KEGIATAN DAN SERTIFIKAT
JILID II (JULI-DESEMBER 2011)
Uray Mohammad Fachriansyah
17110036 – 5 KA 20 Universitas Gunadarma
Selaku Staf Divisi Hukum Mabes Polri
Setelah
mendapatkan berbagai sertifikat pada Januari-Juni 2011, saya kembali mengikuti
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi saya Divisi Hukum Polri,
terutama yang terkait dengan peraturan perundang-undangan. Kegiatan yang
diikuti yaitu seminar atau Focus Group Discussion (FGD) terhadap Rancangan
Undang-Undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Kementerian Hukum dan
HAM.
FGD
dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai saran masukan Polri terhadap
materi/substansi RUU tersebut, dengan mengundang perwakilan Polda-Polda dan
narasumber yang terkait dengan materi, agar nantinya tidak saling tumpang
tindih kewenangan pada saat diimplementasikan.
I.
RUU tentang Senjata Api dan Bahan Peledak
Pelaksanaan :
Selasa, 9 Agustus 2011
Tempat :
Park Hotel - Cawang
Peserta : perwakilan
Dirintelkam dan Kabidkum Polda, Kemenkum dan HAM, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Badan Intelijen Negara, Komnas HAM, PINDAD, PB.
Perbakin
Tema : KONSEPSI RUU SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK YANG IDEAL DALAM UPAYA MENATA
PEREDARAN, PENGGUNAAN, PENYALAHGUNAAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK GUNA
MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI
Narasumber : Prof. Dr. Gayus Lumbuun,
S.H., M.H. (Anggota Komisi III DPR-RI), dengan topik bahasan ”Pembangunan
Politik Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Peredaran Senjata Api dan Bahan
Peledak Ilegal”
Bambang Jaka Setiawan
(Kasubdit Barang Kimia, Tambang, dan Limbah) yang mewakili Direktur Impor
Kementerian Perdagangan, dengan topik bahasan ”Peningkatan Kerja Sama Stakeholder Dalam Rangka Pengawasan,
Pemasukan, Peredaran Bahan Peledak”
Komjen Pol Drs. Pratiknyo
(Kabaintelkam Polri) yang diwakilkan oleh Kombes Pol Kustoni Sumardi, S.IP
(Kabidyanmas Baintelkam Polri), dengan topik bahasan ”Peran Pemerintah Dalam
Menata Peredaran dan Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak Guna Mewujudkan Keamanan
Dalam Negeri”
Kesimpulan : dilatarbelakangi
oleh kurang memadai dan ketertinggalan instrumen hukum pengaturan senjata api
dan bahan peledak yang ada saat ini, Polri selaku garda terdepan dalam menjaga
dan memelihara keamanan dalam negeri, perlu mengambil insiatif dan langkah
konstruktif melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang Senjata Api dan Bahan
Peledak yang komprehensif dan bersifat penyempurnaan materi muatan yang sudah
tidak relevan serta memuat materi baru yang saat ini belum ada dan belum
terjangkau oleh perundang-undangan sebelumnya, misalnya pengaturan perkembangan
teknologi persenjataapian, senjata tajam, bahan baku yang bukan peledak namun
apabila dicampur bisa menjadi bahan peledak, airsoft gun, dan benda lain yang menyerupai senjata api.
mengingat Rancangan
Undang-Undang Senjata Api dan Bahan Peledak termasuk Prolegnas Prioritas Tahun
2012, Polri perlu melakukan penggalangan dukungan baik dari internal Polri
maupun dengan stakeholder lain di
pemerintahan atau swasta yang selama ini memiliki kewenangan dan kepentingan
terhadap senjata api dan bahan peledak, agar tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan dan perizinan serta meningkatkan pengawasan bersama di berbagai
sektor yang rawan penyalahgunaan dan penyimpangan
II.
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
Pelaksanaan : Rabu,
12 Oktober 2011
Tempat :
Hotel Mahardja – Tendean
Peserta : perwakilan
Kabidkum Polda, Dirbinmas Polda, Kasatreskrim Polres, Kasubbagkum Polres, dan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Sosial, Badan Intelijen Negara, Dinas Sosial Pemda DKI
Jakarta, Satpol PP DKI Jakarta, KOMNASHAM, KONTRAS, dan Asean Foundation
Tema : PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DALAM MENUNJANG STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI
Narasumber : Kabaharkam Polri, Komisaris Jenderal Polisi
Drs. Imam Sudjarwo, M.Si., dengan pokok bahasan “Peran Polri Dalam Penanganan
Konflik Sosial di Indonesia”
Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola, dengan pokok
bahasan “Konflik Sosial Ditinjau Dari Sosiologi dan Perspektif Budaya Indonesia
dan Solusi Pencegahannya”
Dr. Ihsan Ali Fauzi, M.A., dengan pokok
bahasan “RUU Penanganan Konflik Sosial Dihadapkan Dengan Potensi Konflik Antar
Masyarakat, Suku, Etnis, Agama, dan Permasalahan Sosial Lainnya”
Kesimpulan : RUU tentang Penanganan Konflik Sosial apabila
akan diteruskan pembahasannnya, diperlukan penyusunan materi muatan yang lebih
responsif dan implementatif, tinjauan aspek akademis mengenai pengelolaan
konflik yang solutif, dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lain
agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, serta perlu dikaji aspek
urgenitas dan kontinuitas RUU tersebut agar bisa diimplementasikan untuk jangka panjang.
penyelesaian konflik
sosial melalui pembentukan aturan hukum dan lembaga baru bukanlah solusi yang
paling utama, tetapi perlu mengoptimalkan potensi yang ada melalui manajemen
penanganan konflik dan membuat pemetaan peraturan perundang-undangan yang
terkait penanganan konflik serta pemetaan wilayah rawan konflik, sehingga
kedepannya pemerintah dapat mengantisipasi dan menyiapkan langkah strategis
dalam penyelesaian konflik sosial dengan meminimalisir cara-cara kekerasan dan tetap menjunjung HAM.
konflik sosial dapat
diminimalisir apabila semua komponen atau instansi terkait dapat bekerja sama
melalui deteksi dan pencegahan penyebaran bibit pemicu konflik. Polri sifatnya bertanggung
jawab di bidang keamanan, sedangkan untuk memberikan penjelasan atau
penyelesaian terhadap ketidakpuasan masyarakat yang menjadi pemicu konflik,
perlu melibatkan instansi terkait dan pemberdayaan masyarakat secara sinergis
sesuai permasalahan yang dihadapi agar konflik sosial tidak meluas,
berkepanjangan, dan berulang.
III.
RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi
Pelaksanaan : Kamis,
27 Oktober 2011
Tempat :
Hotel Mahardja – Tendean
Peserta : perwakilan
Kabidkum Polda, Dirreskrim Polda, Kasatreskrim Polres, Kasubbagkum Polres, dan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Komunikasi dan Informasi, dan lembaga non pemerintah yang membidangi masalah
pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia.
Tema : KONSEPSI IDEAL RUU
TENTANG TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEAMANAN,
KEPASTIAN HUKUM, DAN KETERTIBAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
Narasumber : Kabareskrim
Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs. Sutarman, dengan pokok bahasan “Strategi
dan Kesiapan Penyidik Polri dalam Menghadapi Perkembangan Cyber Crime serta Kerja Sama dengan Penegak
Hukum Negara Lain”
Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LL.M, dengan pokok
bahasan “Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Tindak Pidana
Teknologi Informasi (Cyber Crime)”
KMRT Roy Suryo (Anggota DPR-RI), dengan pokok
bahasan “Pembangunan Politik Hukum Menjadikan RUU Tindak Pidana Teknologi
Informasi Menjadi Undang-Undang yang Bersifat Lex Specialist”
Kesimpulan : RUU ini diarahkan menjadi
lex specialist sehingga pengaturan
materi muatannya harus jelas, bisa menjerat pelaku cybercrime dengan berbagai modus, dan berlaku untuk jangka panjang,
agar jangan sampai ketika ada kasus kejahatan baru yang tidak diatur dalam RUU
namun menggunakan modus teknologi informasi, pemerintah malah membuat instrumen
hukum yang baru yang justru semakin membuat tumpang tindih pengaturan.
penyelesaian kasus cybercrime tidak hanya dari instrumen
hukum, tetapi dibutuhkan kerja sama para pemangku kepentingan, aparat penegak
hukum, dan peran serta masyarakat, contoh kasus pencurian pulsa dibutuhkan
keseriusan operator jasa telekomunikasi untuk menjaga kerahasiaan data
pelanggan dan mengedepankan pelayanan dengan mengesampingkan profit oriented, pemerintah selaku
regulator harus mampu menertibkan registrasi pelanggan dan konsisten dalam
menjalankan suatu aturan, pihak kepolisian harus mampu mengembangkan kemampuan
personal di bidang teknologi informasi guna membantu tugas penyidikan, dan
peran serta masyarakat untuk tertib registrasi dan tidak mudah terpengaruh
layanan-layanan yang tidak jelas keabsahan dan legalitasnya
IV.
RUU tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Pelaksanaan : Selasa, 22 November 2011
Tempat : Hotel Mahardja – Tendean
Peserta : perwakilan
Kabidkum Polda, Dirreskrim Polda, Kasatreskrim Polres, Kasubbagkum Polres, dan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Keuangan, PPATK, BNPT, dan Program Pasca Sarjana Studi Terorisme dan Keamanan
Nasional Universitas Indonesia.
Tema : MENJADIKAN RUU TENTANG TINDAK PIDANA PENDANAAN
TERORISME SEBAGAI ATURAN HUKUM YANG KOMPREHENSIF UNTUK MENCEGAH DAN MEMBERANTAS
TINDAK PIDANA TERORISME DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI
Narasumber : Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) diwakili oleh Deputi II BNPT Brigjen Pol Drs. M. Tito
Karnavian, M.A, dengan pokok bahasan “Strategi dan Kesiapan BNPT Dalam
Pemberantasan Terorisme Melalui Pencegahan dan Pemberantasan Pembiayaan
Terorisme Dengan Mengejar Sumber Uangnya (Follow
the Money)”
Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan, (PPATK) Muhammad Yusuf, S.H., M.H., dengan pokok bahasan “Strategi
dan Peran PPATK Dalam Melakukan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Pengawasan
Terhadap Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan, dan Kerja Sama Dengan Aparat
Penegak Hukum”
Direktur
Perancangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Drs.
Zafrullah Salim, M.H., dengan pokok bahasan ”Implementasi International Convention For the Suppression of the
Financing of Terrorism, 1999 atau Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme ke Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”
Kesimpulan : pengaturan terhadap pendanaan terorisme yang berkaitan dengan sumbangan
dari masyarakat perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, karena disatu
sisi sumbangan tersebut diduga dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme namun
disisi lain pemerintah tidak bisa melarang masyarakat untuk memberikan
sumbangan yang ada di jalan atau melalui lembaga penyalur dikarenakan sumbangan
yang berupa sedekah atau zakat merupakan salah satu kewajiban dalam agama
Islam.
perlu
adanya pengharmonisasian materi dan substansi dalam RUU tentang Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme, agar tidak tumpang tindih dengan tindak pidana pencucian
uang atau tindak pidana terorisme, dengan batasan kewenangan yang jelas pada
masing-masing instansi yang terlibat dalam penanganan pendanaan (Polri, PPATK, BNPT,
penyedia jasa keuangan dan perbankan).
pengaturan
masalah pemidanaan terhadap individu ataupun korporasi dalam pendanaan
terorisme perlu memperhatikan asas praduga tak bersalah dan menjunjung hak
asasi manusia, sebagai contoh masyarakat yang menyumbang untuk lembaga
pengumpul sumbangan melalui rekening bank dan ternyata sumbangan tersebut
dimanfaatkan untuk kegiatan terorisme tanpa sepengetahuan penyumbang).
perlu
koordinasi dan kerja sama dari para pihak termasuk instansi/kementerian terkait
dalam menanggulangi pendanaan terorisme melalui pengawasan terhadap perorangan,
yayasan, atau badan hukum yang mencari dana atau donasi dengan latar belakang
alasan keagamaan, sosial, dan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar