KEMACETAN IBUKOTA JAKARTA
DARI SUDUT PANDANG SEORANG WARGA
CHAPTER 1
Kemacetan….adalah hal yang sekarang
menjadi pemandangan umum bagi penduduk Ibukota DKI Jakarta, yang hampir terjadi
setiap saat..setiap minggu..pada jam-jam berangkat atau pulang sekolah/kantor,
atau pada jam-jam penduduk menikmati liburan.
Terbatasnya jumlah ruas jalan di
ibukota, berbanding terbalik dengan jumlah kendaraan yang berlalu-lalang dan
dimiliki oleh penduduk Jakarta. Beberapa pejabat pemerintah c.q Pemda DKI dan
instansi-instansi terkait termasuk Gubernur DKI Jakarta telah mengupayakan
berbagai solusi pemecahan kemacetan yang semakin parah dan semakin membuat
penduduk Jakarta mengalami stress pada jam-jam tertentu.
Sebagai warga Ibukota yang telah
bermukim selama 28 tahun, saya mengambil kesimpulan tentang apa yang sebenarnya
terjadi mengenai kemacetan di Ibukota Jakarta, sebagai berikut:
v Faktor Penyebab:
Kemacetan yang semakin parah, tidak
terjadi begitu saja dan sudah pasti ada penyebabnya, karena sebelum memasuki
tahun 2000, lalu lintas di Ibukota
tidaklah semacet sekarang. Perubahan drastis kemacetan yang terjadi saat ini
antara lain disebabkan faktor sebagai berikut:
1.
Terbatasnya
ruas jalan.
Jumlah jalan yang ada
di Ibukota sudah mencapai batasan yang direncanakan karena disesuaikan dengan
jumlah lahan terbuka yang ada, sehingga jumlah ruas jalan terutama jalan
protokol, jalan besar, jalan utama, dan jalan-jalan yang bisa dilalui kendaraan
dan berada pada posisi strategis menjadi tidak bisa dikembangkan lagi, kalaupun
dimodifikasi hanya berupa pembangunan underpass atau flyover yang disusun
bertumpuk dengan jalan yang sudah ada, namun hal tersebut justru menimbulkan
kemacetan baru pada saat pembangunannya;
Akibatnya kendaraan
semakin terfokus dan terkonsentrasi pada ruas-ruas jalan tersebut terutama pada
jam-jam berangkat atau pulang kantor/sekolah, selain itu kurangnya informasi
ruas jalan alternatif mengakibatkan kemacetan bertumpuk pada jalan-jalan
tertentu sepeti jalan Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, H.R. Rasuna
Said, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Kalimalang, Mayjen S. Parman, Daan Mogot,
dan Jalan Ciledug Raya;
2.
Menurunnya
kualitas jalan.
Selain jumlah ruas
jalan yang sedikit, kualitas jalan yang dibangun di Ibukota pada akhir-akhir ini semakin
kurang baik. Ada beberapa jalan yang baru diperbaiki, namun 6 (enam) bulan ke
depan sudah mulai tergerus atau mulai berlubang. Padahal sebelum tahun 2000
jalan di daerah Tanjung Priok misalnya, jarang sekali mengalami kendala
sekalipun dilewati kendaraan dengan ukuran dan beban yang melampaui ketentuan;
Mungkin hal tersebut
diakibatkan perencaan spesifikasi jalan yang kurang tepat dan kurang diteliti
sebelumnya, selain itu sudah bukan rahasia umum, jika proyek pembangunan jalan
sarat dengan praktek korupsi terutama mengenai kualitas barang yang diadakan,
sebagai contoh : aspal yang seharusnya kualitas A dengan harga Rp. 250.000 per
satuannya, namun karena pejabat pelaksananya bermental korupsi sehingg aspal yang
disediakan berkualitas C dengan harga Rp. 100.000, yang mempengaruhi kualitas
dan ketahanan aspal tersebut;
3.
Volume
Produksi dan Pemakaian Kendaraan.
Nah, untuk yang satu
ini bisa dibilang sumber kedua penyumbang kemacetan di Ibukota. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa pemilikan terhadap suatu barang dengan cara legal adalah
Hak Asasi Manusia, apalagi gaya hidup di Jakarta yang sarat dengan borjuis
mengakibatkan kebutuhan akan mobil atau motor menjadi tidak terkontrol, bahkan
satu keluarga elit di Jakarta rata-rata mempunyai mobil di atas 3 (tiga) buah.
Bisa dibayangkan
apabila di satu komplek perumahan Pondok Indah atau Bintaro, terdapat +
100 kepala keluarga yang kesemuanya penuh dengan aktivitas dengan jumlah mobil
4 (empat) buah, keluar atau pulang bersamaan pada jam 06.00 atau 17.00 WIB,
sudah pasti akan menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Yang satu akan
berangkat kerja, yang satu diantar pembantu ke sekolah, yang satu mengantar
nyonya ke pasar modern, dan yang satu untuk kuliah.
4.
Konsentrasi
Tujuan Berkendara yang tidak merata.
Rata-rata kemacetan
yang terjadi di Ibukota karena alasan berangkat ke kantor atau berwisata,
sedangkan kedua adalah ke sekolah. Terkait masalah pekerjaan kantor atau
wisata, lokasi perkantoran yang ada di
Jakarta terpusat pada daerah tertentu dan tidak merata, sehingga kemacetan di
daerah tersebut sudah pasti akan terkumpul dan terkonsentrasi untuk jangka
waktu yang cukup lama, misalnya situasi sore hari pada jam pulang kerja di
daerah Thamrin dengan di daerah Kembangan Jakarta Barat, berbeda 180 derajat
karena pusat perkantoran banyak dibangun di daerah tersebut.
Selain itu
pembangunan pusat wisata terutama wisata belanja dan kuliner juga ikut
menimbulkan kemacetan baru, misalnya kawasan elit kemang atau pejaten sebagai
pusat nongkrong anak muda katanya, akan menimbulkan kemacetan pada hari-hari weekend.
5.
Kesadaran
dan Ketertiban Pengendara, serta peran Polantas.
Inilah yang menjadi
penyebab utama kemacetan yang terjadi di Jakarta pada akhir-akhir ini. Kesadaran
dan ketertiban dalam berkendara semakin menurun, masing-masing pengendara ingin
cepat sampai dan mengabaikan kedisplinan terutama dalam antrian, akibatnya pada
titik tertentu di perempatan atau pertigaan, terjadilah simpul kemacetan dengan
kendaraan yang saling berdesakan dan tidak ada yang mengalah serta mengabaikan
aturan atau pengatur lalu lintas.
Namun simpul
kemacetan tersebut sebenarnya bisa diminimalisir apabila petugas dalam hal ini
Polantas sigap dalam mengantisipasi. Percuma mereka mempunyai Traffic Management Center (TMC) yang
hanya bisa mengabarkan informasi lalu lintas tanpa didukung kehadiran langsung
dari Polantas di titik kemacetan tersebut. Sering pada saat tertentu kehadiran
Polantas tidak ditemui pada jam-jam sibuk, kalaupun ada banyak oknum Polantas
yang bahkan memanfaatkan situasi tersebut untuk menilang tanpa sebab yang
jelas.
6.
Program
Pemerintah yang kurang efektif.
Peran pemerintah c.q
Pemda DKI dalam mengatasi kemacetan, sebenarnya sudah cukup banyak, namun
sayang karena kurangnya pengkajian yang mendalam mengenai AMDAL dan lain-lain,
solusi yang dibuat pemerintah melalui program-program kurang berhasil bahkan
bisa dikatakan gagal.
Contoh :
v Monorel, yang
dikarenakan alasan klasik (baca : DANA) program tersebut terhenti dan kini
tiang-tiangnya lebih cocok sebagai museum yang menceritakan sejarah gagalnya
pemerintah dalam mengatasi kemacetan.
v Busway, program yang
digadang-gadang bakal sukses di masyarakat, namun kenyataannya malah membuat
kemacetan, kecelakaan, dan kebakaran bagi bus itu sendiri, yang mungkin
disebabkan tender yang tidak sesuai spesifikasi bus yang seperti ada di
Kolombia (negara studi banding DPR-RI soal transportasi).
v Pembangunan flyover
atau underpass yang kurang dikaji dan ditelaah efek, manfaat, dan waktu
penyelesaian, seperti pembangunan flyover kuningan-kampung melayu yang
pengerjaannya terkesan molor dan menunggu anggaran, sehingga lambat dan kotor
dalam pengerjaannya dan malah semakin menimbulkan kemacetan parah.
***** To Be Continue… *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar