LAPORAN PELAKSANAAN
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
TENTANG TINDAK
PIDANA PENDANAAN TERORISME
.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang:
Tindak Pidana Terorisme merupakan
kejahatan yang sangat menakutkan dan membahayakan keselamatan jiwa dan harta
benda dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik bagi
Indonesia sendiri maupun bagi negara-negara lain. Aksi-aksi teror telah banyak
menimbulkan korban tanpa pandang bulu, sehingga terorisme dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan penanganan
dengan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure). Jaringan terorisme
telah berkembang ke beberapa negara, sehingga tidak lagi hanya dipandang
sebagai yurisdiksi pada satu negara saja tetapi masuk yurisdiksi lebih dari satu
negara.
Tindak pidana terorisme cenderung
dilakukan secara terorganisir dengan jaringan yang luas dan bahkan dapat
melibatkan lintas negara. Aksi teror yang dijalankan oleh para pelaku sudah
direncanakan dengan rapi dan matang, termasuk dalam penentuan target, alat atau
modus yang digunakan, sampai dengan metode penghilangan jejak yang menyulitkan
untuk dilacak dan diidentifikasi baik pelaku atau jaringan pelakunya.
Perencanaan
dan persiapan yang rapi dan matang dalam menjalankan aksi teror, sudah pasti
memerlukan berbagai bentuk dukungan salah satunya adalah sumber finansial atau
pendanaan yang kuat guna mendukung aksi dan pengembangan jaringan. Pendanaan
terorisme dapat dikatakan memegang peranan penting dalam siklus kehidupan
organisasi pelaku terorisme, dikarenakan dengan dana tersebut mereka dapat
melakukan kegiatan antara lain perekrutan, pelatihan, pembelian bahan-bahan dan
persenjataan, sampai dengan pemantauan terhadap lokasi dan sasaran yang akan
menjadi target aksi terorisme.
Pendanaan terorisme dapat terjadi
dengan berbagai cara, baik secara langsung atau tidak langsung, secara tidak
sah maupun dengan sengaja, menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan
agar dana tersebut digunakan seluruhnya atau sebagian untuk kegiatan terorisme.
Mengantisipasi hal tersebut,
pemerintah melalui aparat penegak hukum dalam melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme selain dilakukan terhadap pengejaran pelaku
dan jaringannya juga perlu dilakukan tindakan penelusuran dan pemutusan aliran
pendanaan terorisme yang disinyalir melibatkan lintas negara, yang didukung
dengan instrumen hukum yang jelas, responsif, dan komprehensif.
Instrumen hukum di Indonesia dalam
memerangi aksi terorisme dirasakan masih terlalu minim terutama dari aspek
pengaturan materi muatan, sehingga banyak terjadi “loopholes” dan belum
menjamin kepastian hukum di masyarakat, selain itu upaya memasukkan tindak
pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dalam
undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dirasakan masih belum dapat dijalankan secara efektif dalam memberantas tindak
pidana pendanaan terorisme.
Upaya lain yang perlu dilaksanakan adalah dengan melakukan penelusuran pendanaan
secara sinergi dengan penyedia jasa keuangan, aparat penegak hukum, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK), dan kerja sama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana
yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme.
Pemerintah bersama dengan DPR-RI
saat ini tengah menyusun rancangan undang-undang tentang tindak pidana
pendanaan terorisme, yang mengatur secara komprehensif mengenai asas,
kriminalisasi tindak pindana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, pelaporan dan pengawasan
kepatuhan, mekanisme pemblokiran, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, serta kerjasama baik nasional maupun internasional dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Sebagai
wujud proaktif dan peran serta Polri dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana terorisme melalui penyusunan instrumen hukum, Divisi Hukum Polri selaku
pembina dan penyelenggara fungsi pengkajian, bantuan dan nasehat hukum,
pengembangan hukum, pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di lingkungan
Polri, perlu menyelenggarakan Focus Group
Discussion Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme.
2.
Maksud dan Tujuan:
a.
maksud
dari penyelenggaraan FGD ini adalah untuk mengkaji dan merumuskan
masukan-masukan dan pemikiran yang komprehensif dan konstruktif terkait materi
muatan dalam RUU tersebut, agar dapat diimplementasikan dan membantu tugas Polri
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme; dan
b.
tujuan
dari penyelenggaraan FGD ini adalah memberikan pengetahuan para peserta
sekaligus merumuskan hal-hal krusial yang belum terakomodir dalam RUU tersebut
dan menjadi kendala dalam menangani tindak pidana pendanaan terorisme saat ini.
B.
PELAKSANAAN
1.
Waktu dan Tema:
a.
hari/tanggal :
Selasa, 22 November 2011;
b.
pukul : 08.30
s.d. 16.30 WIB;
c.
tempat : Hotel
Kaisar, Jalan PLN Duren Tiga Jakarta;
d.
tema :”Menjadikan RUU tentang Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme Sebagai Aturan Hukum Yang Komprehensif Untuk Mencegah dan
Memberantas Tindak Pidana Terorisme Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Dalam
Negeri”.
2.
Narasumber:
a.
Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diwakili oleh Deputi II BNPT Brigjen
Pol Drs. M. Tito Karnavian, M.A, dengan pokok bahasan “Strategi dan Kesiapan
BNPT Dalam Pemberantasan Terorisme Melalui Pencegahan dan Pemberantasan
Pembiayaan Terorisme Dengan Mengejar Sumber Uangnya (Follow the Money)”;
b.
Kepala
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan, (PPATK) Muhammad Yusuf, S.H.,
M.H., dengan pokok bahasan “Strategi dan Peran PPATK Dalam Melakukan Pencegahan
Pendanaan Terorisme, Pengawasan Terhadap Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan,
dan Kerja Sama Dengan Aparat Penegak Hukum”; dan
c.
Direktur
Perancangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Drs.
Zafrullah Salim, M.H., dengan pokok bahasan ”Implementasi International Convention For the Suppression of the
Financing of Terrorism, 1999 atau Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme ke Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”;
3.
Peserta:
a.
Kabidkum
dan Dirreskrim beserta 2 (dua) anggota perwakilan Polda Banten, Jawa Barat, dan
Metro Jaya;
b.
Kasubbagkum
dan Kasatreskrim Polres jajaran Polda Metro Jaya (Jakarta, Bekasi, Depok, dan
Tangerang);
c.
perwakilan
Satker Bareskrim Polri, Baintelkam Polri, Divhubinter Polri, Div TI Polri,
Divhumas Polri, Divkum Polri, dan Densus 88 AT Polri; dan
d.
perwakilan
dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, PPATK, BNPT, dan Program
Pasca Sarjana Studi Terorisme dan Keamanan Nasional Universitas Indonesia.
4.
Agenda
Kegiatan:
a.
Laporan Ketua Pelaksana FGD, yang disampaikan oleh Kabagsunkum
Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol
Drs. Bambang Sri Herwanto, M.H.;
b.
Sambutan Pembukaan FGD dari Kadivkum Polri, yang
disampaikan oleh Karosunluhkum Divkum Polri Brigjen Pol Dr. R.M. Panggabean, S.H., M.H., dengan
inti sebagai berikut:
1)
RUU ini sangat penting bagi masyarakat dan bangsa Indonesia,
oleh karenanya sengaja FGD ini diselenggarakan dengan menghadirkan peserta dari
berbagai komponen, dengan harapan kita bisa memperoleh manfaat, pendapat,
tanggapan, pandangan serta saran masukan atas RUU dimaksud, sebagai kontribusi
positif dari Polri guna dijadikan bahan
masukan bagi seluruh stakeholder;
2)
upaya
pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan pemerintah baru sebatas
pada upaya menangkap pelaku tindak pidana dari jaringannya namun belum
difokuskan pada penanganan pendanaan tindak pidana terorisme, sehingga perlu
dipahami bahwa pendanaan terorisme (financing
of terrorism) merupakan faktor utama dalam setiap aksi terorisme dan masuk
dalam daftar kejahatan internasional;
3)
upaya
pemberantasan tindak pidana terorisme dengan cara konvensional (follow the
suspect) ternyata bukan satu-satunya cara untuk mencegah dan memberantas
tidak pidana terorisme secara maksimal, namun upaya lain yang perlu dilakukan
adalah dengan menggunakan sistem dan mekanisme follow the money dengan
melibatkan penyedia jasa keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama
internasional untuk mendeteksi aliran dana yang diduga untuk kegiatan teroris;
4)
disadari
teroris sangat memerlukan infrastruktur sistem keuangan untuk memobilisasi dan
menyalurkan dananya, namun yang membuat pendanaan terorisme menjadi sangat
berbahaya adalah strategi teroris dalam menggunakan organisasi amal atau
nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuan menginfiltrasi sistem keuangan
negara-negara miskin dan berkembang, selain itu, pendanaan terorisme dapat pula
berasal dari sumber yang halal atau legal, yang
mempersulit penelusuran dan pembuktian aliran dana tersebut dibandingkan
dengan money laundering yang sumber
dananya hanya dari hasil tindak pidana;
5)
upaya
memasukan tindak pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal (predicate
crime) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ternyata masih belum dapat
diimplementasikan secara efektif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pendanaan terorisme, bahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang
telah mengkriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana ternyata
masih memiliki “loopholes” sehingga pengaturannya belum menjamin
kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat; dan
6)
mengingat pentingnya substansi RUU ini, diharapkan
seluruh peserta dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi penyempurnaan
RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, sekaligus ucapan terima kasih kepada para nara sumber
yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan materi dan pandangan
pemikirannya.
c.
penyampaian topik bahasan ”Strategi dan Kesiapan BNPT Dalam
Pemberantasan Terorisme Melalui Pencegahan dan Pemberantasan Pembiayaan
Terorisme Dengan Mengejar Sumber Uangnya (Follow
the Money)” oleh Brigjen Pol Drs. M. Tito Karnavian, M.A.
(Deputi II-BNPT), dengan inti sebagai berikut:
1)
dalam
menghadapi dan menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia, beberapa hal
yang menjadi isu penting antara lain bagaimana pengungkapan pendanaan
terorisme, metode lain dari pelaku teror yang perlu diantisipasi, strategi
penanganan pendanaan terorisme, dan tantangan ke depan yang harus dihadapi
pemerintah dalam memberantas terorisme;
2)
berdasarkan
hasil penelitian dan pengungkapan informasi dari jaringan pelaku terorisme yang
berhasil ditangkap, pendanaan terorisme di Indonesia berasal dari sumber
perorangan/zakat, sumber organisasi, fa’I (mengambil harta sebelum perang) dan
ghanimah (setelah perang), dan sumber dari luar negeri;
3)
contoh
kasus di Poso Sulawesi Tengah, yang melibatkan kelompok Mujahidin Tanah Runtuh,
pendanaan didapat melalui sedekah yang mengatasnamakan jihad fisabilillah
dengan pembagian hasil yaitu 2,5 % masuk kas organisasi/kelompok tersebut, dan
beberapa kelompok sering memanfaatkan jasa bank untuk menyimpan dana terorisme
yang bersumber dari donasi atau sedekah;
4)
contoh
pendanaan terorisme yang bersumber dari fa’i dan ghanimah yaitu perampokan toko
emas di Serang Banten yang hasilnya digunakan untuk membiayai aksi peledakan bom
Bali Tahun 2002, dengan pola perampokan menghalalkan mengambil harta orang yang
mereka anggap “kafir”;
5)
pendanaan
terorisme yang berasal dari luar negeri, diindikasikan dengan adanya
keterlibatan jaringan Al-Qaeda dalam kasus-kasus terorisme dan peledakan bom
yang terjadi di kedutaan besar Filipina dan kasus peledakan bom Hotel J.W.
Marriot Tahun 2003;
6)
metode
pendanaan kegiatan terorisme yang perlu diantisipasi pemerintah yaitu mencari
dana dengan modus kejahatan perampokan bank, pemalsuan kartu kredit, proyek
investasi, penculikan dengan penebusan, penjualan narkotika;
7)
strategi
yang diperlukan dalam penanggulangan pendanaan terorisme, antara lain
memperkuat aturan hukum, mendukung operasi combatting
terorism, dan menyusun standar operasional prosedur terkait koordinasi
antar lembaga; dan
8)
tantangan
ke depan dalam penanggulangan pendanaan terorisme yang harus dilakukan
pemerintah, antara lain pengaturan kualifikasi organisasi yang diduga kelompok
terorisme, pemberian kemudahan bagi aparat terkait pembuktian pendanaan
terorisme, mekanisme kerja sama dan koordinasi antar lembaga terkait, serta
memfasilitasi kerja sama lintas batas untuk melacak pendanaan terorisme dan
mekanisme operasionalnya.
d.
penyampaian topik bahasan “Strategi dan Peran PPATK Dalam
Melakukan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Pengawasan Terhadap Transaksi
Keuangan Yang Mencurigakan, dan Kerja Sama Dengan Aparat Penegak Hukum” oleh Muhammad
Yusuf, S.H., M.H. (Kepala PPATK),
dengan inti sebagai berikut:
1)
pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi terorisme
sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan pencegahan dan
pemberantasan terhadap pendanaan terorisme;
2)
dengan telah diratifikasinya konvensi internasional
pemberantasan pendanaan terorisme, Indonesia wajib membuat atau menyelaraskan
peraturan perundang-undangan terkait pendanaan terorisme agar lebih memadai dan
komprehensif;
3)
aspek yuridis pengaturan pendanaan terorisme secara garis
besar telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 29 ayat (1), dan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Pasal 2
ayat (1);
4)
penelusuran aliran dana terorisme dimaksudkan untuk
mengidentifikasi kegiatan pendanaan dan donatur yang menyumbang kegiatan
terorisme sehingga dapat mengarahkan penyidikan pada tokoh-tokoh penting dalam
kelompok terorisme serta mengetahui lokasi dan rencana aksi mereka;
5)
PPATK sebagai unit intelijen keuangan memiliki peran
terkait assets recovery dalam
memberikan informasi intelijen keuangan melalui penelusuran aset pada waktu
proses analisis transaksi keuangan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan, yang
mencakup penelusuran aset yang ada di dalam negeri dan luar negeri;
6)
penelusuran aset di dalam negeri dilakukan oleh PPATK melalui
database laporan-laporan keuangan
transaksi perbankan atau laporan pembawaan uang tunai melewati batas negara,
serta melalui kerja sama dengan instansi pemerintah, perbankan, dan pihak
lainnya dalam bentuk tukar-menukar informasi atau penyusunan nota kesepahaman;
dan
7)
untuk penelusuran aset yang ada di luar negeri, PPATK
melakukan kerja sama bilateral maupun regional melalui pertukaran informasi
dengan organisasi dan perbankan internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang; dan
8)
sampai dengan bulan Oktober 2011, PPATK telah menerima
158 (seratus lima puluh delapan) laporan transaksi keuangan mencurigakan yang
diduga terkait tindak pindak terorisme yang bersumber dari penyedia jasa
keuangan, sebanyak 44 (empat puluh empat) laporan terindikasi tindak pidana
terorisme dan diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses, yang saat
ini telah menghasilkan putusan pengadilan terkait pendanaan terorisme atas nama
tersangka Abu Dujana dan Zarkasih.
e.
penyampaian topik bahasan “Implementasi International Convention For the Suppression of the
Financing of Terrorism, 1999 atau Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme ke Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia” oleh Drs.
Zafrullah Salim, M.H. (Direktur Perancangan Ditjen PP Kementerian Hukum dan
HAM), dengan inti sebagai berikut:
1)
pendanaan
terorisme erat kaitannya dengan tuntutan dunia internasional melalui konvensi
atau aturan hukum lainnya, tetapi kesulitannya adalah Indonesia tidak mengatur
secara tegas konsekuensi dan hierarki (hukum) perjanjian internasional dalam
sistem hukum dan konstitusi, sehingga Indonesia cenderung bersifat fleksibel
dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional (persetujuan DPR);
2)
dalam
konvensi internasional PBB tahun 1999 tentang
tindak pidana pendanaan terorisme,
mensyaratkan adanya kewajiban setiap negara untuk menghukum dan menjatuhkan
sanksi kepada pelaku tindak pidana pendanaan terorisme;
3)
pengaturan
konvensi internasional dalam sistem hukum Indonesia, berpedoman pada politik
luar negeri yang menganut prinsip bebas aktif yang di dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu politik
yang pada hakikatnya bebas menentukan sikap dan kebijakan terhadap permasalahan
internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan
dunia;
4)
Pasal 19 konvensi internasional PBB Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme, menyebutkan negara pihak (termasuk Indonesia) wajib
memberitahukan keputusan akhir proses pengadilan terpidana tindak pendanaan
terorisme kepada Sekjen PBB untuk disebarluaskan ke negara lain;
5)
Pasal 24 ayat (1)
konvensi internasional PBB Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,
terkait mahkamah internasional belum bisa dilakukan karena akan bersinggungan
dengan sistem hukum pidana dan acara pidana, selain itu pengajuan sengketa ke mahkamah internasional hanya dapat
dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang bersengketa dan bukan atas
dasar kewajiban;
6)
penyusunan
aturan hukum terkait terorisme dan pendanaan terorisme sebenarnya telah
diajukan dan dimasukkan dalam Prolegnas 2010-2014 yaitu RUU tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (finalisasi penyusunan) dan RUU tentang
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (dalam tahap harmonisasi);
7)
substansi
pokok dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 antara
lain kriminalisasi perbuatan persiapan terorisme, perluasan subyek dan
pertanggungjawaban pidananya termasuk korporasi, perpanjangan masa penangkapan
dan penahanan, dan revitalisasi sistem dan mekanisme pembuktian kasus dan
jaringan terorisme; dan
8)
substansi
pokok RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme antara lain memperluas
pengertian dana dan hasil kekayaan, kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme
dan perbuatan lain yang terkait dengan pendanaan terorisme, penguatan peran
PPATK, regulasi lalu lintas uang dan sumbangan, transaksi dan pemblokiran,
serta kerja sama internasional berdasarkan prinsip resiprositas dalam bentuk
ekstradisi dan/atau MLA.
f.
penyampaian pertanyaan dari para peserta FGD kepada para
narasumber:
1)
Kombes Pol Drs. Istu Hari W, S.H., M.M. (Divpropam Polri):
a)
dalam pengungkapan dan penelusuran aliran pendanaan
terorisme, kiranya perlu diberikan reward
bagi para pelapor atau pemberi informasi dalam bentuk intensif ataupun jaminan
perlindungan yang mekanisme pengaturannya dalam RUU ini dibedakan antara
pelapor perorangan dengan pelapor korporasi, sehingga masyarakat mendapat
rangsangan dan tidak takut untuk melapor apabila di lingkungannya diindikasi
terdapat kegiatan terorisme; dan
b)
dengan adanya RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme, apakah akan menimbulkan duplikasi dan disharmonisasi pengaturan
dengan aturan-aturan hukum yang sudah ada terkait masalah pendanaan ataupun
terorisme.
2)
Kombes Pol Drs. Agung Makbul, S.H., M.H. (Divkum Polri):
a)
bagaimana suatu RUU bisa disebut komplikatif ataupun
komprehensif, apakah hanya dilihat dari aspek materi muatan;
b)
penyedia jasa yang terkait dengan keuangan sangat banyak
di Indonesia, apakah hal tersebut dapat dikendalikan oleh PPATK terutama dari
segi pelaporan keuangannya karena sumber pendanaan disebutkan bisa berasal dari
legal dan juga ilegal melalui peran suatu organisasi; dan
c)
bagaimana langkah-langkah dalam penanganan dan pengawasan
eks napi terorisme yang selesai menjalani masa hukuman, karena dikhawatirkan
mereka akan kembali pada organisasinya.
3)
Kombes Pol Drs. Eko Budi Sampurno (Sops Polri):
a)
perlu perluasan pengertian korporasi dan disesuaikan
dengan pengertian korporasi dalam peraturan perundang-undangan lain, karena
pendanaan terorisme melibatkan korporasi dalam bentuk badan hukum dan yayasan;
dan
b)
perlu adanya pengaturan pengawasan terhadap sumbangan
yang ada di jalan dan pengawasan keimigrasian yang membawa uang tunai dalam
jumlah banyak, karena terorisme diduga memanfaatkan metode tersebut dalam
mendapatkan dana.
4)
Reza Fikri Febriansyah (Kementerian Hukum dan HAM):
a)
pengawasan pendanaan terorisme perlu pengaturan yang
serius, karena pendanaan terorisme disinyalir memanfaatkan uang kembalian hasil
transaksi pada swalayan atau supermarket; dan
b)
perlu adanya penetapan domestic list terhadap individu dan korporasi berdasarkan data
kementerian luar negeri, putusan pengadilan, dan publikasi pemerintah, untuk
ditetapkan sebagai individu atau organisasi terlarang.
5)
Ali A. Wibisono (Universitas Indonesia):
a)
pengaturan pendanaan terorisme dalam RUU ini perlu
dicermati kembali agar meminimalisir adanya salah tangkap karena ketidaktahuan
masyarakat yang menyumbang untuk kegiatan yang sebenarnya adalah modus
terorisme; dan
b)
perolehan dana kegiatan terorisme ada yang diperoleh dari
kegiatan pencarian dana yang legal dan orang-orang yang bertugas mengumpulkan
dana kemungkinan belum mengetahui jika hasil kegiatan tersebut untuk terorisme,
apakah nantinya akan terjerat dan dinyatakan sebagai jaringan terorisme.
g.
penyampaian jawaban dari para narasumber atas pertanyaan
dari para peserta FGD:
1)
Brigjen Pol Drs. M. Tito Karnavian, M.A. (Deputi II-BNPT):
a)
pemberian reward
dapat menimbulkan pro-kontra di masyarakat dan tidak bisa dilegalkan dengan
undang-undang, serta dikhawatirkan akan memunculkan kelompok baru sebagai
pencari keuntungan dengan menjadi pelapor, yang akan bentrok dengan kelompok
terorisme yang merasa terusik dengan sepak terjang kelompok informan;
b)
terhadap eks napi terorisme diperlukan kerja sama dan
koordinasi antara pihak intelijen dengan pihak lembaga permasyarakatan untuk
pengawasan secara periodik, karena berdasarkan evaluasi terhadap 23 (dua puluh
tiga) napi yang telah bebas, mereka kembali ke kelompoknya dan justru membuat
jaringan yang lebih kuat, karena terorisme mempunyai 3 (tiga) cara memperkuat
eksistensi mereka yaitu melalui strategi defensif, merekrut tentara grass root, dan menantang pemerintah
secara terang-terangan; dan
c)
pengaturan terhadap bentuk-bentuk sumbangan sangat sulit
dan harus diatur dengan hati-hati, karena sumbangan yang berupa zakat merupakan
kewajiban dalam agama Islam, selain itu lembaga pengumpul zakat banyak yang berbadan
hukum dan mencari dana secara legal sehingga aparat kesulitan menelusuri aliran
dana dalam lembaga tersebut, terlebih dengan adanya prinsip asas praduga tak
bersalah bagi setiap subyek hukum.
2)
Muhammad Yusuf, S.H., M.H. (Kepala PPATK):
a)
pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan dan lembaga
pengumpul dana dari masyarakat membutuhkan koordinasi dari berbagai instansi
atau kementerian, karena saat ini jumlah yayasan yang berhasil di data sebanyak
21.569 yayasan dengan berbagai latar belakang seperti agama, sosial, dan
pendidikan;
b)
tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK alan
mewajibkan setiap badan usaha untuk melaporkan regulatornya kepada PPATK,
termasuk kepada penyedia jasa keuangan, emas, barang antik, dan dealer mobil
mewah;
c)
pengaturan domestic
list terhadap individu atau korporasi yang dinyatakan terlarang akan sulit
diterapkan mengingat kondisi sosial masyarakat Indonesia dan dibutuhkan
kualifikasi yang benar-benar tidak cacat hukum dalam menentukan status
terlarang, agar tidak timbul kasus salah tangkap yang justru melanggar HAM serta
kembali mengulang kesalahan seperti pada era 1960-1970 saat pembersihan
sisa-sisa kelompok komunis di Indonesia; dan
d)
pengaturan terhadap supermarket dan petugas pengumpul
sumbangan di jalan pun akan menemui kesulitan dalam implementasinya, karena
adanya asas praduga tak bersalah dan ketidaktahuan mereka bahwa hasil sumbangan
tersebut ternyata untuk terorisme, dan kalaupun berhasil dibuktikan maka akan
menemui kendala pada saat di pengadilan dikarenakan belum adanya visi yang sama
antara aparat dengan hakim dalam menjerat pelaku dan jaringan terorisme dengan
hukuman seberat-beratnya.
3)
Drs. Zafrullah Salim, M.H. (Direktur Perancangan Ditjen
PP Kementerian Hukum dan HAM):
a)
definisi korporasi tidak bisa disamakan dengan definisi
pada peraturan perundang-undangan lain yang sudah ada, karena korporasi dalam
pendanaan terorisme berbeda dengan tindak pidana lain terutama berdasarkan
status badan hukumnya;
b)
duplikasi antar perundang-undangan dalam pengaturan
materi muatan sudah pasti ada karena perundang-undangan baru disusun dengan
menyesuaikan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini agar lebih komprehensif,
karena jika dipaksakan mengikuti materi yang lama sudah tidak relevan dan tidak
implementatif; dan
c)
RUU yang komplikatif yaitu materi muatannya sebagian
sudah diatur dalam aturan hukum lain dan menimbulkan disharmonisasi terutama
ditinjau dari aspek istilah, susbtansi, dan prosedur (hukum acara di luar
KUHAP), sedangkan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme nantinya
mengarah pada tindak pidana tersendiri dan terpisah dari tindak pidana
terorisme sehingga bersifat lex
specialist dengan cakupan yang diperluas terutama dari segi kewenangan
dengan tetap menjunjung tinggi HAM.
h.
diskusi antar peserta FGD, yang terbagi dalam 2 (dua)
kelompok untuk membahas, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap
materi/substansi RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, terdiri dari:
1)
Kelompok I, dengan critical
point sebagai berikut:
a)
pengaturan yang perlu ditambahkan dalam RUU ini yaitu
mengenai pengontrolan pendanaan yang bersumber dari kegiatan halal, pengawasan
pendanaan dari sumber tunai khususnya mata uang asing;
b)
Pasal 2, perlu perubahan redaksi kalimat yang menyatakan
bahwa undang-undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau
bermaksud melakukan pendanaan untuk kegiatan terorisme di wilayah dan/atau di
luar negara RI;
c)
Pasal 3, perlu penambahan subyek yang akan dikenakan
dengan berlakunya undang-undang ini;
d)
Bab VI, disarankan adanya penambahan kewenangan penyidik
Polri dalam pengawasan dan pemeriksaan terhadap pembawaan uang tunai terkait
pendanaan terorisme;
e)
Pasal 25 ayat (2), perlu adanya perubahan redaksi yang
mengatur penundaan transaksi tanpa batas waktu sampai dengan ada pembuktian,
guna memudahkan penanganan transaksi keuangan oleh PPATK;
f)
Pasal 27 ayat (1) perlu diatur pelaksanaan pemblokiran
yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan selain atas dasar perintah PPATK
juga atas permintaan penyidik Polri;
g)
Pasal 33 ayat (6), penyerahan BAP pemblokiran kepada
penyidik, penuntut umum, atau hakim, sebaiknya dilakukan paling lama 3 (tiga)
hari kerja guna mengantisipasi pemblokiran yang dilaksanakan pada hari libur;
dan
h)
perlu adanya penambahan bab mengenai perlindungan kepada
saksi, pelapor, dan pejabat yang menangani kasus pendanaan terorisme.
2)
Kelompok II, dengan critical
point sebagai berikut:
a)
perlunya penyederhanaan judul RUU yaitu ”pendanaan
terorisme”, dikarenakan kegiatan tersebut sudah termasuk tindak pidana;
b)
pada pasal yang mencantumkan lama hukuman, disarankan
ditambahkan hukuman pidana paling sedikit 5 (lima) tahun guna memberikan efek
jera bagi pelaku atau jaringan yang terlibat;
c)
Pasal 13 perlu diperjelas aturan hukum yang dimaksud,
KUHAP atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme;
d)
Pasal 32, perlu penambahan satu ayat yang mengatur
pembukaan rekening atas izin Kapolri atau Kapolda; dan
e)
pasal yang mengatur masalah penyitaan, sebaiknya cukup
dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan oleh pengadilan dan tidak perlu menyertakan
penuntut umum.
i.
Sambutan Penutupan FGD dari Kadivkum Polri, yang
disampaikan oleh Kabagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri, Kombes Pol Drs. Bambang
Sri Herwanto, M.H., dengan inti sebagai berikut:
1)
melalui kegiatan FGD ini,
diharapkan Polri dapat berkontribusi dalam memberikan masukan yang konstruktif
untuk penyempurnaan substansi RUU tentang Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme, sebagai bagian keikutsertaan Polri dalam
pembinaan hukum nasional, dengan tujuan terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh
konsitusi dan undang-undang;
2)
hal-hal positif yang dihasilkan dari FGD ini
akan diteruskan kepada para stakeholder,
sehingga diharapkan RUU ini nantinya akan lebih baik dari sisi substansi, dan
utamanya mampu mengidentifikasi dan mengkriminalisasikan bidang-bidang
pembiayaan di indonesia yang output dananya
dipergunakan untuk kepentingan operasi terorisme;
3)
terkait
permasalahan pendanaan terorisme, wilayah asia telah menjadi target sasaran
operasi para teroris utamanya untuk pengembangan sisi finansial mereka sebagai
unsur esensial terlaksananya kegiatan teror, oleh karenanya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme yang selama ini dilakukan tidak akan
efektif dan optimal bila tidak dibarengi dengan pengkriminalisasian sisi
pendanaan tindak pidana terorisme, apalagi bila mengingat kegiatan terorisme
pada era modern ini sering dibiayai oleh sumber pendanaan yang halal; dan
4)
berkenaan
dengan hal tersebut, poin utama dalam RUU ini adalah bagaimana menciptakan
sinergitas antara kaidah atau norma mengenai kriminalisasi pendanaan terorisme
dengan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini sehingga mampu
mengidentifisir dan meminimalisir sumber-sumber pendanaan tindak pidana
terorisme untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme itu sendiri.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan:
a.
RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme disusun
guna menindaklanjuti dan mengungkap jaringan-jaringan pelaku terorisme dengan
mengikuti aliran dana keuangan yang dicurigai untuk membiayai aksi-aksi
terorisme;
b.
RUU
tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme diarahkan sebagai lex specialist dan terpisah dengan
tindak pidana terorisme, yang secara garis besar materi muatannya mengatur
mengenai asas, kriminalisasi tindak pindana pendanaan terorisme dan tindak
pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, pelaporan
dan pengawasan kepatuhan, mekanisme pemblokiran, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerjasama baik nasional maupun internasional
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme;
c.
pendanaan untuk kegiatan terorisme disinyalir
memanfaatkan jasa lembaga pengumpul dana atau berasal dari sumbangan-sumbangan
yang mengatasnamakan yayasan agama, sosial, ataupun pendidikan, sehingga
perlunya pengaturan terkait individu ataupun korporasi yang diduga terlibat
dalam aliran dana untuk kegiatan terorisme; dan
d.
instrumen hukum yang mengatur pendanaan terorisme
dirasakan masih minim dan sebatas pada undang-undang tentang tindak pidana
terorisme serta undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, sehingga terdapat kesulitan bagi aparat penegak hukum
dalam melacak, menangkap, mengungkap, serta menjerat organisasi dan pelaku
pendanaan terorisme dikarenakan belum adanya aturan hukum yang mengatur secara
rinci dan khusus di bidang pendanaan terorisme, yang melibatkan berbagai pihak
yang terkait.
2.
Saran:
a.
pengaturan terhadap pendanaan terorisme yang berkaitan
dengan sumbangan dari masyarakat perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian,
karena disatu sisi sumbangan tersebut diduga dimanfaatkan untuk kegiatan
terorisme namun disisi lain pemerintah tidak bisa melarang masyarakat untuk
memberikan sumbangan yang ada di jalan atau melalui lembaga penyalur
dikarenakan sumbangan yang berupa sedekah atau zakat merupakan salah satu
kewajiban dalam agama Islam;
b.
perlu adanya pengharmonisasian materi dan substansi dalam
RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, agar tidak tumpang tindih dengan
tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana terorisme, dengan batasan
kewenangan yang jelas pada masing-masing instansi yang terlibat dalam
penanganan pendanaan (Polri, PPATK, BNPT, penyedia jasa keuangan dan
perbankan);
c.
pengaturan masalah pemidanaan terhadap individu ataupun
korporasi dalam pendanaan terorisme perlu memperhatikan asas praduga tak
bersalah dan menjunjung hak asasi manusia, sebagai contoh masyarakat yang
menyumbang untuk lembaga pengumpul sumbangan melalui rekening bank dan ternyata
sumbangan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme tanpa sepengetahuan
penyumbang); dan
d.
perlu koordinasi dan kerja sama dari para pihak termasuk
instansi/kementerian terkait dalam menanggulangi pendanaan terorisme melalui
pengawasan terhadap perorangan, yayasan, atau badan hukum yang mencari dana
atau donasi dengan latar belakang alasan keagamaan, sosial, dan pendidikan.
3.
Demikian laporan pelaksanaan FGD RUU tentang Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme yang mengambil tema ”Menjadikan RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Sebagai Aturan Hukum Yang Komprehensif Untuk Mencegah dan Memberantas Tindak
Pidana Terorisme Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri”, disampaikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran dan rencana kerja
Divkum Polri T.A. 2011.
Mengetahui:
KAROSUNLUHKUM DIVKUM POLRI
Ttd.
Dr. R.M. PANGGABEAN, S.H., M.H.
BRIGADIR JENDERAL POLISI
|
Jakarta, November 2011
KABAGSUNKUM ROSUNLUHKUM
SELAKU
KETUA PELAKSANA FGD
Ttd.
Drs. BAMBANG SRI HERWANTO, M.H.
KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 62030473
|