Future

Future

Kamis, 19 Desember 2024

 

LOKAKARYA DIVKUM POLRI

Implementasi Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Guna Memenuhi Rasa Keadilan dan Kepastian Hukum

q   Latar Belakang

Dalam dua dekade terakhir, kemajuan teknologi informasi tumbuh dengan pesat dan mengubah seluruh sektor kehidupan masyarakat melalui penggunaan internet pada berbagai aktivitas serta terbentuknya komunitas dunia maya atau cyberculture, yang ditandai antara lain dengan penggunaan gadget dengan fitur mutakhir, peningkatan transaksi berbasis marketplace/e-commerce, hingga tren komunikasi melalui media sosial elektronik.

Kemajuan tersebut disatu sisi jelas berdampak positif bagi masyarakat dengan semakin mudah dan cepatnya transaksi dan komunikasi serta semakin meratanya tingkat melek teknologi di masyarakat. Akan tetapi setiap perubahan di masyarakat tentunya akan diiringi pelaku kejahatan yang mencari celah dan memanfaatkan teknologi informasi tersebut sehingga memunculkan modus/jenis kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime mulai dari peretasan, scamming, dan phising. Disamping itu kemajuan teknologi informasi dan penggunaannya yang tidak diikuti literasi dan budaya hukum, rentan memunculkan pelanggaran HAM yang berujung pidana mulai dari hatespeech, pornografi, penyebaran hoaks, hingga pencemaran nama baik.

Sebagaimana adagium Lex Samper Dabit Remedium, hukum harus hadir memberikan solusi untuk mencegah dan menghukum pelaku kejahatan siber atau pelanggaran teknologi informasi serta menghadirkan rasa aman dan keadilan bagi cybercommunity. Pengaturan hukum siber yang menjadi rujukan berbagai negara salah satunya bersumber dari The Convention on Cybercrime Tahun 2001 (Seri Perjanjian Eropa No. 185), yang mengatur kebijakan kriminal untuk melindungi masyarakat dari kejahatan siber.

Sedangkan di Indonesia dalam Pasal 28 F UUD Negara RI Tahun 1945, negara menjamin hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Sedangkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia selain hak yang diberikan konstitusi, diatur hak setiap orang untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati Nurani secara lisan/tulisan melalui media cetak/elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama/susila, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa (Pasal 23 ayat (2)), serta hak untuk tidak diganggu dalam surat-menyurat dan komunikasi melalui sarana elektronik kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah menurut UU (Pasal 32).

Berangkat dari dasar hukum tersebut, lahir UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diikuti perubahan pertama dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, sebagai Lex Specialis dan Cyberlaw di Indonesia. UU ITE yang digadang-gadang menjadi guardian ruang siber, justru banyak menimbulkan resisten di masyarakat yang mengganggap UU ITE tumpul dalam memberantas kejahatan siber seperti penipuan online, pencurian data, atau pembobolan rekening yang terus meningkat, ditambah pasal-pasal UU ITE banyak beririsan dengan UU lain (KUHP dan UU tindak pidana khusus lainnya).

Implementasi UU ITE oleh sebagian masyarakat dianggap tajam dalam menangani pelanggaran-pelanggaran di media sosial elektronik bahkan terkesan overkriminalisasi terhadap kritik/kebebasan berpendapat. Sehingga kasus-kasus pelanggaran media sosial elektronik dan kebebasan berpendapat yang dijerat UU ITE sering menjadi viral karena tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat.

Merespon kegelisahan masyarakat atas implementasi UU ITE, pemerintah di Tahun 2021 juga menerbitkan Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE (Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 36) dalam rangka keseragaman penafsiran oleh penegak hukum dalam penanganan kasus jeratan UU ITE agar terpenuhi kepastian hukum dan keadilan di masyarakat.

Disamping itu, dalam rangka reformasi hukum pemerintah menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai KUHP Nasional/ KUHP Baru guna menggantikan KUHP lama warisan kolonial yang saat ini masih digunakan oleh penegak hukum tetapi dianggap sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat terutama terkait kemajuan teknologi informasi.


KUHP Baru mengusung paradigma baru dalam pemidanaan dengan mengutamakan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif, serta mengusung misi salah satunya rekodifikasi dengan mengembalikan KUHP sebagai “induk” dari aturan tindak pidana dan memasukkan kembali dan mencabut pasal-pasal tertentu terkait tindak pidana yang tersebar di berbagai UU lain.

Substansi KUHP Baru yang terkait UU ITE diantaranya pemuatan tindak pidana terhadap informatika dan elektronika serta tindak pidana dengan menggunakan sarana teknologi informasi, pengecualian pemidanaan untuk tindak pidana tertentu dalam hal untuk kepentingan umum dan membela diri, serta pencabutan pasal-pasal tertentu dalam UU ITE dan penggantian pengacuan pasal-pasal dalam UU ITE ke pasal-pasal dalam KUHP Baru (Bab XXXVII Ketentuan Penutup, Pasal 622 ayat (1) huruf r dan dan ayat (10)).

Untuk mengisi kekosongan hukum atas pasal-pasal UU ITE yang dicabut oleh KUHP Baru, dibentuk UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai UU ITE 2.0, dengan beberapa pasal perubahan berlaku sampai dengan diberlakukannya KUHP Baru pada Januari 2026. Selain mengusung misi keadilan restorative dengan pengecualian pemidanaan terkait kepentingan umum dan membela diri serta pelindungan terhadap anak, UU ITE 2.0. hadir untuk memperbaiki pasal-pasal tertentu yang sering diajukan judicial review ke MK atau dianggap overkriminalisasi oleh masyarakat.

Polri sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, tentunya harus senantiasa responsif dan adaptif terhadap dinamika hukum dan masyarakat termasuk menyikapi pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2024 atau UU ITE 2.0., mengingat fungsi penyidikan Polri adalah yang paling dulu disorot masyarakat apabila dalam penanganan pelanggaran UU ITE tidak memenuhi rasa keadilan termasuk dalam penerapan keadilan restoratif bagi masyarakat.

Sebagai pengemban fungsi pembinaan dan pengkajian hukum, Divkum Polri proaktif terhadap produk hukum teraktual yang terkait tugas Polri dengan mengintensifkan penyuluhan hukum guna menyebarluaskan dan memberikan pemahaman hukum kepada seluruh jajaran Polri, salah satunya dalam bentuk Lokakarya sebagai workshop akademis/forum ilmiah untuk membahas dan mencari solusi atas suatu permasalahan praktis sesuai bidang keahliannya.


q   Waktu dan Tempat

Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024 dilaksanakan sebagai berikut:

§    Hari/Tanggal   : Senin s.d. Rabu, 22 s.d. 24 April 2024;

§    Pukul               : 08.00 s.d. 15.00 WIB;

§    Tempat             : Hotel Menara Peninsula, Jl. Letjen S.Parman, Jakarta Barat.


q   Peserta, Undangan, dan Kepanitiaan

Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024 dihadiri oleh + 100 orang sebagai berikut:

§    Peserta, yang bersumber dari:

1.        Para Kabidkum Polda                                                

2.        Para Kasubbidsunluhkum Bidkum Polda               

3.        Perwakilan Ditreskrimum/Krimsus/Narkoba Polda Metro Jaya;

4.        Para Kasikum jajaran Polda Metro Jaya;

5.        Perwakilan Divkum Polri;

§    Undangan dari PJU Divkum Polri dan PJU Polda Metro Jaya;

§    Kepanitiaan dari Divkum Polri dan Polda Metro Jaya.


q   Narasumber dan ModeratorNarasumber I

Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Penasihat Ahli Kapolri Bid Hukum Pidana

 

Narasumber II

Dr. Albert Aries, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta dan Tim Sosialisasi RUU KUHP Nasional

 

Narasumber III

KBP Jeffri Dian Juniarta, S.I.K., S.H., M.H., M.I.Kom.

Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri

 

Moderator

Egiet Woro Hapsari, S.H.I.

News Anchor MetroTv, iNews, dan RCTI



q   Sambutan Kepala Divisi Hukum Polri

Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024 dibuka oleh Kadivkum Polri Irjen Pol Viktor T. Sihombing, S.I.K., M.Si., M.H., melalui penyampaian sambutan dan pernyataan pembukaan, yang menekankan hal-hal antara lain:

§    Penegakan hukum UU ITE banyak mendapat resisten di masyarakat terkait kebebasan berpendapat, dan sebagai garda terdepan sistem peradilan pidana tentu Polri paling dulu disorot jika penyidikannya sarat kontroversi dan ketidakadilan, ditambah Revisi UU ITE mengadopsi pengecualian pemidanaan serta memiliki korelasi dengan KUHP Baru terkait pasal-pasal yang akan dicabut dan diganti pengacuannya serta masa berlaku pasal-pasal tertentu Revisi UU ITE pada saat KUHP Baru berlaku Januari 2026, yang tentunya akan berdampak pada penegakan hukum dan perlunya pemahaman dan keseragaman penafsiran oleh seluruh jajaran Polri;

§    Lokakarya yang mengusung tema UU ITE 2.0., selain sebagai sarana peningkatan pemahaman hukum jajaran Polri dalam mewujudkan ruang siber yang bersih melalui pencegahan kejahatan siber dan penanganan pelanggaran UU ITE yang berkeadilan, juga sebagai wahana peningkatan budaya hukum dan literasi jajaran Polri dalam bermedia sosial agar tidak melanggar etika dan mencoreng profesi serta institusi Polri. 


q   Diskusi Panel melalui Pemaparan Materi Narasumber

1.         Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., dengan materi “Permasalahan Implementasi UU ITE Saat Ini Dalam Penyidikan Tindak Pidana Siber”, yang memaparkan hal-hal antara lain:

§    sejak pembentukan dan pemberlakuannya, UU ITE telah mengalami berbagai masalah mulai dari konstruksi yang seharusnya sebagai UU TP Siber daripada UU administratif, tujuannya yang lebih pada upaya penciptaan ketertiban umum daripada memaksakan hukum di ruang digital, hingga penerapannya tidak menjangkau the real cybercrime melainkan kejahatan konvensional dengan sarana teknologi informasi;

§    latar belakang revisi UU ITE karena UU ITE lama sarat kontroversi dan multitafsir serta sering menjadi sasaran uji materi, akan tetapi dengan adanya revisi UU ITE seharusnya APH fokus pada tujuan utama UU ITE yaitu cybercrime atau crime against computer antara lain illegal access dan data/system interference;

§    meskipun revisi UU ITE (UU Nomor 1 Tahun 2024) bersifat temporer tetapi penegakan hukum masih berlaku asas lex temporis delicti dan ditambah lex transitoir/lex favor reo (apabila terjadi perubahan PUU digunakan yang menguntungkan tersangka/terdakwa) terkait diaturnya pengecualian pidana karena kepentingan umum/membela diri.


2.       Dr. Albert Aries, S.H., M.H., dengan materi “Implementasi Ketentuan Pidana Dalam Revisi UU ITE Dengan KUHP Baru”, yang memaparkan hal-hal antara lain:

§    pertimbangan direvisinya UU ITE karena dalam KUHP telah dicabut pasal-pasal dalam UU ITE diantaranya Pasal 27 (1) dan (3), Pasal 28 (2), Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 ayat (1) dan (3), serta revisi dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan hukum melalui pengaturan dan pembaruan tindak pidana dengan sarana teknologi informasi serta tindak pidana dengan objek teknologi informasi;

§    Pasal-pasal revisi UU ITE yang perlu pemahaman mendalam antara lain Pasal 27 (1) terkait TP kesusilaan yang terdapat penghapus pidana dan singgungan dengan Pasal 406-407 KUHP Baru, dan Pasal 27A terkait TP pencemaran nama baik dengqn delik aduan oleh korban atau orang dan bukan badan hukum;

- Revisi UU ITE tentunya masih perlu didampingi dengan instrumen lain diantaranya SKB Menkominfo-Jaksa Agung-Kapolri Tahun 2021 yang justru penjelasan/penafsirannya lebih lengkap terhadap pasal-pasal tertentu dalam UU ITE, sehingga Polri dalam rangka penyidikan yang memenuhi keadilan di masyarakat dan keseragaman interpretasi, perlu intens menyosialisasikan revisi UU ITE hingga ke tingkat Polres.


3.       Kombes Pol Jeffri Dian Juniarta, S.I.K., S.H., M.H., M.I.Kom., dengan materi “Penanganan dan Penyidikan Tindak Pidana Siber Dalam Pemberlakuan Perubahan Kedua atas UU ITE”, yang memaparkan hal-hal antara lain:

§    ancaman dan serangan siber dapat dilakukan oleh pelaku dari state actor (karena kegiatan intelijen atau kekecewaan terhadap tempat kerja) dan non state actor (dari komunitas hacker, grup kejahatan terorganisir/transnasional, dan karena persaingan/konflik pribadi), yang dapat terjadi kapan saja (24 jam) dan dimana saja (borderless), dengan sektor paling rentan diserang yaitu jasa keuangan/perbankan;

§    tren computer related crime masih didominasi antara lain penipuan online, konten perjudian/pornografi dan penyebaran hoax, sedangkan terkait computer crime masih didominasi antara lain ransomware, hacking, dan business email compromise, dengan Polda yang paling banyak menangani yaitu Metro Jaya, Sumut, Jatim, dan Sulsel;

§    Penanganan kejahatan siber didasarkan atas subjek, perbuatan (distribusi/transmisi/akses dan lain-lain), objek (sistem/dokumen/ informasi elektronik), muatan (asusila/judi/penipuan, dan lain-lain) dan alat bukti informasi/dokumen elektronik dan hasil cetaknya selain alat bukti yang diatur KUHAP, serta melihat keterkaitan pidana yang dilakukan dengan UU lain (transfer dana, TPPU, dan lain-lain).


q   Pembulatan Diskusi dan Penutupan Lokakarya

Sebagai rangkaian penutup kegiatan Lokakarya Divkum Polri T.A. 2024, dilakukan pembulatan diskusi oleh Karokermaluhkum Brigjen Pol Dr. Rakhmad Setyadi, S.I.K., S.H., M.H., yang dilanjutkan dengan penyerahan Laporan Pelaksanaan dari Kabagluhkum selaku Ketua Pelaksana Lokakarya kepada Karokermaluhkum. Adapun dalam pembulatan disampaikan hal-hal sebagai berikut:

§    peran Polri adalah sebagai pelaksana dan penegak UU, sehingga apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap suatu pasal dikembalikan pada tafsir yang banyak digunakan ahli hukum pidana, dan meskipun masyarakat terkait kasus UU ITE beranggapan “no viral no justice” Polri harus objektif, mengesampingkan ego, dan melihat skala prioritas dalam penyelesaian perkara, sehingga marwah Polri tetap terjaga sebagai penegak hukum, pelindung, dan pemberi keadilan bagi masyarakat;

§    hasil dari Lokakarya ini harus ditindaklanjuti oleh fungsi hukum dengan menyebarluaskan perubahan kedua UU ITE kepada jajaran Polres dan masyarakat, terlebih di tingkat Polres rentan terjadi resisten masyarakat menyikapi penegakan hukum yang dilakukan Polri dalam kasus UU ITE terutama kasus pencemaran nama baik.


q   Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan à Revisi UU ITE dilatarbelakangi kontroversi penerapan pasal-pasal tertentu dalam penegakan hukum yang mengekang kebebasan berpendapat dan tidak memenuhi rasa keadilan, serta terbitnya KUHP Baru yang mengusung keadilan restoratif dan misi rekodifikasi pasal-pasal pidana dari UU lain sehingga beberapa pasal dalam UU ITE dan perubahan pertama dicabut dan dilakukan penggantian pengacuan ke pasal KUHP Baru;

Saran à adanya keterkaitan KUHP Baru dengan UU ITE 2.0. terutama masa berlaku pasal-pasal tertentu dalam UU ITE 2.0 sampai dengan KUHP Baru diberlakukan (Januari 2026), menjadikan jajaran Polri perlu dibekali dengan pemahaman hukum melalui sosialisasi yang intens sampai tingkat Polsek, agar implementasinya tidak lagi menimbulkan multitafsir/kontroversi serta dapat memenuhi rasa keadilan di masyarakat dan mencegah the real cybercrime guna terwujudnya ruang digital yang berbudaya hukum.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar