Future

Future

Rabu, 18 Mei 2011

POLEMIK KODE ETIK DAN HUKUM DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI

POLEMIK KODE ETIK DAN HUKUM

DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI

Pengunaan teknologi informasi dalam mendukung aktivitas masyarakat baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kepentingan bertransaksi/bisnis kini semakin menjadi trend dan berpengaruh. Efesiensi, kemudahan, dan kecepatan yang ditawarkan melalui pemanfaatan teknologi informasi, secara tidak langsung membawa pengaruh positif dan negatif baik bagi individu maupun bagi pemerintahan.

Sebagai salah negara hukum, Indonesia dikenal banyak memiliki instrument hukum untuk mengatasi berbagai masalah pelanggaran dan penyimpangan dalam aktivitas warganya, namun banyak dari instrument tersebut sifatnya hanya dibuat justru untuk dilanggar atau sekedar formalitas belaka atau bahkan sebagai sarana melegalkan tindakan beberapa aparat pemerintah yang terkait dengan kepentingan pribadi semata.

Demikian halnya dalam pemanfaatan teknologi informasi, instrument hukum yang ada di Indonesia baru sebatas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun peraturan-peraturan pelaksanaannya belum satupun yang terbentuk sehingga mekanisme pengawasan dan pengaturan pemanfataan teknologi informasi belum semuanya terakomodir.

Sebelum adanya instrument hukum, seharusnya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, merangkul berbagai komunitas TI yang ada di Indonesia untuk mengetahui kode etik yang berlaku di lingkungan mereka dalam memanfaatkan TI dan meminta saran masukan dari komunitas tersebut, hal-hal apa saja yang perlu dibenahi di dunia TI Indonesia. Kesemuanya itu bisa dirangkum dan dihimpun oleh Pemerintah untuk dibuatkan regulasi yang sifatnya mendukung dan melindungi, bukan justru membatasi atau malah mengurangi akses mereka yang sebenarnya tidak membawa dampak apa-apa bagi pemerintahan.

Kasus pembobolan rekening seseorang melalui internet, penipuan jual-beli online, penyerangan situs-situs pemerintah, penyebaran pornografi yang sulit diblok, sampai dengan penjualan barang-barang atau bisnis illegal dengan cara online adalah beberapa contoh kriminalitas yang disebabkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen TI di Indonesia. Ditambah lagi dengan tidak adanya metode pengungkapan yang cepat dan akurat berbasis TI dan regulasi hukum yang bisa membuat jera, membuat aparat penegak hukum sulit untuk mengungkap tindak pidana di bidang teknologi informasi dan pelaku pun sulit untuk dijerat dengan instrument hukum bahkan terpaksa menggunakan atau salah menerapkan ketentuan perundang-undangan akibat miskinnya regulasi di bidang TI.

Seperti yang kita ketahui, pemerintah dalam hal ini DPR-RI lembaga pengharmonisasi undang-undang, dikenal susah dalam menelurkan produk hukum. Kalaupun ada, lebih banyak yang esensinya untuk skala kepentingan kementerian tertentu atau yang mengatur hal yang sebenarnya tidak perlu diatur. Hal ini dikarenakan berbelit-belitnya proses administrasi maupun pembahasan yang dilaksanakan, ditambah lagi praktek jual beli ayat atau pasal, semakin membuat suatu perundang-undangan menjadi tidak berbobot.

Saat ini selain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, pemerintah sedang merancang undang-undang tentang tindak pidana teknologi informasi untuk memperkuat regulasi di bidang TI. Diharapkan nantinya rancangan undang-undang ini bisa melindungi konsumen TI di Indonesia dari pelanggaran ataupun penyalahgunaan pelaku tindak pidana TI.

Namun regulasi-regulasi hukum TI seharusnya bisa mengakomodir permasalahan-permasalahan dalam penanganan tindak pidana TI, bukan malah menimbulkan masalah baru yang menyebabkan kerugian konsumen TI, sebagai contoh dalam RUU tersebut dikatakan adanya pelarangan terhadap penyadapan. Padahal penyadapan yang outputnya berupa rekaman suara, dapat dijadikan alat bukti di pengadilan untuk menemukan tersangka tindak pidana beserta jaringan yang terlibat.

Selain itu, yang dikhawatirkan masyarakat adalah pengawasan terhadap penggunaan internet, terutama chatting atau penyebaran cerita yang dianggap mencemarkan nama baik pemerintah atau institusi. Padahal komunikasi dan sharing di dunia maya, selama tidak berlebihan dan memang merupakan kenyataan, bisa menjadi kritikan dan cambuk bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerjanya, bukan malah membungkam kebebasan berpendapat.

Sedangkan untuk masalah kriminalitas tinggi seperti pembobolan rekening, materi pengaturan dalam RUU harus lebih kompeten dan dijabarkan serinci mungkin agar tidak adanya tumpang tindih pengaturan karena selama ini instrument hukum Indonesia banyak yang tumpang tindih, misalnya undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, bisa duplikasi dengan undang-undang tentang pencucian uang, undang-undang tentang transfer dana, atau bahkan dengan KUHAP ataupun KUHP.

Namun selain memperkuat materi dan sanksi, dalam perancangan dan pengimplementasian suatu perundang-undangan, diperlukan kompetensi dan pemahaman di bidangnya baik dari perancangnya, perumus, sampai dengan organ yang menjalankannya. Bagaimana suatu perundang-undangan di bidang TI dapat dilaksanakan dan memiliki bobot yang baik, bila perancang, perumus, pembahas, sampai dengan aparat pelaksananya masih memiliki keterbatasan bahkan banyak yang belum memahami ilmu TI itu sendiri.

Regulasi yang diharapkan dapat dijadikan kode etik dalam dunia TI di Indonesia, sepertinya halnya kode etik kedokteran, kode etik advokat, atau kode etik profesi Polri, seharusnya sejak dini sudah disiapkan dengan baik dan matang, mengingat ke depan tantangan dalam penggunaan dan pemanfaatan TI rawan akan timbulnya permasalahan-permasalahan baru yang berimplikasi munculnya tindak pidana baru yang semakin menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi konsumen TI di Indonesia.

Mungkin jika boleh mengutip atau mencontoh penerapan kode etik yang dibuat oleh IEEE (Institut of Electrical and Electronics Engeneers) bagi anggotanya, dalam penggunaan TI, berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. To accept responsibility in making decisions consistent with the safety, health and welfare of the public, and to disclose promptly factors that might endanger the public or the environment. Artinya setiap anggota bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan konsisten dengan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta segera mengungkapkan faktor-faktor yang dapat membahayakan publik atau lingkungan.

2. To avoid real or perceived conflicts of interest whenever possible, and to disclose them to affected parties when they do exist

Intinya ialah sebisa mungkin menghindari terjadinya konflik kepentingan dan meluruskan mereka yang telah terpengaruh oleh konflik tersebut.

3. To be honest and realistic in stating claims or estimates based on available data.

Masih ingat dengan Pemilu 2009 kemarin? Betapa lamanya KPU memproses hasil penghitungan suara. Pihak yang bertanggung jawab atas urusan TI KPU sebelumnya menyatakan bahwa sistem yang mereka buat sudah teruji reliabilitasnya dan rekapitulasi suara akan berjalan lancar.

4. To reject bribery in all its forms

Sesuatu yang sangat langka di Indonesia, bukan hanya di bidang politiknya saja, di bidang teknologi informasinya pun bisa dikatakan sedikit yang bisa melakukannya.

5. To improve the understanding of technology, its appropriate application, and potential consequences.

Setiap saat meningkatkan pemahaman teknologi, aplikasi yang sesuai, dan potensi konsekuensi.

6. To maintain and improve our technical competence and to undertake technological tasks for others only if qualified by training or experience, or after full disclosure of pertinent limitations.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi teknis dan teknologi untuk melakukan tugas-tugas bagi orang lain hanya jika memenuhi syarat melalui pelatihan atau pengalaman, atau setelah pengungkapan penuh keterbatasan bersangkutan.

7. To seek, accept, and offer honest criticism of technical work, to acknowledge and correct errors, and to credit properly the contributions of others.

Untuk mencari, menerima, jujur dan menawarkan kritik dari teknis pekerjaan, mengakui dan memperbaiki kesalahan, dan memberikan kredit atas kontribusi orang lain.

8. To treat fairly all persons regardless of such factors as race, religion, gender, disability, age, or national origin.

Memperlakukan dengan adil semua orang tanpa memperhitungkan faktor-faktor seperti ras, agama, jenis kelamin, cacat, usia, atau asal kebangsaan.

9. To avoid injuring others, their property, reputation, or employment by false or malicious action.

Menghindari melukai orang lain, milik mereka, reputasi, atau pekerjaan dengan tindakan salah atau jahat.

10. To assist colleagues and co-workers in their professional development and to support them in following this code of ethics.

Saling membantu antar rekan kerja dalam pengembangan profesi mereka dan mendukung mereka dalam mengikuti kode etik ini.

------ 0 ------ 0 ------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar