LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
TENTANG SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK
.
Uray
Mohammad Fachriansyah (Staf Divisi Hukum Polri)
A.
PENDAHULUAN
Senjata api dan bahan
peledak merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat tertentu yang terus-menerus mengalami
berkembangan dari segi
kualitas maupun kuantitas mulai dari ribuan tahun yang lampau sampai saat ini,
baik dari cara pembuatan maupun peruntukannya. Senjata api dan bahan peledak
menjadi salah satu komoditis
perdagangan yang harganya relatif sangat tinggi, yang telah diperdagangkan baik
dalam negeri maupun antara satu dan/atau beberapa negara dalam jumlah yang sangat besar. Tujuan
perdagangan tersebut untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi
pencapaian kesejahteraan masyarakat pada suatu negara.
Kegunaan senjata api dan bahan
peledak dalam kehidupan
manusia saat ini sudah
sedemikian luas, senjata api dan bahan
peledak juga menjadi salah satu alat/instrumen utama dalam pembangunan
pertahanan melalui penyediaan kelengkapan sarana persenjataan bagi angkatan bersenjata/militer suatu
negara, demikian juga
senjata api ukuran kaliber tertentu telah dijadikan sebagai sarana untuk
mendukung tugas-tugas aparat keamanan dalam melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas) sesuai dengan lingkup tugas dan wewenang aparat keamanan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun disisi lain, senjata api dan bahan peledak dapat
dijadikan sebagai instrumen yang sangat berbahaya apabila
disalahgunakan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bahkan dapat memusnahkan suatu
kelompok umat manusia. Saat
ini banyak senjata dan bahan peledak yang beredar secara illegal yang dijadikan sebagai sarana untuk
melakukan kejahatan kekerasan, pelanggaran HAM dan terorisme.
Berbagai peraturan yang
ada dan dipergunakan selama ini merupakan produk yang dibuat puluhan tahun yang
lalu bahkan masih dibuat dalam era pemerintahan kolonial Belanda, dengan
sendirinya sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai filsafat/pandangan hidup bangsa
Indonesia.
Secara substansial peraturan
yang ada tidak dapat
mengakomodir berbagai perkembangan kemajuan zaman dan fenomena sosial yang
timbul sebagai akibat kemajuan tekonologi, seperti gerakan-gerakan
radikalisme islam yang menimbulkan terorisme yang menggunakan senjata api dan
bahan peledak, beberapa bentuk dan jenis senjata api dan bahan peledak yang
berkembang pesat, apabila menggunakan ketentuan peraturan lama, tidak dapat
diklasifikasi sebagai senjata api dan bahan peledak, padahal memiliki sifat dan
efek yang lebih mematikan seperti pen gun,
bom molotov, bom biologis, bom rakitan
dan lain sebagainya.
Penyelesaian kasus
terkait dengan senjata api dan bahan peledak
belum terselesaikan secara memuaskan, karena tidak jelas lembaga
pemangku wewenang (stakeholder) yang
mengurusi masalah senjata dan bahan peledak.
Dengan kata lain apabila timbul masalah maka pihak-pihak yang terkait sering
saling lempar tanggung jawab, padahal prinsip dalam hukum administrasi
tugas-tugas harus habis dibagi oleh pemangku-pemangku yang berwenang. Demikian
juga pengaturan mengenai sanksi pidana maupun administratif bagi mereka yang
melakukan pelanggaran dalam penggunaan senjata api dan/atau bahan peledak kurang kuat/ kurang jelas, bahkan sering
tidak dapat dijangkau oleh hukum.
Berdasarkan latar
belakang tersebut, bentuk pertemuan ilmiah yang paling cepat, tepat dan akurat dilakukan untuk memperoleh masukan dalam rangka
pembentukan peraturan
perundang-undangan tentang senjata api dan bahan peledak yang ideal, adalah melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD), dengan menghadirkan narasumber dan
peserta yang memiliki disiplin ilmu, pengetahuan, dan keterkaitan dengan
permasalahan senjata api dan bahan peledak.
C.
MAKSUD DAN TUJUAN
1.
Maksud kegiatan FGD
ini:
a.
terinventarisir pandangan, pendapat, dan sumbangan
pemikiran konstruksi/substansi yang ideal dalam perumusan RUU Senjata Api dan
Bahan Peledak; dan
b.
dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunan RUU
Senjata Api dan Bahan Peledak segera terwujud, sampai dengan disahkan menjadi
undang-undang.
2.
Tujuan
FGD ini adalah
terjaring
dan terakomodirnya berbagai permasalahan dalam pengawasan, peredaran, dan
penggunaan senjata api dan bahan peledak, untuk dirumuskan dalam rancangan
undang-undang.
D.
PELAKSANAAN
1.
Tema:
Tema FGD
ini adalah ”KONSEPSI RUU SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK YANG IDEAL DALAM UPAYA
MENATA PEREDARAN, PENGGUNAAN, PENYALAHGUNAAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK GUNA
MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI”.
2.
Waktu dan Tempat:
a.
Hari/Tanggal :
Selasa, 9 Agustus 2011;
b.
Waktu :
Pukul 09.00 s.d. 17.45 WIB;
c.
Tempat :
Park Hotel, Jalan Mayjen D.I. Pandjaitan
Cawang - Jakarta Timur.
3.
Narasumber:
a.
Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H. (Anggota Komisi III
DPR-RI), dengan topik bahasan ”Pembangunan Politik Hukum Dalam Rangka
Menanggulangi Peredaran Senjata Api dan Bahan Peledak Ilegal”;
b.
Bambang Jaka Setiawan (Kasubdit Barang Kimia, Tambang,
dan Limbah) yang mewakili Direktur Impor Kementerian Perdagangan, dengan topik
bahasan ”Peningkatan Kerja Sama Stakeholder
Dalam Rangka Pengawasan, Pemasukan, Peredaran Bahan Peledak”;
c.
Komjen Pol Drs. Pratiknyo (Kabaintelkam Polri) yang
diwakilkan oleh Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP (Kabidyanmas Baintelkam
Polri), dengan topik bahasan ”Peran Pemerintah Dalam Menata Peredaran dan
Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak Guna Mewujudkan Keamanan Dalam
Negeri”.
4.
Moderator:
Kombes
Pol Drs. Syahri Gunawan, M.H. (Analis Utama Divkum Polri).
5.
Peserta:
a.
Mabes Polri
Perwakilan dari Satker Baintelkam Polri, Bareskrim Polri, Srena Polri,
Divpropam Polri, Divhumas Polri, Divkum Polri, dan Densus 88 AT Polri.
b.
Polda:
1)
Dirintelkam dan Kabidkum Polda Metro Jaya, Polda Jawa
Barat, dan Polda Banten;
2)
Kasatintelkam dan Kasubbagkum Polres jajaran Polda Metro
Jaya, meliputi Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat,
Jakarta Timur, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Depok, Kota Bekasi,
Kabupaten Bekasi, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tj.Priok, dan Kepulauan
Seribu.
c.
Perwakilan Kementerian/Lembaga/Badan:
1)
Kementerian Hukum dan HAM;
2)
Kementerian Perdagangan;
3)
Kementerian Perindustrian;
4)
Badan Intelijen Negara;
5)
Komnas HAM;
6)
PT. Pindad; dan
7)
PB. Perbakin.
E.
AGENDA KEGIATAN
1.
Sambutan Pembukaan FGD yang disampaikan oleh Kadivkum Polri
Irjen Pol. Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M., dengan inti sebagai berikut:
a.
kegiatan
FGD dimaksudkan untuk mengidentifikasi substansi RUU tentang Senjata Api dan
Bahan Peledak secara keseluruhan, sehingga diperoleh konsepsi yang ideal dan
implementatif;
b.
izin
dan pengawasan produksi, peredaran, dan penggunaan Senjata Api dan Bahan
Peledak perlu dilakukan secara ketat oleh instansi yang diberikan kewenangan,
mengingat penyalahgunaan Senjata Api dan Bahan Peledak akan sangat membahayakan
keamanan dan keselamatan lingkungan;
c.
perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan
produksi, kualitas, bentuk, jenis, dan peruntukan Senjata Api dan Bahan
Peledak, namun perundang-undangan yang mengatur masalah Senjata Api dan Bahan
Peledak masih menggunakan produk zaman kolonial dan kurang menjangkau
permasalahan yang ada saat ini sehingga banyak terdapat kesulitan pada aparat
penegak hukum dalam melakukan tugas di bidang pengawasan;
d.
dengan
diadakannya FGD ini, diharapkan para narasumber dan para peserta dapat
memberikan konstruksi hukum secara positif dalam penyusunan RUU Senjata Api dan
Bahan Peledak yang ideal, yang mencakup pengaturan di bidang pengawasan
produksi, pemasukan, pengeluaran, pembelian, peredaran, distribusi, dan
penggunaannya.
2.
Paparan
dari para Narasumber yang dipandu oleh Moderator Kombes Pol Drs. Syahri
Gunawan, M.H. (Analis Utama Divkum Polri), sebagai berikut:
a.
Penyampaian topik bahasan ”Pembangunan Politik Hukum
Dalam Rangka Menanggulangi Peredaran Senjata Api dan Bahan Peledak Ilegal” oleh Prof. Dr. Gayus Lumbuun,
S.H., M.H. (Anggota Komisi III DPR-RI), dengan inti sebagai berikut:
1)
pembangunan
politik
hukum untuk menanggulangi peredaran senjata api dan bahan
peledak ilegal dapat
diartikan dalam dual aspek, yaitu soal bentuk dan jenis peraturannya yang dapat
disebut pula sebagai aspek formal dan kedua adalah aspek materi muatannya. Kedua aspek itu penting, karena
senyatanya undang-undang tentang senjata api yang ada sekarang sudah berusia
lebih dari lima puluh tahun, sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan hukum
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan;
2)
semakin terciptanya peraturan perundang-undangan yang
adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif dalam pembuatan, peredararan atau
perdagangan serta penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak serta mencerminkan
aspirasi masayarakat dan kebutuhan pembangunan pembuatan, peredaran serta
penggunaannya, semakin terjaminnya konsistensi/ sinkronisasi pada tingkat pusat dan daerah mengenai Senjata
Api dan Bahan Peledak ini;
3)
pembentukan undang-undang mengacu kepada prioritas RUU
yang telah dituangkan dalam daftar program legislasi nasional, dan Rancangan Undang-Undang
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak sudah terdaftar dalam prioritas Prolegnas
2010-2014
dengan daftar prioritas nomor 62;
4)
hal penting yang perlu diperhatikan dalam rangka
pembentukan Undang-Undang tentang Senjata Api dan Bahan Peledak ini adalah
menyusun Naskah Akademik yang merupakan hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut;
5)
pembentukan
Undang-Undang tentang Senjata Api dan Bahan Peledak harus didasarkan pada 3 (tiga) alasan atau
landasan, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Ketiga landasan tersebut
akan tercermin dalam rumusan ketentuan menimbang;
6)
melihat perkembangan hukum pada saat ini dan akan datang, maka RUU
Senjata Api dan Bahan Peledak diharapkan tidak hanya mengatur aspek pidana
tetapi juga menyangkut hukum administrasi. Sedangkan ruang lingkup pengaturan
meliputi rumusan-rumusan pengertian senjata api dan bahan peledak, produksi,
impor, penggunaan atau pemanfaatan, pengawasan, tanggungjawab dari para pihak,
dan ketentuan pidana.
b.
Penyampaian topik bahasan “Peningkatan
Kerja Sama Stakeholder Dalam Rangka
Pengawasan, Pemasukan, Peredaran Bahan Peledak” oleh Bambang
Jaka Setiawan (Kasubdit Barang Kimia, Tambang, dan Limbah), dengan inti sebagai berikut:
1)
Bahan
Peledak terdiri dari bahan peledak untuk kepentingan militer dan bahan peledak
untuk kepentingan industri (komersial) yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan
dengan memperhatikan pertimbangan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
perindustrian, perdagangan dan kesehatan;
2)
badan
usaha yang melakukan kegiatan ekspor dan impor bahan peledak dan komponennya,
maka izin diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan
setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Pertahanan;
3)
Menteri
Pertahanan dalam melakukan pengawasan terhadap produksi, pengadaan,
penyimpanan, dan pendistribusian bahan peledak, berkoordinasi dengan Mabes TNI,
Mabes Polri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan
dan Kementerian Keuangan;
4)
Kementerian
Pertahanan berwenang mengabulkan atau menolak permohonan izin sebagai badan
usaha peledak komersial, mengabulkan atau menolak permohonan kuota bahan
peledak komersial beserta asesorisnya, dan mengabulkan atau menolak permohonan
rekomendasi sebagai Importir Terdaftar (IT) bahan peledak komersial;
5)
Mabes
TNI (dilaksanakan oleh BAIS TNI), berwenang memberikan rekomendasi kepada badan
usaha bahan peledak untuk melakukan impor/ekspor bahan peledak komersial, dan melakukan
monitoring tempat keluar masuknya dan penggunaan bahan peledak komersial bersama dengan Polri;
6)
Mabes
Polri (dilaksanakan oleh Baintelkam Polri), berwenang memberikan rekomendasi
izin ekspor dan impor, danmemberikan izin pergudangan, pemilikan, penguasaan
dan penyimpanan;
7)
Kementerian
Perdagangan, berwenang mengabulkan atau menolak permohonan sebagai Importir
Terdaftar bahan peledak komersial, dan memberikan persetujuan impor/ekspor
bahan peledak dan asesorisnya.
c.
Penyampaian topik bahasan “Peran
Pemerintah Dalam Menata Peredaran dan Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak
Guna Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri” oleh Kabaintelkam Polri Komjen Pol
Drs. Pratiknyo, yang diwakili oleh Kabidyanmas kombes Pol Kustoni Sumardi,
S.IP., dengan inti sebagai berikut:
1)
kemajuan
teknologi dalam bidang senjata api dan bahan peledak sangat strategis dan
bermanfaat dalam mendukung pertahanan keamanan serta
pembangunan nasional, disisi lain senjata api dan bahan peledak dapat menjadi
ancaman di setiap negara dengan adanya
peredaran senjata api ilegal lintas negara;
2)
perkembangan saat ini dalam budaya masyarakat di
Indonesia bahkan di negara-negara tertentu terhadap keberadaan Senjata Api dan
Bahan Peledak bukan hal yang asing mengingat sejak dahulu masyarakat sudah
memiliki kemampuan dalam merakit senjata api dan mengembangkan bahan-bahan
tertentu menjadi bahan peledak yang berbahaya;
3)
berbagai
macam peraturan perundang-undangan dari produk peninggalan kolonial tentang
senjata api dan bahan peledak, sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan
demokrasi saat ini, dan perlu dilakukan penyempurnaan atau kodifikasi peraturan
perundang-undangan terkait senjata api dan bahan yang termasuk dalam Program
Legislasi Nasional;
4)
Polri memberikan izin dan melakukan pengawasan terhadap senjata api dan
bahan peledak sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15
ayat (2) huruf e, yang dikoordinasikan dengan instansi terkait sesuai tataran
kewenangan masing-masing dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan impor,
produksi, pengangkutan, penyimpanan, penggudangan, penggunaan sampai dengan
pemusnahan senjata api dan bahan peledak serta melakukan pengamanan,
pengawasan/pengendalian terhadap para importir/ badan usaha bahan peledak dan pengguna akhir;
5)
untuk pengaturan terhadap senjata api non organik
TNI/Polri sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 ayat (2) huruf e bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan lainnya berwenang
memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata
tajam;
6)
penggunaan bahan peledak yang ditemukan dalam
kasus-kasus terror bom bukan dari bahan peledak komersial tetapi merupakan
rakitan dari bahan-bahan kimia yang peredarannya belum diatur secara ketat
seperti penggunaan potasium klorat dan kalium nitrat yang dapat
diperjualbelikan dengan bebas;
7)
kasus
kekerasan dengan menggunakan senjata api dan bahan peledak yang mendapat
sorotan masyarakat dan mengganggu keamanan dan ketertiban dalam negeri, antara
lain perampokan Bank CIMB di Medan, aksi peledakan bom/ bom bunuh diri Bali 1
dan 2, JW Marriot, Kedutaan Australia dan terakhir kasus bom bunuh diri di
Mapolres Cirebon, serta ancaman teror bom baik melalui telepon maupun pengiriman
paket/benda menyerupai bom/bom buku yang diletakkan di tempat tertentu yang
menjadi perhatian masyarakat;
8)
pelaksanaan pengamanan, pengawasan/pengendalian
bahan peledak komersial yang dilakukan oleh Polri telah dilakukan secara
maksimal mulai tingkat Polsek sampai dengan Mabes Polri dan untuk senjata api
non organik TNI/Polri peruntukan bela diri dalam rangka keamanan dan ketertiban
masyarakat diambil kebijakan penertiban dan tidak menerbitkan kepemilikan baru;
9)
untuk mencegah
terjadi penyalahgunaan
senjata api dan bahan peledak perlu ditingkatkan kerjasama antar
pemangku
kepentingan (Stakeholder) dalam
pengamanan, pengawasan/pengendalian senjata api dan bahan peledak serta
pelibatan peran masyarakat dan melakukan sosialisasi terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) senjata api
dan bahan peledak.
3.
Sesi penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada
pra narasumber:
a.
AKBP Kasmen, M.E. (Kasubbidsendak Baintelkam Polri):
1)
kepada Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dalam perumusan
RUU, disebutkan harus fokus kepada arah pemikiran dan ruang lingkup yang
disusun. Tim Pokja sudah berusaha merumuskan semaksimal mungkin, namun
bagaimana menurut pandangan dari aspek pembangunan politik hukum nasional, dan
apakah RUU ini harus mengatur pembatasan pemilikan atau memperbolehkan
pemilikan mengingat kondisi masyarakat Indonesia semakin demokratis dan
sensitif terhadap pembatasan hak;
2)
kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan),
apakah pengawasan yang dilakukan hanya kepada bahan peledak, bahan baku pembuat
bahan peledak, atau bahan yang bukan peledak namun mengandung unsur bahan
peledak, dan mengenai airsoft gun apakah
perizinannya bisa dipersamakan dengan senjata api mengingat tingkat kerawanan
dan bahaya yang ditimbulkan menyerupai senjata api;
b.
Kombes Pol Parimin Warsito, S.H. (Kabidkum Polda Jawa
Barat):
1)
kepada Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dalam
beberapa pembahasan RUU sering terjadi perdebatan dan tarik ulur kepentingan
yang menyangkut kewenangan beberapa instansi, bagaimana pandangan dari DPR-RI
untuk menyikapi hal tersebut dan apabila
ada instansi yang harus berkurang kewenangannya karena dialihkan kepada
instansi lain;
2)
kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan),
apakah pemberian izin impor bahan peledak sudah melalui analisis dan evaluasi
kebutuhan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan peruntukkan terutama bagi
kalangan industri;
3)
kepada Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP., kelemahan Polri
dalam pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak terkait distribusi dan
pengawalan, karena di daerah sering bahan peledak diamankan kepolisian akibat
tertangkap razia, padahal surat-suratnya lengkap namun pihak kepolisian tidak
diberikan tembusan mengenai distribusi bahan peledak tersebut;
c.
AKBP Teddy E., S.IK. (Ditintelkam Polda Jawa Barat):
menurut
Prof Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., apakah saat ini kepolisian masih pantas
membidangi pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak, mengingat saat ini media
dan masyarakat banyak menyorot lemahnya pengawasan kepolisian dalam mengatasi
maraknya kejahatan menggunakan Senjata Api dan Bahan Peledak;
d.
AKBP Suparnomo (Puslabfor Bareskrim Polri):
kepada
Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan), apabila dalam distribusi bahan
peledak dari pelabuhan sampai di tempat tujuan, namun di jalan tol atau jalan
umum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ledakan dan korban jiwa masyarakat
dan lingkungan, instansi mana yang harus bertanggungjawab dan menangani
permasalah tersebut;
e.
AKBP Yanuar Prayoga (Analis Ditintelkam Polda Jawa
Barat):
bagaimana
rumusan perkembangan teknologi dalam mempengaruhi bentuk senjata api, bisa
dimasukkan dalam RUU ini, dan mengenai pengawasan bahan peledak apakah yang
akan diatur dalam RUU ini terbatas pada bahan peledak yang sudah jadi;
f.
AKBP Ir. Abdurrahman (Kaden KBR Sat I Gegana Korbrimob
Polri):
1)
penyalahgunaan bahan peledak yang saat ini marak terjadi,
setelah dilakukan penelitian justru bukan berasal dari bahan peledak jadi,
melainkan dari bahan-bahan baku yang mengandung bahan peledak dan pada masa
orde baru, bahan peledak jenis dinamit dan TNT malah sangat jarang
disalahgunakan;
2)
kasus peledakan dan teror bom oleh teroris justru dengan
menggunakan bom molotov dan petasan, karena sepanjang pulau jawa banyak home industri pembuatan petasan yang
justru menjadi ajang teroris untuk belajar merakit bahan peledak, sebagai
contoh gula pasir jika dicampur dengan klorat akan menghasilkan daya ledak.
Disarankan kepada Kementerian Perdagangan, sebaiknya apapun bentuknya petasan
harus dilarang dan kalau perlu dimusnahkan;
g.
Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H. (Kabagsunkum
Divkum Polri:
1)
kepada Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H.:
a)
pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak meliputi
kepentingan militer, pembangunan, olah raga, dan bela diri, namun pada saat
dilakukan harmonisasi dengan instansi terkait banyak terjadi perdebatan karena
kekhawatiran pengurangan kewenangan, sehingga timbul wacana dari Mabes TNI
untuk membuat rancangan undang-undang tersendiri yang mengatur Senjata Api dan Bahan
Peledak untuk kepentingan militer. Bagaimana pandangan dari aspek politik hukum
nasional apabila permasalahan yang sama diatur dalam dua undang-undang, dan
batasan apa yang harus diatur dan dikembangkan;
b)
dalam RUU ini, ada wacana untuk memasukkan airsoft gun dan benda-benda lain yang
mekanisme kerjanya mirip dengan senjata api, yang disebut benda yang menyerupai
senjata api. Apakah hal tersebut dimungkinkan untuk diatur sedangkan judul RUU
ini adalah tentang Senjata Api dan Bahan Peledak;
2)
kepada Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Pedagangan):
a)
penyalahgunaan banyak terdapat pada unsur pengawasan dan
perizinan, misalkan importir memasukkan sejumlah bahan peledak melebih jumlah
yang dipesan, bagaimana pengurusan sisa bahan tersebut mengingat barang tersebut
merupakan bahan berbahaya;
b)
saat ini kita ketahui kewenangan masalah Senjata Api dan
Bahan Peledak terbagi-bagi pada beberapa instansi, sehingga banyak tumpang
tindih dalam penerbitan rekomendasi dan menyulitkan masyarakat, sehingga belum jelas
siapa yang berwenang dalam masalah pengawasan dan perizinan senjata api dan
bahan peledak;
h.
Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP. (Kabidyanmas Baintelkam
Polri):
saat ini
terdapat 10 (sepuluh) peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
Senjata Api dan Bahan Peledak dan sebagian merupakan peninggalan kolonial,
apakah peraturan perundang-undangan tersebut dapat dijadikan satu dalam RUU
ini, karena berdasarkan surat dari DPR-RI, kewenangan membuat RUU Senjata Api
dan Bahan Peledak diberikan kepada Polri;
4.
Sesi penyampaian jawaban dari para narasumber atas
pertanyaan dari para peserta FGD:
a.
Prof. Dr. Gayus Lumbuun, S.H., M.H.:
1)
dalam pembahasan RUU di DPR-RI ada sesi perumusan
permasalahan yang melibatkan tim perumus (DPR-RI dan pemerintah) menyangkut hal-hal
apa saja yang akan diatur dan dibatasi dalam suatu RUU, dan khusus untuk RUU
Senjata Api dan Bahan Peledak, ruang lingkup pengaturannya meliputi teknologi
pembuatan, bahan baku atau alat yang dapat mengubah menjadi Senjata Api dan
Bahan Peledak, faktor pemilikan ditinjau dari kultural masyarakat, dan
perizinan;
2)
perdebatan yang sering terjadi dalam pembahasan RUU, adalah
lumrah mengingat masing-masing instansi pemangku kepentingan tidak ingin
kewenangannya berkurang, dan pro-kontra dari masyarakat pasti akan timbul
apabila Polri menyita Senjata Api milik mereka, karena penyitaan di luar
perintah pengadilan adalah melawan hukum dan bisa dituntut;
3)
dalam hal pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak, tetap
Polri harus yang dikedepankan, karena Polri adalah instansi terdepan yang
mengetahui kejadian-kejadian di masyarakat yang paling dekat dan menjangkau
masyarakat, terutama dengan pemberdayaan Perpolisian Masyarakat (Polmas);
4)
pada dasarnya rancangan undang-undang bisa dibuat atas
inisiatif pemerintah atau masyarakat yang diwakili DPR, dan apabila suatu
pengaturan diatur dalam dua rancangan undang-undang, maka yang akan menentukan
adalah Amanat Presiden (Ampres);
5)
perkembangan teknologi perlu untuk diatur dalam RUU ini
mengingat perkembangan dan jangkauan hukum sering tertinggal dari teknologi,
namun tetap harus dilihat asas manfaat, kepastian, dan keadilan bagi masyarakat
yang akan menggunakan;
6)
apabila bersifat lex
generalis maka RUU ini sifatnya menyatukan peraturan perundang-undangan
yang sudah ada, dan apabila bersifat lex
spesialis maka RUU ini sifatnya lebih sempit dan hanya menambah materi yang
belum ada atau mengisi kekosongan hukum.
b.
Bambang Jaka Setiawan (Kementerian Perdagangan):
1)
ruang lingkup pengaturan regulasi bahan peledak pada Kementerian
Perdagangan meliputi bahan peledak dan bahan lain yang mempunyai senyawa yang
mengandung bahan peledak, dan bahan lain yang apabila di mixed dengan bahan lain bisa menjadi bahan peledak. Sedangkan untuk
regulasi mengatur dari penyaluran/distribusi sampai dengan penggunaan oleh
pengguna akhir, dan pedagang/importir yang tidak terdaftar sebagai produsen
tidak diberikan izin untuk memasukkan barang berbahaya tersebut;
2)
jika dilihat secara fisik, airsoft gun memang menyerupai senjata api dan selama ini izin
senjata api ada pada Mabes Polri, akan tetapi pada implementasinya, banyak
oknum-oknum yang memanfaatkan kelemahan pengawasan dengan menyelundupkan airsoft gun, dengan kedok mainan
anak-anak sehingga perizinannya tidak melalui Polri tetapi melalui Kementerian
Perdagangan;
3)
perizinan untuk bahan peledak komersil, penerbitan izin
sebagai badan usaha atau menetapkan importir bahan baku peledak, tidak semata
dianalisis persyaratan administrasinya tetapi juga melibatkan perwakilan dari
Kementerian Pertahanan. Sedangkan untuk izin pendistribusian barang berbahaya,
harus ada rekomendasi dari Kementerian Pertahanan, Mabes Polri, dan juga TNI,
dan untuk evaluasi penggunaan bahan peledak dilakukan bersama dengan Ditjen
Potensi Pertahanan berdasarkan laporan evaluasi penggunaan bahan baku dan
distribusi dari para importir;
4)
untuk pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pada
saat pengangkutan bahan peledak, tidak bisa menyalahkan satu instansi saja
tetapi semua instansi dari hulu sampai ke hilir punya tanggung jawab
masing-masing, misalnya Kementerian Perdagangan untuk izin pemasukan,
Kementerian Pertahanan untuk izin penetapan bahan peledak, dan Polri untuk izin
pengangkutan;
5)
share Kementerian Perdagangan terkait
perizinan impor bahan peledak, termasuk dalam pengawasan bahan peledak sangat
kecil, sedangkan untuk beberapa perizinan seperti mekanisme izin beberapa
bidang usaha, izin mengangkut sampai persetujuan impor, selain diketahui oleh
Kementerian Perdagangan, share
kewenangan terbesar justru berada pada Kementerian Pertahanan dan Polri.
c.
Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP. (Kabidyanmas Baintelkam
Polri):
terkait
miskomunikasi dalam pengangkutan barang berbahaya, sebenarnya importir wajib
melaporkan kepada Polda dan Mabes Polri apabila akan membawa barang berbahaya
ke suatu tempat, yang nantinya akan dikeluarkan pemberitahuan kepada jajaran
yang akan dilewati jalur pengangkutan tersebut sekaligus mendapatkan pengawalan
dari kepolisian, kesemuanya itu sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun
2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, dan Pengamanan Bahan Peledak
Komersial;
5.
Diskusi kelompok, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok
untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan konstruktif terhadap materi/substansi Rancangan Undang-Undang
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, sebagai berikut:
a.
Kelompok I, diketuai oleh AKBP Teddy E, S.IK.
(Wadirintelkam Polda Jawa Barat);
b.
Kelompok II, diketuai oleh AKBP Yanuar Prayoga, S.H.,
(Analis Ditintelkam Polda Jawa Barat); dan
c.
Kelompok III, diketuai oleh Kombes Pol Parimin Warsito,
S.H. (Kabidkum Polda Jawa Barat);
6.
Penyampaian hasil diskusi masing-masing kelompok diskusi,
sebagai berikut:
a.
Kelompok I:
1)
penggunaan kalimat ”non standar militer” pada judul RUU
tidak tepat dan disarankan untuk menggunakan kalimat ”non standar TNI/Polri”;
2)
pengaturan semua jenis senjata api dan bahan peledak
dalam RUU ini dirasa tidak tepat dan mengarah kepada kepentingan pertahanan dan
keamanan negara sehingga disarankan RUU ini cukup dibatasi pada lingkup senjata
api dan bahan peledak non standar TNI dan Polri;
3)
perlu diatur mengenai jenis senjata airsoft gun atau paint ball,
yang dimasukkan ke dalam klasifikasi senjata api untuk kepentingan olah raga;
4)
pembatasan profesi yang boleh memiliki senjata api untuk
kepentingan bela diri, sebaiknya dihapus dan setiap warga negara boleh memiliki
senjata api untuk kepentingan bela diri namun dengan persyaratan tertentu
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
Kelompok II:
1)
perlunya dimasukkan pengaturan mengenai senjata tajam
karena dalam Undang-Undang Darurat Tahun 1950 dan Pasal 15 ayat (2) huruf e,
menyebutkan satu kesatuan pengaturan mengenai senjata api, bahan peledak, dan
senjata tajam;
2)
pengaturan dalam RUU ini cukup mengenai senjata api dan
bahan peledak non organik TNI/Polri, sedangkan untuk senjata api dan bahan
peledak TNI/Polri bisa didelegasikan dalam bentuk peraturan pemerintah
3)
pencantuman jenis kaliber perlu pengkajian lebih lanjut
karena ada beberapa jenis kaliber yang tercantum dalam RUU ini, merupakan
kaliber yang digunakan pada senjata api standar TNI/Polri;
4)
perlu ditambahkan bab baru mengenai senjata tajam yang
materinya dirumuskan dengan hati-hati mengingat senjata tajam erat kaitannya
dengan seni dan kultur masyarakat.
c.
Kelompok III:
1)
perlu dimasukkan dalam ketentuan umum, definisi Menteri
Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia, mengingat RUU ini tidak hanya
mengatur kewenangan Polri;
2)
penggunaan kalimat ”non standar militer” diganti dengan
”non organik”;
3)
jenis dan kaliber
senjata api dan benda yang menyerupai senjata api, untuk kepentingan Polsus,
Satpam, olah raga, dan bela diri, tidak perlu dijabarkan dalam RUU namun cukup
diatur dalam Peraturan Kapolri;
4)
persyaratan warga negara Indonesia yang boleh memiliki
senjata api untuk kepentingan bela diri ditambah dengan ”warga negara Indonesia
yang dinyatakan telah memenuhi syarat yang diatur dalam Peraturan Kapolri”.
7.
Sambutan Penutupan FGD dari Kadivkum Polri, yang
disampaikan oleh Karosunluhkum Divkum Polri, Brigjen Pol Dr. R.M. Panggabean,
S.H., M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)
melalui FGD ini diharapkan Polri dapat memberikan
kontribusi dalam penyusunan dan perumusan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak
sebagai bahan masukan untuk pembahasan lebih lanjut dengan substansi yang lebih
konkrit serta dapat diimplementasikan pada bidang perizinan, pengawasan
produksi, penggunaan, dan peredaran Senjata Api dan Bahan Peledak, guna
terwujudnya penegakan hukum di Indonesia;
2)
hasil FGD akan dijadikan bahan kajian Polri untuk disampaikan
kepada tim penyusun RUU Senjata Api dan Bahan Peledak, dalam bentuk saran dan
tanggapan terhadap substansi/materi muatan secara keseluruhan disesuaikan
dengan kebijakan atau policy di
bidang perizinan dan pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak;
3)
beberapa poin penekanan dalam pelaksanaan FGD ini yaitu
perumusan naskah akademik sebagai prosedur penyusunan RUU, pengaturan yang
efektif dan efisien terhadap lembaga-lembaga yang terkait dengan pengaturan
masalah Senjata Api dan Bahan Peledak, dan penyesuaian antara instrumen hukum
yang akan dibuat dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
4)
ide, konsep, dan semangat dalam mewujudkan RUU Senjata
Api dan Bahan Peledak perlu didukung oleh Polri sebagai alat negara pemelihara
keamanan dalam negeri, mengingat peraturan mengenai Senjata Api dan Bahan
Peledak yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.
F.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan:
a.
Senjata
Api dan Bahan Peledak merupakan elemen yang terus berkembang seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang disatu sisi berdampak sangat
strategsi dalam mendukung sektor pertahanan dan keamanan serta industri, namun
disisi lain perkembangan kedua elemen tersebut memicu munculnya berbagai
ancaman dan berbagai bentuk kejahatan baru yang berdampak sangat luas bagi
stabilitas nasional, yang ditandai dengan maraknya penyelundupan dan pemilikan
senjata api ilegal, perampokan atau kekerasan lainnya dengan menggunakan
senjata api, serta perakitan bom ilegal dan aksi peledakan di tempat umum yang
semakin meresahkan masyarakat;
b.
Perundang-undangan yang mengatur mengenai Senjata
Api dan Bahan Peledak, banyak yang merupakan peninggalan kolonial Belanda dan
sebagian hanya mengatur masalah perizinan dan pemasukan, serta tidak sesuai
dengan perkembangan teknologi dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat
ini, sehingga penyalahgunaan terhadap pemanfaatan dan penggunaan Senjata Api
dan Bahan Peledak semakin meningkat yang berimplikasi terganggunya stabilitas keamanan dalam
negeri.
2.
Saran:
a.
dilatarbelakangi
oleh kurang memadai dan ketertinggalan instrumen hukum pengaturan senjata api
dan bahan peledak yang ada saat ini, Polri selaku garda terdepan dalam menjaga
dan memelihara keamanan dalam negeri, perlu mengambil insiatif dan langkah
konstruktif melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang Senjata Api dan Bahan
Peledak yang komprehensif dan bersifat penyempurnaan materi muatan yang sudah
tidak relevan serta memuat materi baru yang saat ini belum ada dan belum
terjangkau oleh perundang-undangan sebelumnya, misalnya pengaturan perkembangan
teknologi persenjataapian, senjata tajam, bahan baku yang bukan peledak namun
apabila dicampur bisa menjadi bahan peledak, airsoft gun, dan benda lain yang menyerupai senjata api;
b.
mengingat Rancangan Undang-Undang Senjata Api dan Bahan
Peledak termasuk Prolegnas Prioritas Tahun 2012, Polri perlu melakukan
penggalangan dukungan baik dari internal Polri maupun dengan stakeholder lain di pemerintahan atau
swasta yang selama ini memiliki kewenangan dan kepentingan terhadap senjata api
dan bahan peledak, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan perizinan
serta meningkatkan pengawasan bersama di berbagai sektor yang rawan penyalahgunaan
dan penyimpangan;
G.
PENUTUP
Demikian laporan pelaksanaan FGD yang mengambil tema ”KONSEPSI RUU SENJATA
API DAN BAHAN PELEDAK YANG IDEAL DALAM UPAYA MENATA PEREDARAN, PENGGUNAAN,
PENYALAHGUNAAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM
NEGERI” disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran
dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.
Mengetahui:
KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD
Ttd.
Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
|
Jakarta, Agustus 2011
KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
WAKIL KETUA PELAKSANA FGD
Ttd.
Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMBES POL NRP. 62030473
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar