LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
TENTANG PENANGANAN
KONFLIK SOSIAL
Uray
Mohammad Fachriansyah (Staf Divisi Hukum)
.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang:
Bangsa
Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan berasal dari berbagai
latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda-beda merupakan satu kesatuan
komponen bangsa yang dapat memberikan peran penting dan kontribusi positif
dalam pelaksanaan pembangunan.
Namun
disisi lain seiring dengan bergulirnya era reformasi demokrasi, keragaman suku,
bangsa, agama, dan ras di Indonesia justru menjadi semakin rentan oleh gesekan
yang diakibatkan berbagai faktor, mulai dari ketidakmerataan pembangunan dan
pendapatan daerah, kesenjangan sosial ekonomi dan lapangan pekerjaan.
Disamping itu, pergeseran masa transisi Indonesia
menuju arah yang perpolitikan nasional yang demokratis dan terbuka tanpa batas,
juga membawa dampak masuknya pengaruh dari pihak luar yang dapat mempengaruhi
cara pandang masyarakat Indonesia dalam menyikapi keterbukaan dan demokratisasi
sehingga dikhawatirkan menggerus nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhineka
Tunggal Ika yang selama ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Kondisi
yang demikian pada akhirnya memunculkan benih-benih konflik sosial di
masyarakat baik skala besar maupun skala kecil dengan efek kerugian dan korban
jiwa yang tidak sedikit, serta membawa dampak psikologis dan ketakutan
masyarakat yang apabila dibiarkan dapat memicu keresahan dan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dalam memberikan perlindungan serta berimplikasi
terhadap stabilitas keamanan dalam negeri.
Penanganan konflik sosial tidak bisa
dilihat dari cara bertindak pada saat terjadi, tetapi harus dilakukan manajemen
konflik yang mencakup pencegahan, penghentian, dan pemulihan konflik sosial, dengan
melibatkan peran serta berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat,
termasuk Polri selaku alat negara pemelihara keamanan dalam negeri, penegak
hukum, dan pelindung, pengayom, serta pelayan masyarakat. Namun disisi lain
penanganan konflik sosial yang dilaksanakan selama ini belum sepenuhnya
menyentuh akar permasalahan yang salah satu penyebabnya yaitu belum adanya
instrumen hukum yang ideal.
Menindaklanjuti kekosongan instrumen
hukum tersebut, pemerintah bersama dengan DPR-RI berinisiatif dan tengah
menyusun rancangan undang-undang tentang penanganan konflik sosial, dengan
materi muatan mencakup pencegahan, penghentian, pemulihan konflik, dan
pembentukan lembaga Komisi Penyelesaian Konflik Sosial (KPKS), serta peran
serta masyarakat.
Polri sebagai bagian dari
penyelenggara pemerintahan, selain melaksanakan tugas pokok memlihara keamanan
dalam negeri, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, juga dituntut peran serta dan proaktif dalam mencegah,
menyelesaikan, dan membantu pemulihan pasca konflik sosial, karena hal tersebut
dapat berimbas pada stabilitas keamanan dalam negeri.
Mendasari
hal tersebut di atas, Divisi Hukum Polri selaku pembina dan penyelenggara
fungsi pengkajian, bantuan dan nasehat hukum, pengembangan hukum, pembinaan
hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di
lingkungan Polri, perlu menyelenggarakan Focus
Group Discussion (FGD) Rancangan
Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.
2.
Maksud dan Tujuan:
a.
maksud
kegiatan FGD ini, untuk mengkaji dan merumuskan masukan-masukan dan
pemikiran yang komprehensif dan konstruktif terkait materi muatan dalam RUU
tersebut, agar dapat diimplementasikan tidak bertentangan dengan tugas dan
fungsi Polri dalam menangani konflik sosial di masyarakat; dan
b.
tujuan FGD ini guna memberikan pengetahuan
para peserta terutama yang berasal dari Polda-Polda yang rawan konflik sosial,
sekaligus membantu merumuskan permasalahan-permasalahan konflik sosial yang
terjadi selama ini terjadi di daerah, namun belum terjangkau dan terakomodir
dalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial.
B.
PELAKSANAAN
1.
Waktu dan Tema:
a.
Hari/Tanggal :
Rabu, 12 Oktober 2011;
b.
Pukul : 08.30
s.d. 17.45 WIB;
c.
Tempat : Hotel
Maharadja, Jalan Kapten Tendean Nomor 1
Jakarta Selatan.
d.
Tema :”PENANGANAN
KONFLIK SOSIAL DALAM MENUNJANG STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI”.
2.
Narasumber dan Moderator:
a.
Kabaharkam
Polri, Komisaris Jenderal Polisi Drs. Imam Sudjarwo, M.Si., dengan pokok
bahasan “Peran Polri Dalam Penanganan Konflik Sosial di Indonesia”;
b.
Prof.
Dr. Tamrin Amal Tomagola, dengan pokok bahasan “Konflik Sosial Ditinjau Dari
Sosiologi dan Perspektif Budaya Indonesia dan Solusi Pencegahannya”;
c.
Dr.
Ihsan Ali Fauzi, M.A., dengan pokok bahasan “RUU Penanganan Konflik Sosial Dihadapkan
Dengan Potensi Konflik Antar Masyarakat, Suku, Etnis, Agama, dan Permasalahan
Sosial Lainnya”; dan
d.
Kombes Pol Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H. (Kabagsunkum
Rosunluhkum Divkum Polri), selaku moderator.
3.
Peserta:
a.
para
Kabidkum dan Dirbinmas perwakilan Polda NAD, Polda Banten, Polda Metro Jaya,
Polda Jawa Barat, Polda Jawa Tengah, Polda D.I.Yogyakarta, Polda Jawa Timur,
Polda Sulawesi Tenggara, Polda Sulawesi Tengah, Polda Sulawesi Selatan, Polda
Nusa Tenggara Barat, Polda Maluku Utara, Polda Maluku, dan Polda Papua;
b.
para
Pamen perwakilan Satker Bareskrim Polri, Baharkam Polri, Baintelkam Polri,
Korbrimob Polri, Divkum Polri, Divpropam Polri, dan Divhumas Polri;
c.
para
Kasatintelkam dan Kasubbagkum Polres jajaran Polda Metro Jaya; dan
d.
perwakilan
dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial,
Badan Intelijen Negara, Dinas Sosial Pemda DKI Jakarta, Satpol PP DKI Jakarta,
KOMNASHAM, KONTRAS, dan Asean Foundation.
4.
Agenda
Kegiatan:
a.
Laporan Ketua Pelaksana FGD, yang disampaikan oleh Kabagsunkum
Rosunluhkum Divkum Polri, Komisaris Besar Polisi Drs. Bambang Sri Herwanto,
M.H.
b.
Sambutan Pembukaan FGD yang disampaikan oleh Kadivkum Polri
Inspektur Jenderal Polisi Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M., dengan inti sebagai
berikut:
1)
FGD yang mengangkat tema penanganan konflik sosial merupakan
wujud konkrit dan sikap proaktif Polri untuk memberikan tanggapan dan masukan
dalam menyatukan persepsi para pemangku kepentingan khususnya aparat penegak
hukum terkait materi/substansi RUU tentang Penanganan Konflik Sosial;
2)
penyusunan RUU ini dilatarbelakangi belum adanya
kebijakan penanganan konflik sosial yang komprehensif dan efektif dalam upaya
mencegah, menangani, dan strategi pasca konflik, sedangkan substansi-substansi
yang selama ini diterapkan masih tersebar dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang bersifat sektoral beberapa instansi;
3)
penyusunan RUU ini juga dilatarbelakangi demografi
penduduk Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 230 juta jiwa, yang disatu sisi
dapat memberikan kontribusi positif dan daya saing di bidang pembangunan, namun
disisi lain dengan latar belakang suku, agama, dan ras yang beragam dapat
menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan yang berdampak pada kemiskinan,
lapangan pekerjaan, dan faktor sosial ekonomi lainya sehingga berpotensi pada
situasi politik dan keamanan yang kurang kondusif;
4)
sistem penanganan konflik yang telah terbangun hanya
mengarah pada penanganan yang bersifat represif dan apabila telah terjadi
konflik, namun belum mengatur tahapan-tahapan penanganan mulai dari perencanaan
sampai dengan pencarian akar permasalahan, dan penanganan yang ada saat ini
masih mengedepankan ego sektoral yang diamanah oleh beberapa peraturan
perundang-undangan sehingga belum terintegrasi secara menyeluruh;
5)
dalam RUU ini akan dibentuk lembaga penanganan konflik
yaitu Komisi Penyelesaian Konflik Sosial (KPKS) yang memiliki putusan bersifat
final dalam menangani konflik yang timbul, namun harus diatur hal-hal yang
bersifat teknis mengenai peran dan fungsi KPKS agar bisa diimplementasikan
tanpa tumpang tindih kewenangan dengan instansi atau lembaga lain; dan
6)
dengan penyelenggaraan FGD ini, diharapkan para peserta
baik dari Polri maupun perwakilan kementerian/lembaga yang terkait dengan
penanganan konflik sosial, dapat memberikan kontribusi positif dan mencermati
penyampaian pemikiran dari para narasumber, sehingga dapat memberikan rumusan
yang konstruktif bagi RUU ini dan dapat memberikan solusi dalam mencegah,
menangani, dan penciptaan kondisi pasca konflik.
c.
penyampaian topik bahasan ” RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
Dihadapkan Dengan Potensi Konflik Antar Masyarakat, Suku, Etnis, Agama, dan
Permasalahan Sosial Lainnya” oleh Dr. Ihsan Ali Fauzi, M.A., dengan
inti sebagai berikut:
1)
komponen
konflik bisa dikelompokkan menjadi 3 (tiga) faktor yang disebut sebagai
segitiga konflik, yaitu situasi yang melatarbelakangi dan bagaimana
terbentuknya, sikap dan persepsi pihak-pihak yang berkonflik terhadap
lawannnya, dan perilaku, strategi, taktik, dan alat yang digunakan dalam
konflik, dengan ketiga komponen tersebut kita bisa mengetahui jenis konflik yang
terjadi dan diambil langkah-langkah yang tepat;
2)
konflik
merupakan salah satu ciri kehidupan sebagai akibat adanya kepentingan, tujuan,
dan nilai yang berbeda, namun tidak semua konflik negatif dan berbahaya,
malahan konflik seringkali bersifat konstruktif dan kreatif serta dapat
mendorong perubahan, mengangkat persoalan di masyarakat dan penanganannya,
mengarahkan energi dan permasalahan kepada masalah yang penting ditangani;
3)
faktor
yang menentukan apakah konflik negatif atau positif, konstruktif atau
destruktif, adalah melalui manajemen konflik yang bertujuan untuk mencegah
bagaimana supaya kekerasan tidak terjadi dan pihak-pihak yang berkonflik dapat
menangani dan menyelesaikan konflik mereka tanpa menggunakan cara-cara
kekerasan;
4)
ketika
menangani konflik sosial dan politik, yang perlu kita tangani bukan hanya
tindakan kekerasan, akan tetapi latar belakang struktural konflik juga perlu
diperhatikan dan ditangani beserta sikap dan perasaan yang menyertainya dan
aparat keamanan selaku garda terdepan harus mampu bekerja sama dengan unsur
lain (pemerintah dan masyarakat) untuk menangani aspek-aspek struktural dan
kultural konflik;
5)
pola-pola
besar insiden konflik kekerasan di Indonesia terjadi pada masa era transisi
demokrasi yang ditandai dengan pemerintahan yang lemah dengan partisipasi
politik warga negara yang makin tinggi, serta adanya tekanan ekonomi yang
berakibat tuntutan untuk menyeseuaikan diri dengan deregulasi, hal ini didukung
pula dengan tingkat pluralisme yang tinggi di masyarakat;
6)
Bank
Dunia melalui tim peneliti Violent
Conflict in Indonesia Study
(VICS) melalui pendekatan metodologis dan mempelajari dinamika konflik di
provinsi “panas” (Nangroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku
Utara, Papua, dan Papua Barat) memiliki beberapa kesimpulan terhadap provinsi
tersebut diantaranya, kekerasan separatis cenderung menurun, kekerasan dengan
model pengadilan rakyat meningkat tajam, respon aparat keamanan masih rendah,
dan variasi atau intensitas konflik sangat besar dan terfokus pada
daerah-daerah tertentu dengan pemicu yang berbeda;
7)
hubungan
timbal balik antara tokoh agama atau masyarakat dengan aparat penegak hukum
masih lemah tanpa didukung manajemen yang terstruktur sehingga pada saat
terjadi konflik, masyarakat cenderung mengecam aparat padahal disisi lain
aparat merasa tidak mendapat dukungan dari masyarakat sehingga mereka menjadi
tidak percaya diri dan takut melanggar HAM; dan
8)
RUU
ini pada dasarnya mencerminkan niat baik pemerintah untuk mencegah konflik
namun materi muatannya masih bersifat normatif dan kurang aplikabel, dan dalam
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan pemerintah selalu berusaha membentuk
badan ad-hoc baru yang sebenarnya tidak perlu dan cukup mengedepankan instrumen
pemerintah yang sudah ada dengan pengaturan dan koordinasi yang lebih
sistematis dan terencana.
d.
penyampaian topik bahasan “Peran Polri Dalam Penanganan Konflik
Sosial di Indonesia”
oleh Kabaharkam Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs. Imam
Sudjarwo, M.Si.,
yang
diwakili oleh Wakabaharkam Polri Inspektur Jenderal Polisi Drs. Bambang
Suparno, S.H., M.Hum., dengan inti sebagai berikut:
1)
keamanan negara merupakan syarat mutlak untuk menjamin
kelangsungan pembangunan menuju masyarakat adil, makmur, dan beradab
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)
keamanan sesungguhnya tidak sebatas hanya menjadikan
negara sebagai objek yang harus dijaga, tetapi termasuk memberikan perlindungan
dan rasa aman kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang mendambakan suatu suasana sosial yang harmoni antara tata hidup
dengan kekuatan lingkungannya, baik alam maupun sosial;
3)
sumber konflik yang terjadi di Indonesia diantaranya
aspek geografis (terdiri dari beberapa kepulauan), aspek demografi (jumlah
penduduk, kualitas, dan penyebarannya), aspek sumber daya alam (melimpah namun
pengelolaan yang buruk), aspek ideologi (terjadi degradasi pemahaman dan
penghayatan dasar negara), aspek politik (implementasi demokrasi yang tidak
mengakomodir kepentingan umum), aspek hukum (kurangnya profesionalisme dan
komitmen terhadap instrumen hukum), aspek ekonomi (pertumbuhan ekonomi yang berbeda
antar wilayah/pulau), aspek sosial budaya (pengaruh sikap primodialisme yang
kuat), aspek keamanan (spektrum pengamanan yang sangat luas dan kurangnya
pemahaman bahwa keamanan merupakan tanggung jawab setiap komponen bangsa), dan
aspek globalisasi (pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi);
4)
keamanan dalam terminologi kepolisian meliputi pengertian
komprehensif yaitu security, safety,
surety, and peace, akan tetapi penanganan konflik sosial terkait tugas,
peran, dan fungsi Polri tidak terlepas dari ketentuan peraturan
perundang-undangan, yaitu sebagai pemelihara keamanan dalam negeri;
5)
penanganan konflik sosial tidak bisa ditangani secara
parsial dan terpisah mulai dari pencegahan, penghentian, dan pemulihan, namun
harus komprehensif dan integral dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan
mengedepankan cara-cara persuasif dan tidak mengutamakan birokratik;
6)
dalam menangani konflik sosial, Polri berupaya menerapkan
strategi pre-emtif, preventif, dan represif, dengan tetap mengedepankan
koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait lainnya termasuk TNI, sesuai
batas kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta
melibatkan peran serta masyarakat;
7)
penanganan konflik sosial sesungguhnya bukan hanya
terfokus pada penyusunan suatu instrumen hukum, akan tetapi diperlukan komitmen
dan implementasi dari segenap instansi terkait dan masyarakat untuk mengatasi
dan mencegah berkembangnya akar konflik, karena instrumen hukum yang ada saat
ini sebenarnya sudah cukup memadai; dan
8)
dalam penyusunan RUU ini, perlu dibangun upaya
peningkatan peran dari segenap instansi sesuai kewenangannya serta pentingnya
sinergitas terkait kebijakan, program, dan kegiatan dalam penanggulangan
konflik termasuk deteksi dan berbagi informasi untuk pencegahan, penguatan civil society, dan penegakan hukum
secara tegas kepada aktor intelektual penyebab konflik dengan tetap menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
e.
penyampaian topik bahasan “Konflik Sosial Ditinjau Dari
Sosiologi dan Perspektif Budaya Indonesia dan Solusi Pencegahannya” oleh Prof.
Dr. Tamrin Amal Tomagola, dengan inti sebagai berikut:
1)
konflik
merupakan benturan sikap, pendapat, tingkah laku, atau jalan pikiran antara dua
orang atau kelompok dalam memperoleh atau memandang suatu hal, yang sering
terjadi pada suatu negara dengan kondisi masyarakat yang majemuk;
2)
penyelesaian
konflik yang baik adalah dengan mengelola dan membuat suatu manajemen konflik,
sama halnya dengan mesin kendaraan, gesekan-gesekan yang terjadi diantara
unsur-unsur kima menghasilkan daya ledak sehingga daya ledak tersebut disatu
sisi dapat mendorong ke depan atau bahkan rusak karena ledakan yang terlalu
berlebihan;
3)
konflik
bisa memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memperbaiki keadaan dan maju ke
depan, namun apabila konflik sulit diredam dapat membuat kondisi masyarakat
menjadi terhenti, oleh karena itu dalam mengelola konflik hal yang perlu
diperhatikan adalah jangan menyembunyikan benih konflik;
4)
Indonesia
dengan jumlah suku kurang lebih 653 (enam ratus lima puluh tiga) dengan bahasa
dan budaya yang berbeda-beda merupakan sumber konflik yang paling banyak
terjadi, terutama di wilayah timur yang didiami oleh 2/3 jumlah suku yang ada
di Indonesia yang bisa disebut sebagai ring
of fire, dan apabila terjadi konflik dapat berakibat langsung pada
disintegrasi bangsa;
5)
untuk mengelola kemajemukan tersebut agar tidak menjadi
konflik, dilakukan melalui konsep relasi sosial dan interaksi sosial, dengan
memperhatikan potensi sumber daya yang ada, karena seringkali konflik sosial
antar suku terjadi akibat perebutan potensi sumber daya terutama di bidang
ekonomi;
6)
selain itu persaingan untuk menjadi yang lebih unggul
dari kelompok atau suku lain, merupakan salah satu kerentanan yang dapat
menimbulkan konflik, terutama di Papua, dengan jumlah suku mencapai kurang
lebih 250-300 suku yang berbeda;
7)
penyelesaian konflik juga tidak serta merta dilihat dari
cara penindakan dan pencegahan, tetapi dikaji terlebih dahulu jenis konflik
sosial yang terjadi ditinjau dari aspek pihak yang berkonflik, lokasi konflik,
bentuk konflik, dan kerugian konflik; dan
8)
penyelesaian konflik juga harus dikelola dengan cerdas
dan cermat, dengan tahapan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang,
serta yang paling utama adalah mencari pemicu konflik sosial karena dari pemicu
tersebut kita bisa mempelajari motif yang digunakan untuk kemudian dicari
strategi dan antisipasi terulangnya konflik tersebut.
f.
penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada para
narasumber:
1)
Komisaris Besar Polisi S. Harunantyo (Analis Utama Baintelkam
Polri):
a)
konflik yang terjadi di Ambon, berdasarkan pernyataan
pemerintah bukan merupakan konflik agama, padahal dari kajian Polri terhadap
tokoh agama setempat, bahwa konflik di Ambon erat kaitannya dengan agama, mengapa
pemerintah bisa menyimpulkan berbeda;
b)
Ambon merupakan daerah kepulauan, namun dibutuhkan
kebijakan yang baik karena untuk mobilitas antar pulau justru terhambat
mahalnya biaya transportasi, atau disarankan untuk dibangun armada angkatan
laut agar bisa berkoordinasi dengan Polri;
c)
sisa-sisa konflik di Ambon terkesan dibiarkan oleh
masyarakatnya bahkan seperti dijadikan monumen yang dikhawatirkan menjadi
memori balas dendam, bagaimana langkah-langkah yang komprehensif; dan
d)
untuk konflik yang terkait politik seperti Pilkada, hal
ini disebabkan semakin banyaknya kerajaan kecil atau monarki keluarga untuk
jabatan tertentu, bagaimana solusinya dan penjelasan dari para narasumber.
2)
AKBP Dr. H. Burhaman, S.H., M.H. (Kabagbinopsnal
Ditbinmas Polda Sulawesi Selatan):
a)
konflik sosial juga bisa disebabkan substansi hukum yang
dibuat, karena substansi hukum yang baik apabila tidak memihak kepentingan
tertentu, adanya komitmen aparat, dan mendapat respon masyarakat;
b)
bagaimana mekanisme pemulihan hak-hak korban konflik yang
dirasa belum mencerminkan keadilan, karena dari hal ini justru bisa memicu
timbulnya akar masalah baru; dan
c)
terkait sumber politik, aksi unjuk rasa yang menginginkan
bertemu dengan pejabat pemerintah juga bisa memicu konflik, karena seringkali
yang dihadirkan justru perwakilan yang tidak mengetahui keinginan pengunjuk
rasa.
3)
Komisaris Besar Polisi Agus Nugroho, S.H., M.Hum. (Dirbinmas
Polda NAD):
a)
bagaimana konsepsi RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang
baik menurut para narasumber karena RUU ini sifatnya hanya mengatasi dan belum
terlihat upaya pencegahan;
b)
bagaimana langkah-langkah yang tepat agar Polri tidak
selalu mendapat stigma lamban dalam menangani konflik sosial; dan
c)
bagaimana konsep untuk Polri ke depan dalam menangani
konflik sosial di Aceh, karena konflik
di Aceh bersumber dari politik dan sebagian dari unsur politik berasal
dari mantan GAM yang dikhawatirkan dapat memicu konflik yang lebih besar.
4)
Heni Susilawardhoyo (Kementerian Hukum dan HAM):
a)
bagaimana tanggapan dari para narasumber terkait materi
muatan RUU ini, karena konflik sosial berbeda dengan penanganan bencana yang
materi muatannya diatur cukup jelas sedangkan RUU ini hanya pada mengatasi
konflik, dan sumber-sumber konflik pun disebutkan ”dapat” sehingga terkesan ada
sumber-sumber lain yang tidak bisa disebutkan; dan
b)
apakah pertambahan jumlah penduduk bisa menjadi pemicu
konflik, karena di negara-negara berkembang jumlah penduduk seringkali
menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks.
5)
AKBP Rais D. Adam, S.H. (Kabidkum Polda Sulawesi Tengah):
a)
bagaimana penanganan konflik sosial yang terjadi di laut,
apakah penanganannya sama dengan yang terjadi di darat;
b)
konflik di Poso, lebih banyak terkait masalah
keperdataan, sehingga perlu dipertegas instansi mana yang berwenang mengurusi
masalah keperdataan apabila terjadi konflik agar Polri tidak selalu menjadi
tameng penyelesaian; dan
c)
bagaimana konsep penanganan konflik di Poso, karena
sumber konflik pada saat dilakukan pengkajian, justru bersumber dari para
pendatang yang lebih mapan dalam pekerjaan dan jabatan.
6)
AKBP Drs. J.H. Sitorus (Kasubbidbankum Bidkum Polda
Papua):
a)
Papua menerapkan undang-undang otonomi khusus dan
penyelesaian melalui hukum adat, jika RUU ini disahkan dan bersifat nasional, apakah
menghilangkan kewenangan otonomi khusus tersebut; dan
b)
masalah pengesampingan kearifan lokal tidak dapat
diterapkan dalam penyelesaian konflik Papua, karena di Papua masih menganut
hukum adat yang sifatnya kekeluargaan, bagaimana solusi kedepannya.
7)
AKBP Suratman Basimin, S.H., M.H. (Kabidkum Polda Maluku
Utara):
a)
ada beberapa provinsi yang berpedoman pada otonomi daerah
dan perangkat perundang-undangannya, apabila RUU ini berlaku apakah ketentuan
daerah masih digunakan; dan
b)
potensi konflik di daerah sebagian besar justru berasal
dari sumber politik, seperti penempatan pejabat yang dilatarbelakangi hubungan
emosional dengan mengesampingkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
menduduki jabatan tersebut.
8)
AKBP Hj. Etty Nurbaiti, S.H. (Baharkam Polri):
konflik
sosial yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat sering terjadi dengan
jumlah korban dan kerugian yang tidak sedikit, bagaimana strategi dan langkah
yang diambil Polri dalam menangani konflik, apakah sudah sesuai dengan prosedur.
g.
penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan
dari para peserta FGD:
1)
Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola:
a)
ditinjau dari aspek peruntukkan dan keberlangsungan, RUU
ini belum perlu untuk dibuat dan seharusnya pemerintah lebih mengoptimalkan
perangkat regulasi yang sudah ada dengan lebih menekankan fungsi koordinasi
masing-masing instansi dan aparat penegak hukum;
b)
dalam penyelesaian konflik, yang diperlukan adalah
pedoman atau bentuk penyelesaian yang bersifat preventif dengan melihat keadaan
yang terjadi secara langsung di masyarakat, dan menghindari model-model legal birocratic;
c)
kecenderungan konflik justru berada pada kawasan kota
menengah yang tengah berkembang dan gencar-gencarnya menyuarakan pembangunan
dan otonomi daerah, sehingga perlu dibuat pemetaan dan pengklasifikasian
beberapa indikator pemicu konflik disertai tingkatan batas situasi aman,
waspada, dan bahaya, sehingga apabila suatu kota pada saat dilakukan survei
atau evaluasi, terindikasi sudah memenuhi dan melebih 50 % (lima puluh persen)
dari indikator pemicu konflik, perlu segera dilaporkan kepada instansi yang
terkait;
d)
sedangkan di kota-kota besar, kecenderungan terjadinya
konflik sangat kecil karena masyarakat kota besar lebih mengedepankan aspek dan
ciri-ciri tertentu dalam meredam konflik, misalnya Jakarta dengan heterogenitas
penduduk akan enggan terpengaruh ajakan untuk berbuat rusuh dengan skala besar,
dikarenakan akan merusak sendi-sendi perekonomian sehingga merugikan mereka
sendiri, sedangkan di Jawa dan Sumatera Utara dan Sumatera Barat, hampir
mayoritas penduduk satu sama lain terdapat garis atau silsilah kekeluargaan
sehingga satu sama lain enggan bertikai karena hubungan darah yang kuat; dan
e)
kependudukan bukanlah faktor yang dapat memicu terjadinya
konflik, karena di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, atau China,
mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan jumlah penduduk yang
besar. Namun yang harus diperhatikan adalah pembangunan dan perekonomian yang
seharusnya bisa diterapkan secara merata dan adil guna menghindari munculnya
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah;
2)
Dr. Ihsan Ali Fauzi, M.A.:
a)
dalam menangani konflik sosial, pembuatan aturan hukum
baru bukanlah solusi tepat, karena materi muatan RUU ini belum tentu mengakomodir
hal-hal yang selama ini menjadi pemicu, karena masing-masing daerah memiliki
jenis pemicu konflik yang berbeda-beda, sedangkan RUU ini hanya fokus pada
koordinasi, pembentukan badan baru, dan metode-metode pencegahan pasca konflik;
b)
pada masing-masing daerah konflik ada mekanisme
penyelesaian tersendiri sesuai adat dan kebiasaan mereka, namun hal tersebut terkesan
diabaikan oleh pemerintah, padahal hukum adat sifatnya juga mengikat dan
menghukum. Sebaiknya pemerintah mengoptimalkan regulasi yang ada dan jangan
memaksakan suatu aturan yang belum tentu lebih baik dari aturan yang ada
sebelumnya. Misalnya di Papua,
sebelum banyak bertebaran regulasi pemerintah, masyarakat terbiasa
menyelesaikan sesuatu berdasarkan hukum adat dan konflik yang terjadi pada saat
itu tidaklah sebanyak sekarang;
c)
penyusunan suatu regulasi jangan didasarkan atas
kepentingan politik atau ingin menyelesaikan masalah secara instan, tetapi yang
harus diperhatikan menggandeng dan meminta masukan dari berbagai instansi
ataupun unsur masyarakat yang selama ini bertikai, sehingga RUU ini dapat
konsisten dan digunakan untuk jangka panjang;
d)
konflik sosial yang terjadi di masyarakat, sebagian besar
dipicu oleh kurangnya perhatian dan respon dari pemerintah terhadap yang disuarakan
masyarakat, dan terkesan pada saat sudah terjadi konflik skala besar,
pemerintah baru memberikan perhatian. Hal itu mungkin mereka enggan berdialog
dengan masyarakat dikarenakan materi yang didiskusikan dapat mengancam
kedudukan mereka apabila sampai di dengar oleh pejabat pusat; dan
e)
terkait masalah Pilkada, pihak yang keluar sebagai
pemenang cenderung arogan dan otoriter dengan memaksakan susunan kepengurusan
yang berasal dari kalangan suku atau agama tertentu dengan mengesampingkan
potensi dan unsur masyarakat yang ada, sehingga muncullah ketidakpuasan
terutama dari masyarakat yang terpinggirkan dari jabatan daerah, namun hal
tersebut tidak pernah mendapat reaksi dari pemerintah pusat, dan menjadi pemicu
konflik-konflik yang terjadi di daerah terutama di wilayah Indonesia bagian
timur yang terdiri atas beragam suku-suku namun masing-masing mempunyai
pengaruh yang cukup kuat pada provinsi tersebut.
3)
Wakabaharkam Polri, Inspektur Jenderal Polisi Drs. Bambang Suparno, S.H., M.Hum.:
a)
penyelesaian konflik tidak hanya terfokus pada penegakan
hukum, tetapi harus dilihat apa yang menyebabkan konflik tersebut muncul,
seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, atau Papua, itu seringkali konflik diawali
dengan masalah pertanahan, pekerjaan, atau pembangunan yang merusak tatanan
sistem adat mereka;
b)
seharusnya sebelum Polisi menangani konflik yang muncul,
perwakilan instansi yang menjadi latar belakang pemicu konflik harus menghadapi
dan menjelaskan kepada pihak yang berkonflik, karena tidak mungkin anggota
Polisi dapat menjelaskan atau mencari solusi apabila konflik tersebut
dikarenakan karena sengketa lahan tanah, masalah upah tenaga kerja, atau
pencemaran akibat tata pembangunan yang kurang terencana;
c)
strategi Polri dalam menangani konflik sosial yaitu
mendeteksi darimana embrio konflik tersebut berasal, karena tidak mungkin suatu
konflik langsung terjadi secara cepat dan besar, tetap ada eskalasi atau
tahapan-tahapan;
d)
tugas Polisi ketika mengetahui atau mendengar ada
desas-desus mungkin yang ditiupkan
di pinggiran komunitas masyarakat adalah mencari tahu apa
permasalahannya dan langsung berkoordinasi denga instansi yang terkait dengan
embrio konflik, sehingga fase perubahan embrio menuju fase puncak ketidakpuasan
masyarakat bisa diredam sedini mungkin;
e)
terkait masalah Pilkada, sebenarnya paling banyak benih
konflik disebabkan dari penguasa atau calon yang mengikuti pemilihan.
Seharusnya dalam diri mereka tertanam sikap berkompetensi dengan fair dan jujur serta menerima hasil
dengan lapang, namun kenyataannya yang terjadi di daerah, masing-masing
penguasa dan calon penguasa tega menghasut masyarakat bawah dengan iming-iming
uang untuk melawan masyarakat lainnya yang mungkin sebelum digelar pemilihan,
kehidupan sosial mereka sangat harmonis; dan
f)
dalam hal regulasi, Polri memiliki regulasi tersendiri
untuk penanganan konflik atau kerusuhan yang terjadi di masyarakat. RUU ini
sebenarnya diperlukan untuk dijadikan pedoman Polri dalam bertindak, tetapi
materi muatannya haruslah merangkul semua pihak dan bukan hanya dilihat dari
perkembangan situasi dan kondisi bangsa yang terjadi saat ini.
h.
diskusi antar peserta FGD, yang terbagi dalam 3 (tiga)
kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap materi/substansi
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, dengan hasil sebagai berikut:
1)
Kelompok I:
a)
penggunaan kata ”penanganan” pada judul disarankan diubah
dengan ”penanggulangan” karena kata ”penanganan” diasumsikan hanya pada saat
terjadi konflik, sedangkan ”penanggulangan” memiliki lingkup kegiatan yang
lebih luas;
b)
definisi ”penghentian konflik” sebaiknya ditambahkan pada
awal kalimat yaitu sebagai ”serangkaian kegiatan hukum”, hal ini dimaksudkan
agar kegiatan penghentian konflik tetap berada pada koridor hukum;
c)
dalam Pasal 5, sumber konflik sosial perlu ditambahkan
satu point, yaitu politik, ideologi, dan keamanan; dan
d)
Bab IV, judul penghentian konflik disarankan diganti
dengan ”pengelolaan konflik” karena harus ada manajemen konflik dan konflik
tidak bisa dihentikan, melainkan akan ada sisa-sisa yang akan terus
berkelanjutan;
2)
Kelompok II:
a)
RUU ini sangat diperlukan mengingat belum adanya payung
hukum yang khusus menangani konflik sosial secara proporsional dan profesional;
b)
dalam penanganan konflik perlu ditambahkan pelibatan
pejabat atau instansi yang membidangi masalah ketenagakerjaan, pendidikan, dan
pertanahan, karena seringkali penyebab konflik akibat kesenjangan atau
perebutan tiga unsur tersebut;
c)
keanggotaan Komisi Penanganan Konflik Sosial perlu
disesuaikan baik komposisi maupun latar belakang dan personel yang akan
mengawakinya.
3)
Kelompok III:
a)
draft RUU ini masih terlalu dini untuk digulirkan dan
perlu sosialisasi atau pengkajian secara akademis melalui penyusunan daftar
inventarisir masalah, selain itu konflik yang terjadi saat ini mungkin hanya
refleksi akibat perubahan era reformasi dan demokrasi;
b)
pasal-pasal yang terdapat dalam RUU ini perlu
disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan lain sehingga tidak terjadi
tumpang tindih atau pertentangan dengan kewenangan yang diemban instansi lain
sesuai undang-undang organiknya; dan
c)
dalam RUU ini perlu diperluas terkait penanganan pasca
konflik dan bentuk-bentuk pemulihannya (rekonsolidasi dan recovery).
i.
Sambutan Penutupan FGD dari Kadivkum Polri, yang
disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol Drs. Bambang
Sri Herwanto, M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)
melalui kegiatan FGD ini diharapkan Polri dapat
berkontribusi memberikan masukan yang konstruktif terhadap RUU tentang
Penanganan Konflik Sosial sebagai bentuk sumbangsih dan komitmen Polri dalam
mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat;
2)
hal-hal positif yang dihasilkan dari FGD ini akan
diteruskan kepada para stakeholder,
sehingga diharapkan RUU ini bisa lebih baik terutama substansi dan
impelemtasinya pada saat diundangkan;
3)
penekanan pada RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
bukan pada penindakannya tetapi bagaimana mencegah agar potensi dan bibit
konflik tidak muncul kembali, dan bagaimana menciptakan sinergitas seluruh
sumber daya atau komponen bangsa; dan
4)
RUU ini diharapkan mampu memecahkan semua permasalahan
dan hambatan yang selama dihadapi aparat penegak hukum dalam menangani konflik
sosial, sekaligus menjadi payung hukum yang jelas dan tegas bagi aparat dalam
mengambil tindakan dan langkah-langkah penyelesaian konflik sosial.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan dan Saran:
a.
komponen konflik sosial dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga) faktor utama, yaitu:
1)
situasi yang melatarbelakangi terjadinya konflik;
2)
sikap dan persepsi pihak-pihak yang berkonflik; dan
3)
perilaku, strategi, taktik, dan alat yang digunakan dalam
konflik;
ketiga faktor tersebut dapat dijadikan bahan kajian untuk mengetahui jenis
konflik yang terjadi;
b.
konflik merupakan benturan sikap, pendapat, tingkah laku,
atau jalan pikiran antar 2 (dua) orang/kelompok atau lebih, dalam memperoleh
atau memandang suatu hal yang sering terjadi pada suatu negara dengan kondisi
masyarakat yang majemuk;
c.
sumber konflik yang terjadi di Indonesia antara lain
dilatarbelakangi oleh faktor geografis, demografi, sumber daya alam, ideologi,
politik, ekonomi, kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan pembangunan, faktor
suku, agama, dan ras;
d.
penyelesaian konflik yang baik dapat dilakukan dengan
mengelola dan membuat manajemen penanganan konflik secara komprehensif dengan
mengkaji jenis konflik sosial yang terjadi dilihat dari aspek pihak yang
berkonflik, lokasi konflik, bentuk konflik, dan kerugian konflik tanpa
menyembunyikan potensi atau bibit konflik, dan melakukan pencegahan cepat agar
tidak meluas dengan melibatkan berbagai komponen bangsa. Kemudian dicari solusi
terbaik, strategi, dan antisipasi agar tidak terulang konflik tersebut; dan
e.
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial pada dasarnya
mencerminkan niat baik pemerintah untuk mencegah konflik sosial, namun materi
muatan yang diatur masih bersifat normatif dan kurang aplikatif, sehingga perlu
dibangun upaya peningkatan peran dari segenap lembaga/instansi pemerintah
sesuai kewenangan masing-masing dan pemberdayaan masyarakat, serta
mengedepankan sinergitas terkait kebijakan, program, dan kegiatan dalam
penanganan konflik dan pasca konflik.
2.
Saran:
a.
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial apabila akan
diteruskan pembahasannnya, diperlukan penyusunan materi muatan yang lebih
responsif dan implementatif, tinjauan aspek akademis mengenai pengelolaan
konflik yang solutif, dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lain
agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, serta perlu dikaji aspek urgenitas
dan kontinuitas RUU tersebut agar bisa diimplementasikan untuk jangka panjang;
b.
penyelesaian konflik sosial melalui pembentukan aturan
hukum dan lembaga baru bukanlah solusi yang paling utama, tetapi perlu
mengoptimalkan potensi yang ada melalui manajemen penanganan konflik dan
membuat pemetaan peraturan perundang-undangan yang terkait penanganan konflik
serta pemetaan wilayah rawan konflik, sehingga kedepannya pemerintah dapat
mengantisipasi dan menyiapkan langkah strategis dalam penyelesaian konflik
sosial dengan meminimalisir cara-cara kekerasan dan tetap menjunjung HAM; dan
c.
konflik sosial dapat diminimalisir apabila semua komponen
atau instansi terkait dapat bekerja sama melalui deteksi dan pencegahan
penyebaran bibit pemicu konflik. Polri sifatnya bertanggung jawab di bidang
keamanan, sedangkan untuk memberikan penjelasan atau penyelesaian terhadap ketidakpuasan
masyarakat yang menjadi pemicu konflik, perlu melibatkan instansi terkait dan
pemberdayaan masyarakat secara sinergis sesuai permasalahan yang dihadapi agar
konflik sosial tidak meluas, berkepanjangan, dan berulang.
3.
Demikian laporan pelaksanaan FGD RUU tentang Penanganan
Konflik Sosial yang mengambil tema ”PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DALAM MENUNANG
STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI” disampaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban
atas penggunaan anggaran dan rencana kerja Divkum Polri T.A. 2011.
Mengetahui:
KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI
Ttd.
Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
|
Jakarta, Oktober 2011
KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD
Ttd.
Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 62030473
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar