LOKAKARYA DIVKUM POLRI
Implementasi Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Guna Memenuhi Rasa Keadilan dan Kepastian Hukum
q Latar Belakang
Dalam
dua dekade terakhir, kemajuan teknologi informasi tumbuh dengan pesat dan mengubah
seluruh sektor kehidupan masyarakat melalui penggunaan internet pada berbagai
aktivitas serta terbentuknya komunitas dunia maya atau cyberculture, yang ditandai antara lain dengan penggunaan gadget dengan fitur mutakhir, peningkatan
transaksi berbasis marketplace/e-commerce,
hingga tren komunikasi melalui media sosial elektronik.
Kemajuan
tersebut disatu sisi jelas berdampak positif bagi masyarakat dengan semakin
mudah dan cepatnya transaksi dan komunikasi serta semakin meratanya tingkat
melek teknologi di masyarakat. Akan tetapi setiap perubahan di masyarakat
tentunya akan diiringi pelaku kejahatan yang mencari celah dan memanfaatkan
teknologi informasi tersebut sehingga memunculkan modus/jenis kejahatan yang
dikenal sebagai cybercrime mulai dari
peretasan, scamming, dan phising. Disamping itu kemajuan
teknologi informasi dan penggunaannya yang tidak diikuti literasi dan budaya
hukum, rentan memunculkan pelanggaran HAM yang berujung pidana mulai dari hatespeech, pornografi, penyebaran
hoaks, hingga pencemaran nama baik.
Sebagaimana adagium Lex Samper Dabit Remedium, hukum harus hadir memberikan solusi untuk mencegah dan menghukum pelaku kejahatan siber atau
pelanggaran teknologi informasi serta menghadirkan rasa aman dan keadilan bagi cybercommunity.
Pengaturan hukum siber yang menjadi
rujukan berbagai negara salah satunya bersumber dari The Convention on Cybercrime
Tahun 2001 (Seri Perjanjian Eropa No. 185), yang mengatur kebijakan kriminal
untuk melindungi masyarakat
dari kejahatan
siber.
Sedangkan
di Indonesia
dalam Pasal
28 F UUD Negara RI Tahun 1945, negara
menjamin hak warga negara untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosial, serta mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Sedangkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia selain hak yang diberikan konstitusi, diatur hak setiap orang
untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati Nurani
secara lisan/tulisan melalui media cetak/elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai
agama/susila, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa (Pasal 23 ayat
(2)), serta hak untuk tidak diganggu dalam surat-menyurat dan komunikasi
melalui sarana elektronik kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang
sah menurut UU (Pasal 32).
Berangkat dari dasar hukum tersebut, lahir UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diikuti
perubahan pertama dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, sebagai Lex Specialis
dan Cyberlaw di Indonesia. UU ITE yang digadang-gadang menjadi guardian
ruang siber, justru banyak menimbulkan resisten di masyarakat yang mengganggap
UU ITE tumpul dalam memberantas kejahatan siber seperti penipuan online,
pencurian data, atau pembobolan rekening yang terus meningkat, ditambah
pasal-pasal UU ITE banyak beririsan dengan UU lain (KUHP dan UU tindak pidana
khusus lainnya).
Implementasi UU ITE oleh sebagian masyarakat dianggap
tajam dalam menangani pelanggaran-pelanggaran di media sosial elektronik bahkan
terkesan overkriminalisasi terhadap kritik/kebebasan berpendapat. Sehingga
kasus-kasus pelanggaran media sosial elektronik dan kebebasan berpendapat yang
dijerat UU ITE sering menjadi viral karena tidak memenuhi rasa keadilan di
masyarakat.
Merespon kegelisahan masyarakat atas implementasi UU
ITE, pemerintah di Tahun 2021 juga menerbitkan Keputusan Bersama antara
Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi atas Pasal
Tertentu Dalam UU ITE (Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 36) dalam rangka keseragaman
penafsiran oleh penegak hukum dalam penanganan kasus jeratan UU ITE agar
terpenuhi kepastian hukum dan keadilan di masyarakat.
Disamping itu, dalam rangka reformasi hukum pemerintah
menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) sebagai KUHP Nasional/ KUHP Baru guna menggantikan KUHP lama warisan
kolonial yang saat ini masih digunakan oleh penegak hukum tetapi dianggap sudah
tidak relevan dengan dinamika masyarakat terutama terkait kemajuan teknologi
informasi.
KUHP Baru mengusung paradigma baru dalam pemidanaan
dengan mengutamakan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif, serta
mengusung misi salah satunya rekodifikasi dengan mengembalikan KUHP sebagai
“induk” dari aturan tindak pidana dan memasukkan kembali dan mencabut
pasal-pasal tertentu terkait tindak pidana yang tersebar di berbagai UU lain.
Substansi KUHP Baru yang terkait UU ITE diantaranya
pemuatan tindak pidana terhadap informatika dan elektronika serta tindak pidana
dengan menggunakan sarana teknologi informasi, pengecualian pemidanaan untuk
tindak pidana tertentu dalam hal untuk kepentingan umum dan membela diri, serta
pencabutan pasal-pasal tertentu dalam UU ITE dan penggantian pengacuan
pasal-pasal dalam UU ITE ke pasal-pasal dalam KUHP Baru (Bab XXXVII Ketentuan
Penutup, Pasal 622 ayat (1) huruf r dan dan ayat (10)).
Untuk mengisi kekosongan hukum atas pasal-pasal UU ITE
yang dicabut oleh KUHP Baru, dibentuk UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan
Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagai UU ITE 2.0, dengan beberapa pasal perubahan berlaku sampai dengan
diberlakukannya KUHP Baru pada Januari 2026. Selain mengusung misi keadilan
restorative dengan pengecualian pemidanaan terkait kepentingan umum dan membela
diri serta pelindungan terhadap anak, UU ITE 2.0. hadir untuk memperbaiki
pasal-pasal tertentu yang sering diajukan judicial review ke MK atau
dianggap overkriminalisasi oleh masyarakat.
Polri sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, tentunya
harus senantiasa responsif dan adaptif terhadap dinamika hukum dan masyarakat
termasuk menyikapi pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2024 atau UU ITE 2.0.,
mengingat fungsi penyidikan Polri adalah yang paling dulu disorot masyarakat
apabila dalam penanganan pelanggaran UU ITE tidak memenuhi rasa keadilan
termasuk dalam penerapan keadilan restoratif bagi masyarakat.
Sebagai pengemban fungsi pembinaan dan pengkajian
hukum, Divkum Polri proaktif terhadap produk hukum teraktual yang terkait tugas
Polri dengan mengintensifkan penyuluhan hukum guna menyebarluaskan dan memberikan
pemahaman hukum kepada seluruh jajaran Polri, salah satunya dalam bentuk Lokakarya
sebagai workshop akademis/forum ilmiah untuk membahas dan mencari solusi
atas suatu permasalahan praktis sesuai bidang keahliannya.
q Waktu
dan Tempat
Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024 dilaksanakan sebagai
berikut:
§
Hari/Tanggal : Senin s.d. Rabu, 22 s.d. 24 April 2024;
§
Pukul : 08.00 s.d. 15.00 WIB;
§
Tempat : Hotel Menara Peninsula, Jl. Letjen S.Parman, Jakarta Barat.
q Peserta,
Undangan, dan Kepanitiaan
Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024 dihadiri oleh +
100 orang sebagai berikut:
§
Peserta,
yang bersumber dari:
1.
Para
Kabidkum Polda
2.
Para
Kasubbidsunluhkum Bidkum Polda
3.
Perwakilan
Ditreskrimum/Krimsus/Narkoba Polda Metro Jaya;
4.
Para
Kasikum jajaran Polda Metro Jaya;
5.
Perwakilan Divkum Polri;
§
Undangan
dari PJU Divkum Polri dan PJU Polda Metro Jaya;
§
Kepanitiaan
dari Divkum Polri dan Polda Metro Jaya.
q Narasumber dan ModeratorNarasumber I
Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Penasihat Ahli Kapolri Bid Hukum
Pidana
Narasumber II
Dr. Albert Aries, S.H., M.H.
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta dan Tim Sosialisasi RUU KUHP
Nasional
Narasumber III
KBP Jeffri Dian Juniarta, S.I.K.,
S.H., M.H., M.I.Kom.
Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber)
Bareskrim Polri
Moderator
Egiet Woro Hapsari, S.H.I.
News
Anchor MetroTv, iNews, dan RCTI
q
Sambutan Kepala Divisi Hukum Polri
Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024 dibuka oleh
Kadivkum Polri Irjen Pol Viktor T. Sihombing, S.I.K., M.Si., M.H., melalui
penyampaian sambutan dan pernyataan pembukaan, yang menekankan hal-hal antara
lain:
§
Penegakan hukum UU ITE banyak
mendapat resisten di masyarakat terkait kebebasan berpendapat, dan sebagai garda
terdepan sistem peradilan pidana tentu Polri paling dulu disorot jika
penyidikannya sarat kontroversi dan ketidakadilan, ditambah Revisi UU ITE
mengadopsi pengecualian pemidanaan serta memiliki korelasi dengan KUHP Baru
terkait pasal-pasal yang akan dicabut dan diganti pengacuannya serta masa
berlaku pasal-pasal tertentu Revisi UU ITE pada saat KUHP Baru berlaku Januari
2026, yang tentunya akan berdampak pada penegakan hukum dan perlunya pemahaman
dan keseragaman penafsiran oleh seluruh jajaran Polri;
§
Lokakarya yang mengusung tema
UU ITE 2.0., selain sebagai sarana peningkatan pemahaman hukum jajaran Polri
dalam mewujudkan ruang siber yang bersih melalui pencegahan kejahatan siber dan
penanganan pelanggaran UU ITE yang berkeadilan, juga sebagai wahana peningkatan
budaya hukum dan literasi jajaran Polri dalam bermedia sosial agar tidak
melanggar etika dan mencoreng profesi serta institusi Polri.
q
Diskusi Panel melalui Pemaparan Materi Narasumber
1.
Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.,
dengan materi “Permasalahan Implementasi UU ITE
Saat Ini Dalam Penyidikan Tindak Pidana Siber”, yang memaparkan hal-hal
antara lain:
§
sejak pembentukan dan
pemberlakuannya, UU ITE telah mengalami berbagai masalah mulai dari konstruksi
yang seharusnya sebagai UU TP Siber daripada UU administratif, tujuannya yang
lebih pada upaya penciptaan ketertiban umum daripada memaksakan hukum di ruang
digital, hingga penerapannya tidak menjangkau the real cybercrime melainkan kejahatan konvensional dengan sarana
teknologi informasi;
§
latar belakang revisi UU ITE
karena UU ITE lama sarat kontroversi dan multitafsir serta sering menjadi
sasaran uji materi, akan tetapi dengan adanya revisi UU ITE seharusnya APH
fokus pada tujuan utama UU ITE yaitu cybercrime atau crime against
computer antara lain illegal access dan data/system interference;
§ meskipun
revisi UU ITE (UU Nomor 1 Tahun 2024) bersifat temporer tetapi penegakan hukum
masih berlaku asas lex temporis delicti dan ditambah lex
transitoir/lex favor reo (apabila terjadi perubahan PUU digunakan yang menguntungkan tersangka/terdakwa)
terkait diaturnya pengecualian pidana karena kepentingan umum/membela
diri.
2. Dr. Albert Aries, S.H., M.H., dengan
materi “Implementasi Ketentuan Pidana Dalam Revisi UU ITE Dengan KUHP Baru”,
yang memaparkan hal-hal antara lain:
§
pertimbangan direvisinya UU
ITE karena dalam KUHP telah dicabut pasal-pasal dalam UU ITE diantaranya Pasal
27 (1) dan (3), Pasal 28 (2), Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 ayat (1) dan
(3), serta revisi dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan hukum melalui
pengaturan dan pembaruan tindak pidana dengan sarana teknologi informasi serta
tindak pidana dengan objek teknologi informasi;
§ Pasal-pasal revisi UU ITE yang perlu pemahaman mendalam antara lain Pasal 27 (1) terkait TP kesusilaan yang terdapat penghapus pidana dan singgungan dengan Pasal 406-407 KUHP Baru, dan Pasal 27A terkait TP pencemaran nama baik dengqn delik aduan oleh korban atau orang dan bukan badan hukum;
- Revisi UU ITE tentunya masih perlu didampingi dengan instrumen lain diantaranya SKB Menkominfo-Jaksa Agung-Kapolri Tahun 2021 yang justru penjelasan/penafsirannya lebih lengkap terhadap pasal-pasal tertentu dalam UU ITE, sehingga Polri dalam rangka penyidikan yang memenuhi keadilan di masyarakat dan keseragaman interpretasi, perlu intens menyosialisasikan revisi UU ITE hingga ke tingkat Polres.
3. Kombes Pol Jeffri Dian Juniarta, S.I.K., S.H., M.H., M.I.Kom., dengan materi “Penanganan dan Penyidikan Tindak Pidana Siber Dalam Pemberlakuan Perubahan Kedua atas UU ITE”, yang memaparkan hal-hal antara lain:
§
ancaman dan serangan siber
dapat dilakukan oleh pelaku dari state actor (karena kegiatan intelijen
atau kekecewaan terhadap tempat kerja) dan non state actor (dari
komunitas hacker, grup kejahatan terorganisir/transnasional, dan karena
persaingan/konflik pribadi), yang dapat terjadi kapan saja (24 jam) dan dimana
saja (borderless), dengan sektor paling rentan diserang yaitu jasa
keuangan/perbankan;
§
tren computer related crime
masih didominasi antara lain penipuan online, konten perjudian/pornografi dan
penyebaran hoax, sedangkan terkait computer crime masih didominasi
antara lain ransomware, hacking, dan business email compromise,
dengan Polda yang paling banyak menangani yaitu Metro Jaya, Sumut, Jatim, dan
Sulsel;
§ Penanganan kejahatan siber didasarkan atas subjek, perbuatan (distribusi/transmisi/akses dan lain-lain), objek (sistem/dokumen/ informasi elektronik), muatan (asusila/judi/penipuan, dan lain-lain) dan alat bukti informasi/dokumen elektronik dan hasil cetaknya selain alat bukti yang diatur KUHAP, serta melihat keterkaitan pidana yang dilakukan dengan UU lain (transfer dana, TPPU, dan lain-lain).
q
Pembulatan
Diskusi dan Penutupan Lokakarya
Sebagai rangkaian penutup
kegiatan Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024, dilakukan
pembulatan diskusi oleh Karokermaluhkum Brigjen Pol Dr. Rakhmad Setyadi,
S.I.K., S.H., M.H., yang dilanjutkan dengan penyerahan Laporan Pelaksanaan dari Kabagluhkum selaku Ketua Pelaksana Lokakarya kepada
Karokermaluhkum. Adapun dalam pembulatan disampaikan hal-hal sebagai berikut:
§
peran Polri adalah sebagai
pelaksana dan penegak UU, sehingga apabila terjadi perbedaan penafsiran
terhadap suatu pasal dikembalikan pada tafsir yang banyak digunakan ahli hukum
pidana, dan meskipun masyarakat terkait kasus UU ITE beranggapan “no viral no justice” Polri harus
objektif, mengesampingkan ego, dan melihat skala prioritas dalam penyelesaian
perkara, sehingga marwah Polri tetap terjaga sebagai penegak hukum, pelindung,
dan pemberi keadilan bagi masyarakat;
§
hasil dari Lokakarya ini harus
ditindaklanjuti oleh fungsi hukum dengan menyebarluaskan perubahan kedua UU ITE
kepada jajaran Polres dan masyarakat, terlebih di tingkat Polres rentan terjadi
resisten masyarakat menyikapi penegakan hukum yang dilakukan Polri dalam kasus
UU ITE terutama kasus pencemaran nama baik.
q
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan à
Revisi UU ITE dilatarbelakangi kontroversi penerapan pasal-pasal tertentu dalam penegakan hukum yang mengekang
kebebasan berpendapat dan tidak memenuhi rasa keadilan, serta terbitnya
KUHP Baru yang mengusung keadilan restoratif dan misi rekodifikasi pasal-pasal
pidana dari UU lain sehingga beberapa pasal dalam UU ITE dan perubahan pertama
dicabut dan dilakukan penggantian pengacuan ke pasal KUHP Baru;
Saran à
adanya keterkaitan KUHP Baru dengan UU ITE 2.0. terutama masa berlaku
pasal-pasal tertentu dalam UU ITE 2.0 sampai dengan KUHP Baru diberlakukan
(Januari 2026), menjadikan jajaran Polri perlu dibekali dengan pemahaman hukum melalui
sosialisasi yang intens sampai tingkat Polsek, agar implementasinya tidak lagi
menimbulkan multitafsir/kontroversi serta dapat memenuhi rasa keadilan di
masyarakat dan mencegah the real
cybercrime guna terwujudnya ruang digital yang berbudaya hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar