lulus sebagai insinyur karena langkanya lulusan perguruan tinggi di lingkungan tempat tinggalnya. Doel yang telah lulus insinyur, ternyata harus pontang-panting mencari kerja, menenteng map lamaran kerja menyusuri perusahaan-perusahaan, sampai akhirnya menjadi supir bahan material secara diam-diam tanpa diketahui orangtuanya.

Menurut saya sebagai penduduk Jakarta yang pernah merasakan sakit dan kecewa terhadap karir di Indonesia, beberapa factor penyebab banyaknya pengangguran terutama dari lulusan perguruan tinggi, sebagai berikut:

1. Tingginya standar perusahaan.

Untuk factor yang satu ini, beberapa perusahaan swasta ternama terutama yang bergerak di bidang yang berpendapatan besar seperti perminyakan, pertambangan, dan otomotif, memang mematok standar tinggi bagi calon pegawainya seperti penguasaan bahasa asing, program aplikasi, dan ilmu manajemen yang di atas rata-rata.

Hal ini disebabkan aktifitas perusahaan tersebut lingkupnya tidak hanya domestik, namun juga terkait dengan unsure kepemilikan asing dengan modal yang tidak sedikit sehingga mereka tidak mau mengambil resiko dengan mempekerjakan pegawai yang di bawah standar kerja mereka. Sementara di beberapa perguruan tinggi Indonesia, kurikulum yang diajarkan seringkali tidak banyak yang digunakan dalam dunia kerja sehingga lulusan terpaksa mengembangkan bakat dan kemampuan di luar kemampuan akademiknya.

2. Terbatasnya jumlah pekerjaan.

Factor yang kedua yaitu terbatasnya jumlah pekerjaan yang disediakan sedangkan jumlah lulusan setiap tahunnya semakin banyak. Hal ini disebabkan jumlah kebutuhan karyawan di setiap perusahaan tidak selalu besar, untuk swasta berkisar antara 10 – 20 pegawai setiap tahunnya.

Ditambah lagi jika pada tahun tersebut belum ada yang memasuki usia pensiun maka perusahaan atau tidak ada yang mengundurkan diri atau dikeluarkan, secara otomatis lowongan tidak akan dibuka. Sedangkan untuk pegawai negeri kebutuhan pegawai dibuka satu bulan dalam setiap tahunnya dan itupun hanya berkisar 20 – 100 pegawai dengan berbagai latar belakang jurusan. Untuk menyikapi hal tersebut, lulusan diharuskan mempunyai jiwa entrepreneur dan tidak tergantung pada pekerjaan kantoran sehingga bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.

3. Koneksi dan Politik Uang

Factor yang ketiga ini, akan saya ulas secara mendalam versi saya karena menurut saya factor ini menjadi biang keladi semakin banyaknya pengangguran dan semakin buruknya kinerja pegawai terutama di sektor pemerintahan.

Tidak bisa dipungkiri, koneksi yang baik dalam dunia kerja akan memudahkan seorang pelamar untuk dipertimbangkan menduduki lowongan tertentu di perusahaan. Untuk sektor swasta, koneksi seringkali menjadi factor minimnya lowongan kerja di suatu perusahaan karena sudah habis diborong atau dibooking oleh karyawan lama untuk memasukkan atau merekomendasikan kenalan, kerabat, atau keluarganya untuk mengisi lowongan tersebut.

Contoh Realita Pertama (di lingkungan Swasta):

Di suatu perusahaan, dalam Divisi SDM atau perekrutan berdasarkan arahan pimpinan, akan merekrut tenaga kerja baru sebanyak 30 orang dan pimpinan membebaskan divisi SDM, cara mempublikasikan lowongan tersebut, apakah melalui media cetak atau melalui situs perusahaan.

Mengetahui adanya lowongan di perusahaannya, pegawai di divisi SDM sudah pasti akan menghubungi kerabatnya perihal lowongan tersebut, atau pegawai dari divisi lain akan dengan cepat mengetahui informasi tersebut dan langsung memberitahukan kepada kerabatnya.

Akibatnya, 30 slot pegawai yang dibutuhkan, tanpa sempat diumumkan kepada publik, sudah habis dibooking oleh rekomendasi dari pegawai dalam perusahaan tersebut. Terlepas apakah rekomendasi tersebut berkualitas atau tidak, yang jelas kerabatnya masuk dahulu, masalah kelancaran urusan belakangan.

Trend seperti ini banyak dijumpai di perusahaan swasta berskala besar dan bahkan petugas security terkadang juga terkesan cuek dan menjawab tidak ada lowongan, kepada pelamar yang ingin menitipkan lamaran. Karena petugas security tersebut juga merekomendasikan kerabatnya untuk mengisi lowongan tersebut, bahkan tidak jarang petugas security atau resepsionis perusahaan membuang lamaran dari pencari kerja karena takut rekomendasinya bakal bersaing dengan pelamar tersebut.

Sungguh hal yang memalukan dan menjijikkan bagi saya setelah mengalami sendiri hal tersebut. Bahkan saya juga menjumpai staf perusahaan yang tidak capable dan malah terkesan tidak memiliki etos kerja namun tidak bisa diambil tindakan karena berlindung dibalik si pemberi rekomendasi. Semakin tinggi jabatan pemberi rekomendasi, peluang yang direkomendasikan untuk mengisi lowongan semakin besar dengan jabatan yang bergengsi, meskipun kualifikasinya dapat dipertanyakan atau bahkan jauh di bawah pelamar yang map atau lamarannya dibuang di tong sampah oleh oknum perusahaan.

Contoh Realita Kedua (di lingkungan Pemerintahan):

Untuk contoh realita di pemerintahan, mungkin yang krusial untuk ditanggapi mengingat saat ini para pencari kerja menaruh minat yang sangat tinggi untuk bekerja di pemerintahan. Hal ini disebabkan pendapatan yang tidak berbeda jauh dengan swasta namun aman dalam hal keberlangsungan karena PNS bekerja sampai usia pension sedangkan pegawai swasta kini semakin tidak tenang akibat maraknya outsourcing dan sistem kerja kontrak. Ditambah lagi PNS identik dengan masuk kerja seenaknya, jalan-jalan berdalih dinas dan adanya pembagian uang anggaran yang belum terserap melalui kegiatan yang terkesan diada-adakan.

Namun untuk masuk sebagai PNS sangat jauh dari membalikkan telapak tangan. Malah yang lebih parah lagi, meskipun ada yang merekomendasikan tetap ada budaya menyetor kepada panitia penerimaan untuk memuluskan masuk sebagai PNS.

Beberapa lembaga atau kementerian yang dianggap sebagai lahan basah, seperti Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Pajak dan Bea Cukai, Kementerian Hukum dan HAM c.q. Ditjen Imigrasi, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pemprov DKI Jakarta, menjadi PNS disana adalah impian setiap pelamar namun tentunya dengan prosentase kelulusan murni adalah 0-1 % dari jumlah pelamar. Bahkan beda jurusan dengan yang dikualifikasikan tidak menjadi masalah apabila yang merekomendasikan adalah pejabat tinggi lembaga tersebut. Dan juga dengan politik uang, panitia bisa membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin dan legal dengan cara menjegal dan menghapus nama peserta yang berasal dari kalangan jujur.

Belum lagi jumlah yang dibutuhkan dalam suatu lembaga pemerintahan, terkadang menjadi tanda Tanya. Bagaimana mungkin di suatu kementerian pada tahun (misalnya) 2011, hanya membutuhkan 15 CPNS? Padahal kita tahu bahwa sistem kerja berdasarkan usia dan apakah benar di tahun tersebut yang pensiun hanya 15 PNS lama? Padahal di tahun 1980-1990 kebutuhan akan PNS sangat tinggi sehingga patut dipertanyakan mengapa yang dibutuhkan saat ini hanya sedikit? Ataukah sebenarnya jumlah yang dibutuhkan 100 CPNS di kementerian tersebut dengan asumsi 50 CPNS untuk kerabat pejabat tinggi, 35 CPNS untuk yang berani membayar, dan 15 CPNS untuk yang jujur agar tidak ketahuan BPK?

Ketiga factor tersebut hanyalah pendapat saya selaku masyarakat umum yang pernah merasakan sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta. Para pemimpin kita bahkan berbuat yang demikian, sehingga disimpulkan, dunia karir di Indonesia terletak diantara impian dan keputus-asaan yang tak kunjung selesai dan malah menambah pengangguran. *********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar