Future

Future

Senin, 14 November 2011

KEMACETAN IBUKOTA # 1 (the trilogy)




KEMACETAN IBUKOTA JAKARTA
DARI SUDUT PANDANG SEORANG WARGA

CHAPTER 1

            Kemacetan….adalah hal yang sekarang menjadi pemandangan umum bagi penduduk Ibukota DKI Jakarta, yang hampir terjadi setiap saat..setiap minggu..pada jam-jam berangkat atau pulang sekolah/kantor, atau pada jam-jam penduduk menikmati liburan.

            Terbatasnya jumlah ruas jalan di ibukota, berbanding terbalik dengan jumlah kendaraan yang berlalu-lalang dan dimiliki oleh penduduk Jakarta. Beberapa pejabat pemerintah c.q Pemda DKI dan instansi-instansi terkait termasuk Gubernur DKI Jakarta telah mengupayakan berbagai solusi pemecahan kemacetan yang semakin parah dan semakin membuat penduduk Jakarta mengalami stress pada jam-jam tertentu.

            Sebagai warga Ibukota yang telah bermukim selama 28 tahun, saya mengambil kesimpulan tentang apa yang sebenarnya terjadi mengenai kemacetan di Ibukota Jakarta, sebagai berikut:

v    Faktor Penyebab:

            Kemacetan yang semakin parah, tidak terjadi begitu saja dan sudah pasti ada penyebabnya, karena sebelum memasuki tahun 2000, lalu lintas    di Ibukota tidaklah semacet sekarang. Perubahan drastis kemacetan yang terjadi saat ini antara lain disebabkan faktor sebagai berikut:

1.            Terbatasnya ruas jalan.

Jumlah jalan yang ada di Ibukota sudah mencapai batasan yang direncanakan karena disesuaikan dengan jumlah lahan terbuka yang ada, sehingga jumlah ruas jalan terutama jalan protokol, jalan besar, jalan utama, dan jalan-jalan yang bisa dilalui kendaraan dan berada pada posisi strategis menjadi tidak bisa dikembangkan lagi, kalaupun dimodifikasi hanya berupa pembangunan underpass atau flyover yang disusun bertumpuk dengan jalan yang sudah ada, namun hal tersebut justru menimbulkan kemacetan baru pada saat pembangunannya;

Akibatnya kendaraan semakin terfokus dan terkonsentrasi pada ruas-ruas jalan tersebut terutama pada jam-jam berangkat atau pulang kantor/sekolah, selain itu kurangnya informasi ruas jalan alternatif mengakibatkan kemacetan bertumpuk pada jalan-jalan tertentu sepeti jalan Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, H.R. Rasuna Said, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Kalimalang, Mayjen S. Parman, Daan Mogot, dan Jalan Ciledug Raya;


2.            Menurunnya kualitas jalan.

Selain jumlah ruas jalan yang sedikit, kualitas jalan yang dibangun       di Ibukota pada akhir-akhir ini semakin kurang baik. Ada beberapa jalan yang baru diperbaiki, namun 6 (enam) bulan ke depan sudah mulai tergerus atau mulai berlubang. Padahal sebelum tahun 2000 jalan di daerah Tanjung Priok misalnya, jarang sekali mengalami kendala sekalipun dilewati kendaraan dengan ukuran dan beban yang melampaui ketentuan;

Mungkin hal tersebut diakibatkan perencaan spesifikasi jalan yang kurang tepat dan kurang diteliti sebelumnya, selain itu sudah bukan rahasia umum, jika proyek pembangunan jalan sarat dengan praktek korupsi terutama mengenai kualitas barang yang diadakan, sebagai contoh : aspal yang seharusnya kualitas A dengan harga Rp. 250.000 per satuannya, namun karena pejabat pelaksananya bermental korupsi sehingg aspal yang disediakan berkualitas C dengan harga Rp. 100.000, yang mempengaruhi kualitas dan ketahanan aspal tersebut;

3.            Volume Produksi dan Pemakaian Kendaraan.

Nah, untuk yang satu ini bisa dibilang sumber kedua penyumbang kemacetan di Ibukota. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pemilikan terhadap suatu barang dengan cara legal adalah Hak Asasi Manusia, apalagi gaya hidup di Jakarta yang sarat dengan borjuis mengakibatkan kebutuhan akan mobil atau motor menjadi tidak terkontrol, bahkan satu keluarga elit di Jakarta rata-rata mempunyai mobil di atas 3 (tiga) buah.

Bisa dibayangkan apabila di satu komplek perumahan Pondok Indah atau Bintaro, terdapat + 100 kepala keluarga yang kesemuanya penuh dengan aktivitas dengan jumlah mobil 4 (empat) buah, keluar atau pulang bersamaan pada jam 06.00 atau 17.00 WIB, sudah pasti akan menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Yang satu akan berangkat kerja, yang satu diantar pembantu ke sekolah, yang satu mengantar nyonya ke pasar modern, dan yang satu untuk kuliah.

4.            Konsentrasi Tujuan Berkendara yang tidak merata.

Rata-rata kemacetan yang terjadi di Ibukota karena alasan berangkat ke kantor atau berwisata, sedangkan kedua adalah ke sekolah. Terkait masalah pekerjaan kantor atau wisata, lokasi perkantoran yang ada    di Jakarta terpusat pada daerah tertentu dan tidak merata, sehingga kemacetan di daerah tersebut sudah pasti akan terkumpul dan terkonsentrasi untuk jangka waktu yang cukup lama, misalnya situasi sore hari pada jam pulang kerja di daerah Thamrin dengan di daerah Kembangan Jakarta Barat, berbeda 180 derajat karena pusat perkantoran banyak dibangun di daerah tersebut.

Selain itu pembangunan pusat wisata terutama wisata belanja dan kuliner juga ikut menimbulkan kemacetan baru, misalnya kawasan elit kemang atau pejaten sebagai pusat nongkrong anak muda katanya, akan menimbulkan kemacetan pada hari-hari weekend.

5.            Kesadaran dan Ketertiban Pengendara, serta peran Polantas.

Inilah yang menjadi penyebab utama kemacetan yang terjadi di Jakarta pada akhir-akhir ini. Kesadaran dan ketertiban dalam berkendara semakin menurun, masing-masing pengendara ingin cepat sampai dan mengabaikan kedisplinan terutama dalam antrian, akibatnya pada titik tertentu di perempatan atau pertigaan, terjadilah simpul kemacetan dengan kendaraan yang saling berdesakan dan tidak ada yang mengalah serta mengabaikan aturan atau pengatur lalu lintas.

Namun simpul kemacetan tersebut sebenarnya bisa diminimalisir apabila petugas dalam hal ini Polantas sigap dalam mengantisipasi. Percuma mereka mempunyai Traffic Management Center (TMC) yang hanya bisa mengabarkan informasi lalu lintas tanpa didukung kehadiran langsung dari Polantas di titik kemacetan tersebut. Sering pada saat tertentu kehadiran Polantas tidak ditemui pada jam-jam sibuk, kalaupun ada banyak oknum Polantas yang bahkan memanfaatkan situasi tersebut untuk menilang tanpa sebab yang jelas.

6.            Program Pemerintah yang kurang efektif.

Peran pemerintah c.q Pemda DKI dalam mengatasi kemacetan, sebenarnya sudah cukup banyak, namun sayang karena kurangnya pengkajian yang mendalam mengenai AMDAL dan lain-lain, solusi yang dibuat pemerintah melalui program-program kurang berhasil bahkan bisa dikatakan gagal.

Contoh :
v    Monorel, yang dikarenakan alasan klasik (baca : DANA) program tersebut terhenti dan kini tiang-tiangnya lebih cocok sebagai museum yang menceritakan sejarah gagalnya pemerintah dalam mengatasi kemacetan.
v    Busway, program yang digadang-gadang bakal sukses di masyarakat, namun kenyataannya malah membuat kemacetan, kecelakaan, dan kebakaran bagi bus itu sendiri, yang mungkin disebabkan tender yang tidak sesuai spesifikasi bus yang seperti ada di Kolombia (negara studi banding DPR-RI soal transportasi).
v    Pembangunan flyover atau underpass yang kurang dikaji dan ditelaah efek, manfaat, dan waktu penyelesaian, seperti pembangunan flyover kuningan-kampung melayu yang pengerjaannya terkesan molor dan menunggu anggaran, sehingga lambat dan kotor dalam pengerjaannya dan malah semakin menimbulkan kemacetan parah.

***** To Be Continue… *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar